O5. Rumah

37 14 9
                                    

"Sekarang apalagi? Setelah mimpi-mimpi itu menghilang, kenapa rumah tempat aku pulang juga ikut menghilang?"

***

Hari baru tiba meski bagi Iya' sama saja dengan hari kemarin. Terlalu monoton, jalan hidupnya ia rasa begitu-begitu saja. Apa mungkin ia kurang menikmati saja ya? Rasanya ia selalu melewati hal bermakna. Hidupnya yang cuma kesekolah belajar, les, belajar lagi dan tidur. Selalu begitu. Siklus hidupnya terlalu membosankan.

Iya' yang duduk mengikat sepatunya terlalu lama karena yang ia kerja sedari tadi hanya melamun. Melamunkan bagaimana dirinya di masa depan, apakah ada yang berubah atau tetap sama seperti hari kemarin.

Ia tak ingin menebak tapi ekspektasi terus berjalan sehingga banyak hal yang seharusnya tak memenuhi pikirannya kini membuatnya menjadi lebih sibuk pada hal yang belum tentu terjadi.

"Berangkat bareng abang"

Iya' tersentak ketika Al tiba-tiba menepuk kepalanya. Lelaki itu duduk di samping Iya' dengan secangkir kopi yang ia letakkan di meja seraya membaca jurnal pada notebook nya.

"gak usah, aku bareng Toro tadi malam udah janjian" tolaknya. Ia tidak enak pada Al mengingat arah kampus dan sekolahnya berbeda terlebih lagi Al begitu sibuk.

"udah abang tanya tadi pagi banget, ketemu di penjual bubur"

"Tapi arah tujuan kita beda bang"

"Abang gak terima penolakan Galexia"

Melihat Iya' mendengus membuat Al terkekeh senang.

Iya' memperhatikan abangnya yang terlihat serius membaca jurnal penelitian membuatnya sedikit-sedikit mengintip isi dari jurnal tersebut.

"Susah gak sih bang? kedokteran?"

Al mengangguk kecil, "susah, tapi namanya juga tantangan kan harus dihadapi dong"

Al kemudian menoleh pada Iya' yang kini menatap lurus kedepan, "gimana? udah mikirin ulang gak mau kemana?"

Iya' mengangguk, "udah, bahkan setiap detik tapi rasanya aku gak punya mimpi sekarang. Abang mau aku jadi apa?"

Al mengangkat kedua alisnya pertanda bingung.

"Biasanya seorang anak akan konsultasi sama orangtuanya saran guru bk juga gitu. Tapi, aku gak mungkin kan jadi aku tanya abang aja, abang mau aku jadi apa?"

Al mau baru menjawab namun suara berat dari pria paruh baya memutuskan obrolan kakak beradik itu. Surya keluar dari rumah dengan setelan kantornya menatap Iya' dingin lalu beralih pada Al menawarinya tumpangan.

"Berangkat sama Ayah, mobilnya bisa kamu pakai ke kampus. Ayah hari ini pakai mobil kantor kalau mau makan siang bareng klien"

Al bangkit mendekat ke hadapan Ayahnya menyalimi tangan lelaki paruh baya itu. Iya' pun begitu, namun melihat tangannya yang diacuhkan ia menarik kembali tangannya. Menahan sakit hati, lagi-lagi penolakan.

"Aku berangkat sama Iya' naik motor"

Surya mengernyit, "dia punya sepeda"

"Sepedanya rusak Yah, lagi di bengkel"

Dengan tatapan garangnya yang mengintimidasi, Surya membuat Iya' menunduk takut-takut.

"Kalau kamu gak bisa buat Ayah senang dengan kehadiran kamu, setidaknya jangan membuat masalah. Apalagi yang mau kamu rusak besok hah?! Kamu persis wanita itu, merusak mental dan kepercayaan seseorang dan apalagi sekarang? jangan ngebuat Ayah semakin yakin kalau kamu dan wanita itu sama, perempuan yang gak berguna!"

Harsa di Kaki LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang