~ 9 ~

832 104 31
                                    

Tidak bertemu begitu lama rasanya sangat canggung. Aku berdiri memaku di pinggir ranjang pasien dimana Youngjae berbaring, masih dengan mesin-mesin di tubuhnya. Kata dokter kondisi Youngjae mengalami banyak kemajuan, ia sudah sadar, hanya belum bisa merespon dengan baik, saraf motoriknya masih belum sembuh total, tubuhnya seolah lumpuh, namun ia bisa menggedipkan kelopak matanya, menggerakan jemarinya, meneteskan air mata... Seperti saat ini, ia menyadari kehadiranku. Air mata Youngjae tidak berhenti mengalir dari sudut matanya sejak aku masuk ek dalam kamar ini.

"Maaf." gumamku lirih. 

Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan sembari menghapus sudut matanya yang basah. Aku mengusap kepalanya sebentar, mendaratkan kecupan ringan disana. "Maaf." ucapku lagi tulus.

Dan lagi air mata Youngjae jatuh. Ujung matanya melirik ke jari manisku yang menyentuh tangannya, disana terpasang cincin pernikahanku dengan Jaebeom. Aku menggenggam jemariku, menurunkan tanganku cepat, berusaha menyembunyikannya dari Youngjae walau telat. Tanpa kata-kata yang harus diucapkan, Youngjae pasti mengerti situasinya.

"Aku tahu kamu pasti membenciku saat ini karena seolah aku merebut posisimu, Youngjae-ah. Tapi kamu juga harus tahu jika aku juga tidak ingin berada di posisi ini. Aku juga terjebak, semua begitu tiba-tiba dan tak terencanakan. Jika kamu berpikir bahwa aku bahagia menjadi penggantimu untuknya---" kata-kataku tergantung, napasku sedikit tercekat. Aku berusaha tegar dengan tidak menitikkan airmata. Aku menarik napasku dalam, kedua tanganku menggepal menekan buku-buku jari, menahan gejolak emosi yang hampir meluap. Aku melanjutkan perkataanku, "Aku tidak bahagia sama sekali. Jadi cepatlah sembuh, aku akan menggembalikan dia padamu."

Bibir bawahku sedikit bergetar, sangat sulit untuk menahan tangisku agar tidak pecah terlebih saat melihat kedua kelopak Youngjae yang menutup lama, membuahkan banyak guliran air mata. Berada disini membuatku semakin sakit. 

Aku membalikan tubuhku, berjalan keluar, meninggalkan Youngjae sendiri. Kata-kata yang baru saja ku lontarkan kini terus terngiang-ngiah di kepalaku. Menggembalikan dia pada Youngjae....

"Hhh...Aku seperti tempat penitipan." kekehku dengan suara sumbang.

***
"Permisi, apa benar Cafe ini milik Park Jinyoung?"

"Ah--ya. Anda mencari Bos saya?"

Lelaki tinggi berkulit putih, berbadan athletis, bermata sipit itu tersenyum tipis. "Saya pesan Ice Americano, ya."

Gadis bernametag Jennie itu menggernyitkan dahi, mengerjap bingung, namun memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin lelaki ini adalah salah satu teman dari Bos-nya.

"Satu Ice Americano. Apa ada pesanan lain?"

"Tidak."

"Atas nama siapa ya Tuan?"

"Naoki. Mizuhara Naoki." ucapnya sambil memberi beberapa lembar uang untuk membayar.

Jennie mencatat pesanan Naoki, menerima uang tersebut. "Silahkan duduk, saya akan mengantarkan pesanan Anda."

***

Aku duduk di meja makan dapur rumahku, menikmati sup ayam gingseng yang baru saja ku masak. Sehabis dari rumah sakit, aku tidak kembali ke cafe, malah aku pergi ke Supermarket untuk membeli beberapa keperluan rumah, sayuran dan buah-buahan.

Untuk membunuh kesunyian, aku menonton video-video lucu dari Youtube. Terlalu asik menikmati makan malam dan video lucu, aku tidak sadar jika Jaebeom sudah pulang bahkan ia duduk di depanku.

Aku tersentak ketika mengangkat kepalaku, menatap lurus lalu pandangan mata kami bertemu. Tapapannya sulit diartikan, raut wajahnya sedikit lain, entahlah. Aku merasa kerutan di dahinya semakin banyak saja, kantung matanya juga terlihat lebih buruk dari biasanya.

"Oppa membutuhkan sesuatu?" tanyaku sopan, formal, ya aku tidak ingin menjadi kurang ajar apalagi dengan suami ku sendiri, walau hubungan kami jauh dari kata suami istri.

"Apa kau menemui Youngjae hari ini?"

Aku mengangguk menjawab, "Ya."

Jaebeom tidak berkata apapaun, ia bangkit dari kursinya lalu berjalan pergi. Apa-apaan dia, bertanya dan pergi meninggalkanku dalam kebingungan? Apa Jaebeom juga menemui Youngjae? Aku penasaran, namun tidak berani bertanya.

***

Pagi ini aku bangun kesiangan, tumben saja bisa tidur selelap itu. Aku bergegas mandi dan bersiap untuk berangkat ke Cafe. Selesai berpakaian dan memoleskan sedikit make up ke wajahku, aku turun ke bawah. Aroma masakan di dapur tercium oleh indera penciumanku. Keningku berkerut, siapa yang memasak? Di rumah tidak ada siapapun kecuali aku dan..."Jaebeom?" 

Aku tertawa pelan, mana mungkin Jaebeom . Aku melangkahkan kaki menuju dapur untuk memastikan penciumanku baik-baik saja.

Kedua bola mataku membola, tidak percaya dengan yang ku lihat. Jaebeom benar-benar sedang memasak?

"Sebelum berangkat, sarapan dulu." katanya.

"Hah?" Aku mencubit lenganku, berharap itu hanya halusinasiku saja. "Ouch." ringisku pelan. Sakit, jadi bukan mimpi maupun halusinasiku.

"Duduklah. Aku memasak untukmu juga." 

Aku berjalan ragu menuju meja makan di dapur, lalu menarik salah satu bangku kosong dan mendudukinya. Jaebeom meletakkan satu piring berisi nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, kesukaanku.

Jika makanan ini beracun, sepertinya aku tidak masalah untuk mati muda. Pikirku saat menyendokkan satu sendok nasi ke mulutku.

"Terima kasih Oppa, maaf merepotkanmu."

"Hmm." ia hanya menjawab dengan gumaman.

Tidak ada obrolan hanya keheningan dan suara sendok garpu yang saling berdecit. Aku makan dengan cepat sampai tersedak dan terbatuk-batuk, selain karena terlambat aku juga merasa tidak nyaman berada sedekat ini denganya dalam keadaan sunyi.

Jaebeom memberikan segelas air putih, aku menerima dan langsung meminumnya habis. Telapak tangan kokoh Jaebeom menepuk punggungku lembut. Aku menyuri pandang dari sudut mataku, wajahnya tampak tenang dan datar, tidak ada ekspresi apapun disana.

"Aku tidak apa, Oppa." kataku gugup. Debaran jantungku begitu cepat, aku khawatir ia mendengarnya. Arg! Sudah sampai seperti ini tetap saja jantungku selalu berdebar di perlakukan seperti itu.

"Pelan-pelan makannya. Mau aku antar ke Cafe? Kebetulan aku lewat sana."

Aku menggeleng kepalaku cepat, menolaknya. "Tidak Oppa, aku berangkat sendiri saja."

Jaebeom mengangguk kecil, mengambil piring kosong bekasnya itu ke wastafel. "Letakan saja, nanti aku yang cuci Oppa." kataku sebelum ia membuka keran air.

"letakan saja, kamu cuci nanti malam. Sudah terlambat, kan."

***

Sudah terlalu banyak hal yang membuatku bingung, kenapa Jaebeom harus menambahnya? Aku tidak mengerti kenapa dan ada apa gerangan sampai ia membuatkanku sarapan, mengajakku berbicara, bahkan sampai menawariku tumpangan.

Aku mengacak rambutku kasar, kepalaku pusing memikirkan semuanya, seperti benang kusut yang bersarang  di kepala dan membuatku terbelit.



TBC

Be Your Star - JJP (Sequel On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang