~3~

633 107 73
                                    

Sepanjang perjalanan sampai di tempat tujuan hanya ada keheningan antara aku dan Jaebeom. Kami berubah diam seolah bisu. Tidak ada satupun yang niat memecahkan keheningan itu.

Aku sendiri merasa lidahku kelu, susah digerakan seakan lupa caranya melafalkan kata.

"Selamat datang Tuan Im. Calon istri anda cantik sekali."

"Aku--"

"Dia bukan calon istriku. Saudarinya."

Jaebum memotong ucapan yang belum sempat aku selesaikan. Sang pemilik restaurant membungkuk sopan, meminta maaf sambil menahan malu karena salah memuji. Aku ikut membungkuk, tersenyum simpul. Mengisyaratkan bahwa tidak apa. Aku tidak masalah.

Aku terlalu sering terluka, jadi terbiasa. Terlalu sering berpura-pura, jadi semua berpikir aku baik-baik saja.

Acara sepanjang hari ini adalah menemani Jaebeom. Menggantikan posisi Youngjae, untuk sementara. Jahat sekali pikirku. Lima tahun tidak saling menyapa, lalu dipaksa menghabiskan waktu berdua seharian dalam suasana canggung yang hening.

Tidak ada rasa sakit yang lebih sakit dari sikap dingin Jaebeom. Namun, Bukan Jinyoung namanya jika terpengaruh. Aku terlalu pintar berpura-pura, sampai orang lain tidak akan sadar emosi jiwa yang menggelora di dada.

"Bagaimana rasanya?"

Kepalaku mendongak menatap Jaebeom datar tanpa ekspresi. Menjawabnya dengan suara biasa saja tanpa emosi. "Enak. Pas di lidah dan tidak terlalu asin. Dessertnya juga tidak terlalu manis. Kedua orangtua mu tidak boleh makan makanan dengan rasa berlebihan."

"Ya." sahutnya singkat.

***

Aku pernah berdiri di belakangmu seperti ini. Berdiri seolah menunggu waktu yang tepat. Namun, waktu yang tepat itu tidak pernah aku temukan. Waktuku telah direnggut oleh orang lain.

Bisakah aku mengatakan seperti itu, padahal kamu yang lebih dulu memiliki perasaan itu untuknya?

"Sudah lampu hijau." tegurnya membuatku tersadar. Aku mengikuti langkahnya menyebrang jalan. Mobil Jaebeom terparkir di sebrang sana.

Jaebeom mengambil plastik berisi kotak kue dari tanganku lalu meletaknya ke dalam mobil. Aku masuk, duduk di dalam menunggunya dalam diam.

***

"Jinyoung, kecilin volume radionya. Aku jadi tidak fokus menyetir."

Bukannya mengecilkan, aku malah menaikan volume suara radio. Lagu GOD-Lie, kesukaanku sedang mengudara. Aku ikut menyanyi penuh semangat, sesekali sengaja mendekatkan wajah ke telinga lelaki itu, bernyanyi lebih lantang.

Lelaki itu mendorong kepalaku menjauh, menggeleng pelan lalu mengecilkan suara radio. Kami sempat berdebat kecil yang berakhir aku berpura-pura menangis, lalu ia mengalah. Dan aku tertawa.

"Dasar lemah!"

"Selalu mengancam dengan ngambek. Aku tidak suka di diamkan olehmu Park Jinyoung."

Aku tertawa lepas. "Padahal membujuk ku gampang."

"Tidak. Kamu sedang pilek, jadi aku tidak akan membujuk dengan eskrim."

"Pelit!"

"Demi kebaikanmu!"

"Bilang saja oppa pelit. Aww--" aku meringis mengusap hidungku yang baru ia tarik.

Ia tertawa lepas. Tampan. Jantungku berdebar tidak karuan dibuatnya.

***

Aku memejamkan mataku, menghitung satu...dua...tiga...dalam hati agar bulir air di pelupuk mataku tidak jatuh seiring habisnya lagu GOD-Lie yang baru saja di putar oleh radio. Lagu yang menarik ingatanku ke belakang, dimana kami masih sedekat nadi.

Ada hal-hal yang terasa berat sekali untuk dilalui. Terasa sulit diterima, tapi tetap harus diterima. Seperti perasaanku yang hancur saat ini. Seterluka apapun aku, aku harus menerima kenyataan. Bukan aku yang ia pilih. Bukan aku alasannya tersenyum. Bukan aku yang akan ia sapa di pagi hari dan ia rengkuh di malam hari.

"Mau eskrim?"

"Hah?" terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba itu.

"Mau eskrim? Disana ada yang jual." Aku mengikuti arah tunjuk Jaebeom. benar, di ujung jalan ada yang menjual eskrim. ingin, tapi rasanya tidak perlu.

"Jika sudah selesai, langsung antar aku pulang saja oppa."

Jaebeom tidak menjawab, ia hanya melajukan mobilnya lebih cepat. Apa ia marah? Raut wajahnya masih sama datar ketika pagi ini aku melihatnya.

Sepertinya aku melakukan kesalahan dengan menarik jarak kami semakin jauh. Seakan memang sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi. Bagaimana memperbaikinya? Aku tidak bisa dan tidak tahu caranya. Terlalu sulit jika bersikap seolah tidak terjadi apapun diantara kami. Kebencian yang pernah ia lontarkan masih berbekas.

****

Satu dering telepon membuatku dan Jaebeom panik. Ia menekan pedal gas, mematah balik dan melajukan mobilnya sangat cepat.

"Ada apa Bibi. Sebentar lagi aku dan Jinyoung sampai rumah."

"...."

"Apa?! Rumah sakit mana?!"

"...."

"Aku segera kesana."

Wajah cemas dan rahang Jaebeom yang menggeras membuatku ikut panik.

"Ada apa oppa?"

"Youngjae kecelakaan."

***

Aku merengkuh tubuh ibu, namun tanganku ditepis. Ibu memilih memeluk ayah, menangis meraung dalam pelukan kokoh sang suami.

Aku paham. Yang paling ibu butuhkan saat ini adalah ayah.

Dua belas jam berlalu. Youngjae masih berada di dalam ruang operasi.

Aku melangkah ke arah bangku panjang dekat ruang tunggu, berdiri di depan lelaki yang sejak tadi duduk gelisah menyisir rambutnya frustasi dengan jemarinya.

Aku mengulurkan sebotol air mineral yanga aku beli dari mesin penjual minuman. Ia tak bergeming. Menghiraukanku.

"Oppa bisa dehidrasi. Sejak tadi tidak ada cairan apapun masuk ke dalam tubuhmu." Kataku tanpa emosi.

Ia mengambil botol air itu, membuka lalu menegak habis isinya.

Aku berlalu, duduk tiga baris dari tempatnya duduk. Menjaga jarak.

Orang-orang memperlakukanku seolah aku penyebab Youngjae kecelakaan. Lucu.

Takdir selalu membuatku ingin tertawa terpingkal.

***
Setelah empat belas jam berlalu akhirnya lampu ruang operasi bewarna hijau. Pintu terbuka, para dokter dan perawat keluar dari ruang itu.

"Bagaimana keadaan Youngjae, dokter?"

"Ia sudah melewati masa kritisnya. Namun, kondisinya koma."

Aku melihat ibu menangis semakin histeris. Ayah berusaha menenangkannya.

Sedangkan Jaebeom. Wajahnya pucat pasi, bahunya merosot. Ia menjambak rambutnya kuat, rahang menggeras, menahan amarah juga tangis.

Sedangkan aku hanya terduduk diam tanpa emosi, menatap mereka. Aku berharap bisa menggangtikan posisi Youngjae. Jika dibalik, apakah mereka akan sesedih itu?

Bodoh. Tentu saja itu tidak akan pernah terjadi. Dengusku dalam hati.

Pikiranku berkecamuk, baru saja aku menyadari sesuatu.
Lusa adalah hari pernikahan mereka. Lalu sekarang bagaimana?

Aku merasa cemas sendiri.

Tbc

Be Your Star - JJP (Sequel On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang