5. Masalah

163 38 3
                                    

Bab.5
Masalah

"Aduh jeng, saya juga kepengen cepat-cepat punya cucu. Tapi ya mau bagaimana lagi, saya tidak bisa berbuat apa-apa."

"Melodi, memangnya kalian menunda? Bukannya sudah bertahun-tahun? Apa belum siap? Apa belum puas bulan madunya?" Arimbi, saudara sepupu mertuanya bertanya dengan pertanyaan beruntun yang entah membutuhkan jawaban atau hanya ingin mencecarnya dengan julid.

Kembali, perkara kehamilannya dipertanyakan.

Melodi tersenyum masam mendengar perkataan mertuanya untuk yang kesekian kalinya. Lagi dan lagi masalah kehamilannya menjadi topik utama. Jika hanya berdua saja, dia tidak akan terlalu malu. Namun ini?

Mereka tengah berada di acara arisan keluarga. Banyak orang yang menatap Melodi dengan berbagai ekspresi. Ada yang sinis, acuh tak acuh, dan juga kasihan.

Dalam hati, Melodi mengumpat dan mengutuk mertuanya sebagai penyihir jahat. Apa wanita ini tidak punya hati nurani ataupun empati. Kenapa harus dipertanyakan di depan begitu banyak orang?

"Melodi sudah mulai program kehamilan sesuai saran dokter, Tante. Tapi Kevin belum bisa meninggalkan rokok sama minuman keras. Mungkin kalau Mama yang bicara, Mas Kevin bakal nurut." Melodi melempar tanggung jawab ke tangan mertuanya. Enak saja dia yang harus disalahkan. Bukannya jika dia ingin hamil, harus butuh juga peran suami.

Wajah mertuanya berubah suram. Suasana menjadi sedikit panas.

"Kamu itu sudah lebih dari tiga puluh tahun, jangan sampai nanti kelamaan hamilnya dan malah berbahaya."

"Iya, Di. Sebaiknya cepat-cepat."

Beberapa saudara menyahuti.

"Sudah-sudah, ini ayo kita mulai arisannya. Sudah datang semuanya ini." Adik perempuan ibu mertuanya menengahi hingga membuat suasana berubah riuh dan menghangat.

Di pojok, Melodi menahan kesal dan malu. Dia juga tidak tahu kenapa dia bisa tidak hamil-hamil. Padahal dia sehat tanpa masalah apapun. Hah! Nanti dia akan mengangkat wacana ini kembali kepada suaminya. Semoga saja dia cepat hamil.

***

Menatap ramai lalu lalang kendaraan di hadapannya, Sakila termenung sejenak.

Dia kembali. Kembali ke tempat penuh luka beberapa tahun lalu. Sebenarnya bukan dia tidak siap, tapi dia mencoba lari dan menghindar dari penyakit. Dia tahu jika suatu saat bertemu dengan orang-orang di masa lalunya, dia tidak akan pernah bisa bersikap biasa-biasa.

Merasa takut jika dia akan marah, mengutuk atau bertingkah memalukan yang seharusnya tidak perlu.

"Bun."

Sakila menoleh mendengar suara bocah di sampingnya.

"Beneran kita pindah ke kota. Kok ramai bener ya? Mobilnya nggak putus-putus gini. Kalau Farhan mau nyeberang gimana, Bun?"

Tersenyum, Sakila membelai rambut bocah kecil itu. Ayahnya terus saja memaksanya untuk kembali ke tempat ini. Bukan Sakila tidak tahu maksud dari ayahnya itu, yang ingin Sakila menyembuhkan luka hatinya. Menuntaskan semua beban hati dan bencinya.

Surya merasa hanya dengan kembali ke tempat ini, Sakila akan bisa berdamai dengan lukanya yang lalu. Entahlah, Sakila pun tak mengerti. Apakah memang dia bisa menyembuhkan diri. Bukannya waktu adalah obat terbaik?

"Beneran. Kenapa memang? Kamu nggak mau?"

"Idih, ya mau dong. Masak iya Bunda mau ke kota sendirian. Lah nanti Farhan kalau tidur dikelonin siapa coba?"

Plak!

"Kamu kan sudah besar. Masak tidur minta dikelonin terus sih, Han. Nggak malu?"

"Ya biarin, kenapa harus malu. Nanti kalau Farhan sudah besar dan menikah kan yang ngelonin istrinya Farhan."

Bocah! Baru umur sembilan tahun saja sudah memikirkan menikah segala. "Masih lama, Han. Nggak usah mikirin nikah atau pacaran. Nggak guna buat sekarang. Sekarang tugas kamu tuh belajar biar pinter. Sekolah yang bener ...."

