9. Bando kuning motif kelinci

119 29 1
                                    

Akhirnya masa menggulung diri dalam selimut berakhir, kini ketiga serantai kembali mengikat diri dengan aktivitas kampus juga rutinitas tebar pesona mereka, ketiganya sedang dilanda rasa percaya diri yang melangit saat ini, hanya karena memiliki adik tingkat, dan menggeser statusnya sebagai maba ketingkatan yang lebih terpandang.

Diawali dari si Agus, yang sudah satu jam duduk mematung di tenda petugas parkir, selain menebeng wi-fi kampus untuk balas dendam akan kekalahannya semalam, karena koneksi buruk. Sesekali ia juga melirik para maba yang identik masih memakai seragam hitam-putih dan mudah di kenali.

Bunyi klakson menarik atensi Agus, dilihatnya ke arah parkiran seberang sebuah mobil civic hitam berhenti di sana, tengah menunggu karcis dari petugas, Agus memicingkan mata dengan telapak tangan menghalau sinar matahari yang menerpa wajahnya.

Setelah kaca sedikit terbuka, Juno melambai dari dalam. "Begaya tuh anak," gumam Agus. 

Ia berniat menghampiri Juno yang tengah memarkirkan mobilnya. "Bang, duluan ya," pamitnya pada petugas parkir.

"Yoi."

Agus merapikan tas slempang juga topi baseball-nya, sembari berjalan menuju area parkir roda empat, tanpa mengalihkan pandangan dari Juno yang baru saja keluar mobil.

"Weh, main mobil-mobilan lo sekarang," sapa Agus yang memilih berdiri di depan rantai pembatas.

"Enak aja lo, mobil beneran nih," jawab Juno, tengah merapikan penampilannya pada kaca spion.

"Widih, lo makin-"ucapan Agus terjeda, dengan tatapan menelisik ke arah pria dengan rambut sedikit gondrong dan seperempat rambut bagian kirinya dipangkas habis.

"Makin keren kan gue," celetuk Juno sembari melangkahi rantai pembatas yang memang hanya setinggi lutut orang dewasa.

"Kayak pedofil lo."

"Enak aja lo." Juno meninju lengan Agus hingga terhuyung ke samping kiri, tanpa mereka sadari seseorang tengah mengayuh sepedah yang memang disediakan oleh kampus, tepat di belakang mereka. Tubuh Agus yang terhuyung menghantam ban depan sepedah, hingga seseorang itu terjatuh.

"Aduh, duh mbak, eh dek, eh apaan ya manggilnya, anu maaf ya, temen saya emang nggak sehat jiwa dan batinnya," ucap Agus sembari membantu gadis berseragam hitam-putih itu mengangkat sepedah. "Heh, pe-ak, bantuin napa," sarkas Agus pada Juno yang hanya diam, cengo.

"Eh, i-iya." Juno, hendak menyentuh sepedah yang tengah Agus jagrak.

"Orangnya," sarkas Agus menunjuk seseorang yang masih jatuh terduduk menahan sakit.

"Eh, iya." Pria itu dengan gagap menghampiri gadis berbando kuning, dengan motif kelinci putih dan menyodorkan tangannya. Tubuh Juno semakin menggigil, ketika gadis itu menyentuh ujung tangannya, yang tak kunjung ia lepas.

"Mas, bisa lepasin?"

"Iya bisa."

Agus yang sedari tadi memperhatikan Juno pun menyentil dahi pria itu, "lepas."

"Iya-iya, ah, lo nih main kekerasan sukanya," protes Juno yang segera melepas tautannya.

"Maaf ya mbak, eh dek," ucap Agus sekali lagi pada gadis yang bahkan hanya berdeham, lantas mengambil sepedahnya dan meninggalkan dua badut yang kembali beropera, saling menyalahkan satu sama lain.

Hal itupun tak luput dari pandangan Tama yang berjalan tidak jauh di belakang keduanya dengan cekikikan. Hampir saja ia dapat menggapai punggung Juno dan Agus namun langkahnya terhenti karena panggilan Sana. "Tama?"

Merasa terpanggil pria itu menoleh ke arah tangga perpustakaan. Netranya menangkap sosok Sana yang menelisik pandang seakan menilai penampilannya.

"Kirain salah orang, berubah drastis lo."

Kembar SialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang