"Aduh Bandung tumben panas banget deh, Raras cepetan! Lama banget sih?"
Sheryl yang sedari tadi terduduk di depan kelas mengibas-kibaskan kerah seragam putih abunya, menggerutu kesal telah lama menunggu bagaimana Raras sempat ketiduran di pelajaran terakhir dan kini dibuat panik memasukkan buku ke dalam tas.
"Tahu nih lama banget," sahut Farah yang tak berhenti berjalan kesana-kemari seraya berkacak pinggang kian menghela nafas beratnya.
"Orang-orang udah pada balik, lo masih aja betah di kelas."
"Ras, lo lagi nyari apaan sih? Buku sakral lo?" timpal Farah dengan Sheryl spontan terkekeh memahami benda yang dimaksud.
"Iya bentar elah, kalian juga nih gak ngebangunin gue padahal Bu Islah udah kelar ngajar," Raras berjalan cepat keluar dari kelas masih berusaha memasukkan bukunya ke dalam tas dengan menyamping.
"Ya siapa suruh juga lo tidur pas pelajaran coba?"
"Ngimpiin Akhbar lo?" bisik Farah dengan Raras langsung melempar tatap sinis menyadari bahwa mereka berdua masih saja senang menjahilinya.
"Hih apa sih, iya ini udah kelar, rempong banget. Nih tinggal botol minum gue ketinggalan. Gue bisa digampar orang rumah kalo sampe tahu botol kesayangan ilang."
"Oohhh, gue kira yang jadi kesayangan lo itu cuma buku diary lo."
"Diem gak? Gue lempar juga nih botol."
"Eitss ampun bos," kekeh Sheryl dan Farah tidak ingin menikmati kemurkaan sahabatnya.
"Ya lagian lo lama banget sih, warung jus nya udah pasti penuh nih sama kakak kelas kita. Jadi gak?"
"Jadi dong. Oh ya, lo pada mau pesen apa? Biar gue sekalian catet dan gue kirim sms ke Mbok Darmi biar langsung dibikinin."
"Gue mau yang kemarin itu, apa sih namanya?" Sheryl berusaha mengingat keras hingga menepuk telapak tangannya.
"Es susu roti? Oh sekalian yang dipakein cendol."
"Gue sama kaya lo aja deh, Ras."
"Oke, bentar gue inget-inget. Farah sama kaya gue terus Sheryl lo apa sih tadi—"
"Ras..."
Belum sampai mereka saling menutup mulut dan Raras selesai mencatat pesanan di hape, sebuah suara yang sangat amat Raras hafali akan sosoknya sontak dibuat menoleh cepat.
Manis senyum yang sedang dilempar lengkap dengan tatap setengah sendu dan perawakannya yang lebih tinggi lima senti darinya itu, spontan membuat Raras dapat mendengarkan degup jantungnya sendiri kian tak beraturan.
"Wih, panjang umur nih. Kayanya baru diomongin tadi, udah nongol aja," gumam Sheryl membulatkan mata.
"Eh Akhbar, l-lo... dari mana?" celingukan Raras panik dengan salah tingkah mencari tahu dari mana Akhbar datang karena begitu tiba-tiba ada di hadapan.
Sheryl yang mendapati hal itu ikut menoleh pada Farah disertai senyuman seolah memiliki beribu ide untuk mengerjai sahabatnya.
"Gue... tadi dari kelas aja..."
"Oh, gue kira—"
"...nungguin lo balik," Akhbar meneruskan kalimatnya yang meskipun lirih namun masih bisa mereka dengar.
Sialan, melihati laki-laki itu dengan senyuman malu-malunya membuat Raras mengutuk diri sendiri karena bisa-bisanya Akhbar terus selalu mampu membuatnya tergila-gila. Mana laki-laki itu terus saja menatap dirinya meskipun masih ada Sheryl dan Farah di samping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Abdi Negara: Dokter Militer
RomanceBersama dengan Akbar sebagai cinta pertama dalam hubungan sembilan tahun lamanya tentu membuat Rarasati merasakan bahagia dalam diri. Namun saat menuju perayaan sepuluh tahun hubungan mereka, Akbar nyatanya tak pernah menemukan letak titik kebahagia...