4. Hukuman

188 29 2
                                    

Dari sekian banyak lembar halaman kesialan Tama, hari ini ia kembali mengisi lembaran baru yang sebenarnya tak ingin pria itu buka. Akibat sok-sok-an nobar suster merayap semalam, pria itu harus lari terbirit-birit menaiki puluhan anak tangga menuju lantai 6 gedung perkuliahannya.

Bukan karena murni bangun kesiangan, tetapi karena rasa takut berlebihan, yang membuat Tama sengaja keluar kamar ketika penghuni rumah mulai beraktifitas. Tak berhenti di situ, waktunya pun terbuang sia-sia hanya untuk mondar-mandir di depan pintu kamar mandi dengan beribu estimasi; si suster yang bisa saja merayap di belakangnya, atau memeluk kakinya ketika ia tengah mencuci rambut, lebih parahnya jika si suster menampakkan diri saat ia sedang buang air besar.

"Kak Tama, minggir deh, Cakka mau mandi."

"Eh-eh, bocil, gue duluan yang mandi."

"Cakka nggak mau telat gara-gara Kak Tama kayak orang-orangan sawah ketiup angin."

Sebenarnya, ia tak seterlambat itu jika lebih senter dan peduli untuk membaca selebaran yang tertempel pada pintu lift, ia terlalu fokus pada balasan pesan yang ia kirim. Pria itu hanya memandang sekilas anak panah yang mengarah turun pada monitor. Salahkan Tama yang selalu mengandalkan kata orang, ketimbang meluangkan sedikit waktunya untuk membaca selebaran yang bertebaran di sekitarnya.

"Mas, ngapain dah berdiri di sini? Lift rusak di tungguin, ngalangin orang kerja aja."

Jika bukan karena gumaman si cleaning service yang merasa kerjaannya terganggu dengan berdirinya Tama di depan lift. Mungkin ia akan mendapat hukuman lebih parah dari membersihkan toilet pria di lantai 6.

"Yah, pak, nggak bisa gitu dong, dia kan juga datang terlambat beda setengkil doang langkahnya. Kok hukumannya enakan dia."

Ia tak terlambat seorang diri, ada Denita yang sama-sama terlambat saat itu, tetapi hukuman yang Denita dapat justru lebih ringan, bahkan lebih menguntungkan bagi Tama. Membawa tumpukan buku tebal serta tas laptop milik Pak Pram setelah jam mata kuliah selesai, dan bertemu para dosen muda nan cantik di ruang dosen. Sungguh menggiurkan bagi Tama. Siapa tahu ada yang bisa di taksir.

Berakhir lah Tama di dalam toilet pria dengan tongkat pel yang ia ayun-ayunkan tanpa tenaga, menggantikan mas-mas cleaning service yang tengah asyik menyelamatkan dunianya sendiri. Masa bodoh dengan suster merayap, suster terbang, suster lompat dan lain sebagainya, yang ia inginkan saat ini adalah segera menyelesaikan hukumannya dan berlari ke rumah Airin untuk berkeluh-kesah.

Sialnya lagi, dari sela-sela pintu, Juno memainkan alisnya sembari tersenyum lebar, "Eh Tam, ngapain? part time lo?"
Celetuk Juno yang notabenenya suka berbicara ngawur tidak terkoordinir.

Tama sedikit terjingkat karena terkejut dengan kemunculan Juno yang tiba-tiba, namun ia memilih melanjutkan acara mengepel tanpa upahnya dan tak mengacuhkan pria yang kini berjalan mendekat, dengan tatapan meneliti.

"Misi mas," tegur Juno pada mas cleaning service yang bahkan tak acuh pada keberadaannya.

"Lo lagi cari pahala Tam?" Sambung Juno sembari mengitari tubuh Tama.

"Diem lo. Gara-gara acara kalian berdua nih," gerutu Tama tak terima.

"Yaelah, kan nggak seru Tam kalo liatnya berdua doang sama si Agus apalagi nih film horor, bobar yang ada."

"Mau bobar, bubar, buber, bodo amat. Lagian ngapain sih lo di sini, ngerusak pemandangan aja." Sungut Tama yang masih di selimuti ketidakterimaan atas hukuman yang ia dapat.
Sedangkan Juno, mengedarkan pandangan mencari pemandangan yang Tama maksud. Tak ada yang menarik selain bayangan dirinya juga Tama yang tengah memegang gagang pel, pada cermin di seberangnya. Memang bukan untuk yang pertama kalinya mereka berakhir dikamar mandi saat jam sekolah selesai, mereka sudah terlatih saat di SMA. Tapi melihat Tama dengan pakaian rapi dan tatanan rambut kecenya memegang pel, sungguh hal yang menggelitik bagi Juno.

Kembar SialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang