O8. Bersama Asa

28 8 3
                                    

"Selalu ada peluang dan kesempatan bagi yang mau berjuang, selama hidup belum berakhir"

***

Setelah makan dan menikmati angin sepoi-sepoi di taman, Asa dan Iya' melanjutkan jalan-jalan mereka. Sinar matahari tidak terlalu terik dikarenakan banyaknya awan besar yang mengepung, menghalau sinar yang terlalu cerah itu. Di kaki langitnya ada Asa dan Iya' berjalan menikmati pemandangan.

Mengamati setiap objek yang mereka lalui, tempat dan suasana yang asing. Tidak cukup ramai dengan bangunan tinggi pencakar langit seperti di lingkungan mereka, tempat ini akrab dengan alam. Jalanan beraspal kanan kiri terdapat sawah berpetak-petak yang tidak terlalu terbentang luas, hingga mereka berjalan sedikit jauh lagi akan ada tembok panjang yang diisi dengan gambar-gambar lucu penuh warna.

Hingga terdengar ramainya tawa anak-anak kecil membuat Asa dan Iya' penasaran apa yang ada di depan sana.

Terowongan lama yang sudah berhenti digunakan dapat Iya' maupun Asa lihat betapa ramainya anak-anak kecil yang bermain kejar-kejaran untuk anak-anak cowok dan sebagian anak-anak cewek bermain rumah-rumahan.

Mereka serentak terdiam saat Asa dan Iya' muncul. Iya' tersenyum canggung, berjalan maju berniat untuk menyapa.

"Hai?"

Salah satu anak perempuan yang dekat dengan posisi Iya' menghampiri, "kakak siapa?"

Iya' tersenyum simpul begitupun Asa di belakangnya yang masih mengamati. Gadis itu kemudian berjongkok menyelaraskan tinggi mereka, "aku Iya'. Nama kamu siapa cantik?"

Anak perempuan dengan rambut diikat dua itu tersenyum lebar, "aku Salsa kakak cantik"

Hingga perlahan anak-anak yang lain ikut mendekat saling memamerkan nama satu sama lain dan Asa yang kini juga mulai mengakrabkan diri. Cukup lama saling bertukar identitas satu sama lain, piano yang tersandar pada dinding terowongan menarik perhatian Asa.

Lelaki itu mendekat diikuti oleh anak lelaki yang bernama Dafa. "Ini piano lama kak, dibuang sama pemiliknya"

Asa mengangguk pelan, menatap satu per satu anak-anak yang kini menaruh perhatian padanya. Sepertinya berharap Asa memainkan sebuah lagu. Melihat itu Asa tersenyum lebar hingga lesung pipi yang jarang muncul itu terlihat jelas membuat Iya' yang berdiri disana terkesima.

'Asa ganteng ya' batinnya.

"Mau dengar sebuah lagu?" anggukan antusias menjadi jawaban. Asa duduk pada kursi tua yang tersedia disana merilekskan punggung serta jari tangannya hingga mulai menari di atas tuts.

Mozart: Andantino in E-Flat Major mulai mengalun meski tanpa partiturnya lelaki itu tetap cekatan dan lihai. Matanya tertutup, jiwanya mulai menyatu dengan not not yang beterbangan disepanjang langit-langit terowongan. Jangan ditanya anak-anak menggemaskan itu, mata mereka berbinar.

Iya'? gadis itu lebih bahkan. Baru saja ia kagum dengan ketampanan manusia kaku itu, tapi kini rasa kagum itu bertambah besar. Asa memang masih penuh tanya dalam dunianya, sepertinya ia butuh banyak waktu untuk mengenal lelaki itu.

Hampir tiga menit tenggelam dengan permainan piano, hingga Asa mengakhirinya anak-anak berteriak heboh. Semakin mendekat menggerubungi Asa bertanya bagaimana cara bermain sehebat itu, pakai mantra kah? tanya Fiko.

"Kak Iya' bisa juga?" Tiya menarik tangan Iya' seraya menunjuk piano yang barusan ditaklukan oleh Asa.

Iya' terkejut, kepalanya mulai merecall not yang ia hafal. "Bisa, tapi gak sekeren kak Asa"

"Ayo dong" dorongan anak-anak itu mendorong Iya' untuk segera menunjukkan keterampilannya.

Tuts perlahan ditekan, "aku tau aku tau ini biasanya ada di pak odong-odong lagunya" celetuk Salsa membuat Iya' tersenyum tipis, "mau nyanyi bareng?"

Harsa di Kaki LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang