Jatuh Sejatuh-jatuhnya #9

456 34 3
                                    

"Coba lo ganti aja segmennya ke yang setelahnya. Jadi segmen yang kelewat bisa lo masukin ke segmen akhir. Paham gak? Ya udah gitu aja. Besok live gue pasti dateng kok."

Raras yang berbicara dengan kru karyawannya di seberang panggilan merasa tidak enak, baik itu dengan Citra yang menggantikan posisinya sekarang di studio berjibaku tetek bengek menjadi pengawas tapping, dan juga pada Syahwildan yang sedari tadi duduk terdiam di hadapan seraya celingukan ke segala penjuru restoran yang mereka datangi.

"Makasih banget ya, Cit," putus panggilan Raras sedikit bernafas lega karena kepanikan dari gadis itu kian mereda setelah berbincang dengannya.

"Selalu sibuk banget kayanya?" celetuk Syahwildan yang Raras lihati melempar tatap padanya.

"Gak kok, tadi cuman kru gue bingung aja lagi syuting buat tapping acara."

"Sori ya, gue jadi ganggu kerja lo."

"Ehhh nggak kok. Gak sama sekali," sungkan Raras pada laki-laki itu yang kini dengan sorot mata bersalah. Kenapa mereka malah jadi saling merasa tak enak?

"Beneran? Atau mau balik aja terus makanannya mau dibungkus kalo lo masih ada kerjaan penting?" begitu perhatian Syahwildan bisa Raras lihati dari betapa legowo laki-laki itu. 

"Gak kok. Gak enak juga kalo makanannya dibungkus. Eh tapi emang bisa ya makanan jepang dibawa pulang?"

"Bisa, dimasukin kertas minyak terus dikaretin," balas Syahwildan dengan mempraktekkan layaknya emak-emak penjual nasi bungkus pinggir jalan dengan Raras sontak terkekeh.

"Gak gitu juga kali. Masa pake kertas minyak haha."

"Kalo jadi—"

"Oh ya—"

Menyadari bahwa mereka saling berlomba ingin berbicara,  sontak membuat Raras tergelak melihati bagaimana Syahwildan yang juga tergelitik dengan tingkah sendiri. 

Kemeja flannel yang laki-laki itu gunakan malam ini benar-benar membuatnya terlihat keren. Namun tawa dan indah manis senyumannya disana membuat Raras berani sumpah bahwa ia seperti pernah melihati laki-laki itu entah kapan. 

Aish, kenapa kapasitas otaknya sekecil ini ya hanya untuk merogoh memori usang. Atau malah dirinya hanya mengada-ada saja?

"Lo duluan aja deh," sila Raras yang sadar akan menanyakan pertanyaan konyol.

"Gak-gak, lo duluan aja," rela Syahwildan membuat Raras kembali tergerak untuk memulai pembicaraan lain.

"Gak sih, tadi gue cuma pengen nanya aja, lo... udah lama ya kerja disini?"

"Gue gak kerja di restoran ini."

"Bukan, tapi gue—ihh maksudnya di rumah sakit, Wildan," mendelik tajam Raras dengan ekspresi kesal.

"Hahah, baru... dua-tiga tahun kok. Kalo lo sendiri kayanya udah lama ya?"

"Gak kok, gue juga baru... satu, dua, tiga," hitung Raras dengan jari yang tiba-tiba terlupa berapa lama ia menjadi penghuni kantor, "Baru enam tahun sih. Tiga bulan lagi jadi tujuh."

"Itu bukan baru lagi. Udah jadi sesepuh disana."

"Gak ih. Masih ada yang lebih lama dari gue, ada Pak Gunawan produser senior. Dibilang sesepuh gue berasa udah tua banget tahu," Raras tersadar diri menekuk wajahnya.

"Ya udah, berarti tetua kalo gitu."

"Sama aja ih itu mah. Eh tapi, gue... mau bilang makasih lagi loh buat makanan dan kue nya kemarin. Enak kok hehe."

"Makasih juga buat traktirannya. Restoran mahal lagi," balas Syahwildan menyematkan kekehan manisnya.

"Tuh kan ngejek banget. Ini mah restoran biasa atuh—" cemas Raras merasa tengsin apabila laki-laki tersebut benar berpikir seperti itu.

Jatuh Hati, Abdi Negara: Dokter MiliterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang