"Oke, gue udah mau berangkat nih. Selagi nunggu mending lo juga siap-siap. Iya, gue pasti kesitu—jangan bawel deh, Nad. Ngikut aja apa yang gue bilang bisa gak?"
Padahal Raras sudah berusaha berbicara pada gadis di seberang telepon dengan tenang dan kalem, namun karyawannya itu memang sering sekali membuat kesabarannya makin menipis.
"Iya, ya udah gue berangkat," tutup telepon Raras dan meraih tas backpack kerja yang beberapa hari ini tak dirinya sentuh sedikit pun.
Sebelum benar-benar yakin untuk melangkah keluar dari kamar, Raras sekali lagi memperhatikan penampilannya yang mengenakan seragam kantor berwarna biru gelap dan celana khaki di hadapan cermin besar.
Entah sudah berapa kali saja Raras terus memperhatikan penampilan sendiri. Padahal seragam kantor yang dirinya pakai hari ini juga menjadi pakaiannya di setiap hari. Semacam ada seseorang yang harus Raras beri kesan dan dibuat kagum saja.
"Udah kali, gak usah sok kecakepan gitu," celetuk suara dengan sosok penuh aura kejahatan berdiri di ambang pintu kamar membuat Raras menoleh cepat.
Dengan penampilan mata sipit bangun tidur lengkap dengan tubuh ceking beserta celana pendek bergambar Doraemon yang disenangi, siapa lagi kalau bukan Fandy yang sedang menatapnya berusaha menilai.
Sebenarnya Raras juga tidak segan untuk memuji bagaimana adiknya itu meski berpenampilan amburadul dan acak-acakan, Fandy merupakan sosok adik laki-lakinya yang sangat ganteng putih bersih menurun dari Pak Edwin.
Tapi Fandy tetaplah Fandy yang pemalas dan tak memperhatikan penampilan hingga membuatnya terus menjomblo tak laku seperti ini. Jangan suruh Raras untuk terus memberitahunya, karena berjuta kali ia berusaha mengubah adiknya itu namun kepala batunya sungguh luar biasa.
"Emang kenapa sih? Gak kerja lo? Gak kuliah?"
"Gak cerita lo udah jadian sama Bang Syahwildan?" balik pertanyaan dari Fandy menyilangkan tangan.
"Gak kok. Orang gue juga baru kenal sama dia tiga hari ini."
"Ckckck, tiga hari baru kenal lo udah jadian?"
"Emang kenapa coba? Lagian lo juga udah kenal sama dia, buat apa gue cerita-cerita sama lo?"
"Tuh kan bener. Gak takut lo?" langkah Fandy kian mendekati dan berdiri menatap dirinya seolah siap menceramahi.
"Hah? Takut apaan?"
"Ya kan lo belum bener-bener kenal sama dia. Gak takut dia punya kebiasaan dan sifat yang gak lo mau? Gimana kalo di rumahnya sana ternyata dia punya istri? Lo gak baca berita yang heboh kemarin tuh?"
"Berita apa sih?"
"Iya gitu, terus mau lo dijadiin ani-aninya? Lo gak tahu aja banyak cowok-cowok tentara di luaran sana yang diem-diem punya pacar LDR, terus diem-diem juga lo dijadiin selingkuhan sesaat."
"Gak kok—"
"Atau lebih parahnya, dia cuma main-main sama lo? Mau lo?" bukan lagi ceramah yang Fandy lontarkan namun laki-laki itu kian menakut-nakuti.
"Gak segitunya juga kali," raup wajah Raras pada Fandy kesal, "Syahwildan orang baik kok. Gak kaya lo mirip titisan dajjal. Gue yakin tuh kalo hari kiamat dateng pasti lo berubah jadi penyembah setan."
"Ya kan gue cuma ngasih tahu sebelum terlambat. Gue gak mau aja kakak gue kenapa-napa," ucap Fandy enteng dan melempar pandang ke arah lain karena adiknya itu tak terbiasa membicarakaan soal perasaan bersamanya. Raras mengerti bagaimana bentuk perhatian dari Fandy.
"Iya-iya, gue gapapa kok. Kan lagian yang—"
"Yang jalanin emang lo, tapi ntar yang susah juga gue. Jadi sebelum itu terjadi, gue mau yakinin lo aja," potongnya hapal apa yang akan jadi jawaban Raras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Abdi Negara: Dokter Militer
Roman d'amourBersama dengan Akbar sebagai cinta pertama dalam hubungan sembilan tahun lamanya tentu membuat Rarasati merasakan bahagia dalam diri. Namun saat menuju perayaan sepuluh tahun hubungan mereka, Akbar nyatanya tak pernah menemukan letak titik kebahagia...