"Biar jadi dokter atau programmer." Farhan memotong ucapan Sakila sambil bergaya seakan tengah berpidato. Hafal dengan kata-kata yang akan Sakila ucapkan karena wanita itu terus mengulanginya.

Dengan kesal, Sakila menghembuskan nafasnya memandang makhluk hidup di sampingnya itu. Ada-ada saja tingkahnya. "Udah ah, nyari alamat rumah yang dikasih ayah kamu yuk."

"Oke, Bun. Eh, Bun Ayah beneran mau dipindahkan kerjanya ke sini?"

Sakila mengangguk sambil berjalan pelan menggandeng tangan Farhan, sementara tangan kirinya menarik kopernya, keluar dari area stasiun. Suasana sangat ramai dan dia tidak mau kehilangan Farhan di tengah lautan manusia.

Menoleh ke kanan dan kiri, Sakila mencari taksi. Dia memang tahu jika ada aplikasi ojek atau taksi online, tapi karena dia lama tinggal di desa, dia tidak pernah menggunakan aplikasi seperti itu. Beberapa pengendara taksi dan ojek menghampirinya menanyakan tujuan.

Daripada nanti bertemu dengan penipu, Sakila memilih mengajak Farhan berjalan lebih jauh dan mencari angkutan kota. Meski berdesakan tak apa.

"Masih jauh, Bund?" tanya Farhan begitu mereka turun dari angkot. Sakila memeriksa alamat yang tertera di secarik kertas dan kemudian memeriksa sekitar.

"Sudah dekat kayaknya, Han. Kita tanya sama yang punya warung itu yuk."

"Ayah kok ngasih alamat jauh bener sih, Bund. Farhan capek." Anak laki-laki itu mengeluh. Memang mereka tadi tidak sempat beristirahat karena khawatir tiba terlalu larut. Bahaya di kota besar itu banyak terjadi dan Sakila tidak ingin mereka mendapatkan masalah.

"Ya namanya juga cari yang dekat dan lebih murah sama calon kantor ayah kamu, Han."

"Kalau Bunda, mau kerja di mana?"

"Gampang nanti, katanya ayahmu punya teman manager di mall. Siapa tahu ada lowongan kan."

Bocah itu mengangguk dengan harapan semoga ibunya mendapat pekerjaan dengan mudah.

Setelah perjalanan panjang, Sakila dan Farhan tiba di tempat yang mereka tuju. Sebuah rumah minimalis yang mungil.

"Bener ini, Bund? Kok kecil?"

"Namanya di kota, Han. Apa-apa mahal. Syukur ayahmu bisa beli rumah. Nggak usah banyak protes" Meski kecil, di ibukota rumah ini sudah cukup mahal.

"Iya deh."

Sakila bertanya pada seorang yang lewat dan menanyakan rumah ketua RT. Tak butuh waktu lama, Sakila selesai melapor dan juga beramah tamah pada beberapa tetangga. Karena lelah dia tak ingin berlama-lama dan segera mengajak Farhan memasuki rumah. Memeriksa keadaan dan juga kondisi air, listrik dan sebagainya. Yakin telah beres dia menyuruh Farhan mandi, Untung ada tiga kamar mandi di rumah ini sehingga Sakila tidak perlu menunggu Farhan selesai.

"Bund, Farhan lapar." Bocah sembilan tahun itu menggosok rambutnya yang masih basah dengan handuk, mendatangi Sakila yang membuka koper di atas karpet.

"Ini bekal dari kampung masih ada,kamu mau makan ini aja? Bunda masih capek soalnya kalau harus masak."

"Ini aja deh." Farhan ikut duduk di sebelah Sakila. Sementara Sakila bangkit mengambil piring dan sendok. Entah bagaimana ayahnya Farhan ini bisa sedia piring dan sendok padahal setahunya rumah ini masih baru. Ada juga beberapa peralatan dasar untuk memasak meskipun hanya sebatas panci kecil dan wajan.

"Sambalnya dibanyakin, Bund." Farhan meminta, saat Sakila menyendok sebutir telur balado ke piring bocah itu.

"Ini makan dulu." Sakila menghela napas dan ikut makan dengan lahap. Perjalanan yang lumayan jauh ternyata tetap menguras tenaganya.

"Habis itu sholat Magrib ya, Han. Itu udah ada adzan."

"Oke." Mulut bocah itu masih penuh nasi saat membalas ucapan Sakila. Dasar bocah.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hiatus!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang