5 tahun lalu.
"Hahaha bukan gitu, sini biar aku benerin."
Saling terduduk di salah satu taman perumahan yang menghadirkan nuansa pura Bali, Raras yang menuruti saja apa kata Akhbar dengan memperhatikan bagaimana laki-laki itu yang membetulkan bunga kamboja berwarna kuning cerah dengan perpaduan putih yang mereka petik dari pohonnya.
Masih mengenakan baju yang sama sejak mereka keluar dari kelas perkuliahan, Raras tak sadar tersenyum tipis pada bagaimana laki-laki di hadapan nampak berusaha keras berkonsentrasi hingga tak mengontrol ekspresi wajahnya.
"Bentar, jangan gerak dulu," protes Akhbar masih memasangkan bunga pada selipan telinga dengan Raras yang sedari tadi memang sengaja menggeleng-gelengkan kepala.
"Hahaha iya-iya. Lama banget deh."
"Biar pas dan gak jatoh aja, Ras. Dah, cantiknya anak gadis ini!" sahut Akhbar memundurkan wajah menatap bangga. Saking terpesona bahkan logat Bali nya tak sadar tercampur-campur membuat Raras tertawa.
"Haha gimana gayanya? Gini?" tangkup Raras pada dagu berpose cibi-cibi.
"Itu mah gaya anak alay. Harusnya begini," contoh Akhbar yang malah lebih parah.
"Ya ampun Akhbar ih! Kamu tuh aneh banget tahu," cengkram Raras pada lengannya dan membelalakkan mata yang hanya dibalas dengan tertawaan.
Rasanya cukup lama mereka disana berduaan saja sejak dari matahari masih berada di pucuk ubun-ubun hingga kini mulai memamerkan sinar senja ungu cantiknya.
Mungkin ini juga momen mereka mampu saling mengobrol akrab setelah sekian lama laki-laki itu pergi terlalu sibuk dengan dunianya, dan setelah apa yang Raras lihati pada foto yang... bahkan Raras tak mampu untuk mengesampingkan amarah dan murka ketika mengingatinya kembali.
Jangan berekspektasi tinggi pada Raras bahwa ia akan meninggalkan laki-laki itu untuk lebih peduli pada dirinya sendiri. Akhbar telah menjadi bagian Raras, laki-laki itu telah menjelma bak dunia nya, dan Raras tak mampu hidup tanpa dunianya sendiri.
Raras tak bodoh, namun dirinya terlalu sayang untuk menumbangkan apa yang telah mereka perjuangkan selama enam tahun bersama. Dan kini, setelah Raras berusaha untuk melanjutkan hidup meski dibayangi kegagalan untuk berpindah hati, Akhbar kembali berdiri di ambang pintu hati dengan Raras masih mau mengijinkannya masuk.
"Aku minta maaf ya," lirih Akhbar setelah beberapa hening.
"Hmm?" naik kedua alis Raras penasaran.
"Aku gak bermaksud buat nyakitin kamu kemarin. Aku gak ada apa-apa sama Dania," alasan Akhbar dengan Raras melempar pandang ke depan pada hamparan rumput hijau.
"Iya gapapa kok. Ya udah sih yang berlalu kan udah berlalu juga. Kita cuma bisa lupain," 'meskipun bekas lara itu masih akan membekas selamanya', hal yang ingin Raras ucapkan namun tak sampai hati melihat bagaimana ekspresi penyesalan di wajah Akhbar.
"Aku beneran gak ada apa-apa sama Dania dan aku gak bakal ulangin itu lagi. Aku terlalu sayang sama kamu sampe aku gak bisa lihat orang lain lagi selain kamu kemarin, atau besok seterusnya—"
"Iya Akhbar, udah ya. Kan kamu udah bilang gak ada apa-apa dan aku percaya kok. Aku bakalan selalu percaya, dan kamu juga udah mau balik lagi ke aku. Jadi gak usah jelasin lagi udah cukup kok," sanggah Raras cepat.
"Karena aku mungkin gak akan pernah bisa sebaik kamu waktu aku ngebayangin kalo kamu deket lebih dari temen sama orang lain, kaya yang aku lakuin kemarin."
"Kalo beneran sayang sih gitu," menoleh Raras menampilkan senyum manis.
"Makasih ya," rapi Akhbar pada rambut Raras yang berjatuhan di depan wajah karena hembusan angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Abdi Negara: Dokter Militer
Любовные романыBersama dengan Akbar sebagai cinta pertama dalam hubungan sembilan tahun lamanya tentu membuat Rarasati merasakan bahagia dalam diri. Namun saat menuju perayaan sepuluh tahun hubungan mereka, Akbar nyatanya tak pernah menemukan letak titik kebahagia...