"Eomma dan Appa berangkat ke Amerika lusa, untuk mengurus kepindahan Youngjae. Kondisi kesehatannya semakin membaik, ia sudah bisa menggerakan jari-jarinya."
"Titipkan salamku untuk Youngjae, Appa. Aku tidak bisa ikut karena lusa adalah pembukaan cafe ku."
"Jinyoung sampaikan pada Jaebeom. Eomma coba menghubunginnya, tapi teleponnya tidak di angkat."
"Iya Eomma, aku akan memberitahu Oppa."
****
To Oppa : Lusa Youngjae kembali dari Amerika, kondisi kesehatannya membaik. Aku cuma menyampaikan pesan dari Eomma. (Send)
Aku melempar ponselku asal setelah mengirim pesa itu. Aku hanya menyampaikan apa yang diminta oleh kedua orangtuaku. Entah itu baik atau buruk.
Aku berpikir, jika Youngjae sadar dari koma dan tahu tentang pernikahanku dengan Jaebeom, bagaimana reaksinya? Apa yang akan Jaebeom katakan dan apa yang akan dia lakukan? Apakah kami akan bercerai?
"Hfft..." Aku menghembuskan napas berat.
Perceraian bukan sesuatu yang buruk, pikirku. Buat apa aku mempertahankan pernikahan ini ketika tidak ada kebahagiaan sama sekali di dalamnya? Jika Jaebeom memintaku menandatangin surat cerai, maka saat ini juga akan aku tanda tangani.
Aku terlalu lelah dengan semua kepura-puraan ini. Namun aku tahu semua tidak akan semudah itu. Jika mudah, sejak awal Jaebeom sudah menceraikanku dan menikah dengan orang lain. Tidak harus Youngjae, kan? Kini aku meragukan perasaan Jaebeom pada Youngjae-- aku tidak mengerti dengan orang yang bilang cinta tapi bisa tidur dengan wanita lain.
"Cinta selalu kalah oleh napsu."
Bagaimanapun juga Jaebeom lelaki normal, ia memiliki kebutuhan. Apa yang aku harapkan? Jaebeom menyentuhku?
Aku tertawa sakras, mentertawakan isi pikiranku yang ngawur. Itu tidak akan pernah terjadi, ia saja menganggapku wabah yang harus dihindari. Aku sendiri, apa aku siap disentuh olehnya? Perasaan cinta yang ku punya bertahun-tahun menguap bagai air laut yang terkena panas.
***
Jaebeom membaca pesan yang Jinyoung kirim, setelah itu, ia membuka laci meja kerjanya, tanganya mengambil sebuah figuran foto. Fotonya bersama Youngjae dan Jinyoung saat sekolah dulu. Jarinya mengusap wajah gadis bersurai hitam dengan panjang sebahu, gadis manis yang selalu menunjukan lesung pipi ketika tersenyum. Sudah lama sekali rasanya Jaebeom tidak melihat senyum itu-- senyum itu seolah pudar. Dan ia adalah penyebab semuanya.
Keegoisan dan harga diri membuatnya sulit mengakui itu. Pikirannya melambung, tertarik ke waktu beberapa tahun silam.
"Apa maksud dari isi diari ini?"
"Oppa---"
"Jawab. Aku butuh jawaban."
"Apa aku salah Oppa? Aku tidak pernah memilih untuk jatuh cinta padamu, tetapi hatiku yang memilihmu. Aku jatuh cinta karena kenyamanan yang kau berikan."
"Aku tidak bilang itu salah. Tapi--"
"Tapi?"
"Jinyoung, aku hanya menganggapmu adik. Kamu tahu kan aku menyukai Youngjae?"
Wajah Jinyoung berubah sendu, ia mengangguk kecil. "Aku tidak meminta Oppa membalas perasaanku. Jika Oppa tidak keberatan, aku ingin seperti ini, mencintaimu dengan caraku, mencintaimu dalam diamku, selamanya."
Jaebeom mendekat, ia menarik Jinyoung ke dekapan, merengkuhnya. "Maaf."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Perasaan itu tumbuh tanpa disadari. Jangan pernah merasa bersalah padaku, karena yang aku inginkan adalah kebahagiaan Oppa. Aku mohon, jangan pernah ada yang berubah diantara kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Your Star - JJP (Sequel On Going)
Fanfiction"Jika kamu tidak keberatan, aku hanya ingin seperti ini. Mencintaimu, selamanya." Kalimat itu terucap tanpa ia sadari. Manik matanya telah basah oleh air matanya sendiri. Kalimat yang tidak seharusnya Park Jinyoung ucapkan saat itu, kalimat yang me...