1O. Pilu Anak Perempuan

34 7 7
                                    

"Apa bisa aku menjadi salah harapan di antara ribuan banyaknya harapan yang menggantung di langit itu?"

***

Asa dan sepeda Iya' kini sudah stay di halte seperti biasanya. Menunggu Iya' yang sepertinya tidak lama lagi akan keluar. Sesekali ia menoleh ke arah gerbang sekolah, kepalanya mengangguk pelan meresapi lagu yang mengalun dari walkman milik gadis yang selalu bersamanya dalam waktu yang cukup lama ini. Lagu aubrey dari bread menemaninya.

Mendengar suara riuh dari arah gerbang membuat Asa tersenyum tipis. Dari kejauhan melihat Iya' mempercepat langkahnya mendekat kearahnya. Semalam mereka sempat janjian untuk bertemu sepulang sekolah berhubung Iya' mendapat libur untuk lesnya.

Senyum yang tak pernah luntur sejak mata mereka bertatapan kini sudah dihadapannya "Udah nunggu lama?"

Asa menggeleng, "gak juga"

Iya' mengangguk, "Garuda emang cepat pulang ya Sa?" Asa membeo, ia belum jujur pada Iya' tentang sekolahnya yang bukan di sekolah umum melainkan homeschooling ala-ala. Dapat ia duga Yoga kini di apartemennya menunggu seraya marah-marah.

"Gurunya rapat"

"Mau kemana?"

Bukannya menjawab Asa justru meminta Iya' untuk mendekat pada sepedanya. "Ada yang baru" ujarnya sambil memainkan bel pada stir sepeda tersebut.

"Kok jadi dua belnya?"

"Biar bisa balas yang minta telolet"

Seketika Iya' tertawa, "apaan, udah punah gituan"

"tapi Sa? Kenapa ditambahin lagi belnya?"

"Gak apa-apa. Tadi habis dari bengkel sekalian minta pasang lagi, biar kamu bisa pamer"

Seraya naik ke boncengan Asa, Iya' masih bertanya "Boleh deh pamer ke Juna. Ngapain ke bengkel?"

"Kamu kok kepo Ya'?"

"Ish! Jawab ajasih"

Asa terkekeh pelan, "remnya rusak, rantainya suka putus tiba-tiba. Kamu sering ngebiarin itu?" Sejak awal mendapatkan sepeda Iya' sebagai jaminan sepeda itu memang tidak beres. Beruntung Asa mampu mengendalikannya dengan kaki panjangnya karena rem yang tidak berfungsi dengan baik.

Iya' mengengir, "gak apa-apa kali Sa. Kan masih bisa dikendaliin"

"Iya buat aku emang gak apa-apa, tapi buat kamu?"

"Aku kenapa?"

"Kalau aku kan masih bisa kendaliin pakai kaki"

Iya' paham, dengan kesal ia memukul punggung Asa, "tinggi kita hampir sepantaran ya Sa!"

"Aku gak nyinggung tentang tinggi badan Ya'. Lagian your safety first Ya'. Biar gak pulang sambil nangis karena jatuh dari sepeda"

"Aku gak pernah gitu?"

Perbincangan selama perjalanan pulang itu masih berlanjut. Asa yang melajukan sepedanya pelan, serta Iya' yang senang. Senang dengan obrolan kecil bersama lelaki kaku itu yang bukan untuk pertama kalinya. Kerap, menjadi kegiatan kesukaan akhir-akhir ini bagi Iya' tentu juga dengan Asa.

***

Salah satu isi percakapan selama perjalanan, berunding menentukan hendak kemana. Kedai es krim menjadi tujuan mereka. Setelah mendapatkan es krim yang mereka pesan, Asa dan Iya' duduk di bagian depan kedai tepatnya disamping jendela. Menikmati makanan dingin itu serta mengamati getaran sore hari yang kini mulai diramaikan oleh para pengendara petang.

Harsa di Kaki LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang