1. Nyasar

447 50 10
                                    

Suasana ingar bingar memadati halaman gedung administrasi, barisan antrean tampak memanjang di bawah teriknya sinar matahari yang mulai meninggi.
Para calon mahasiswa baru itu mulai lelah menunggu, pakaian yang semula rapi kini tampak tak beraturan. Bahkan lembaran kertas her-registrasi pun menjadi korban kegerahan mereka, dengan melipatnya sedang dan mengayunkannya di depan wajah, atas kepala, bahkan tak segan menarik kaos bagian bawah demi meredakan banjir keringat di dalam sana. Rupanya daun-daun pepohonan itu tak mampu menandingi keampuhan selembar kipas kertas her-registrasi.

Di sudut kanan halaman, di bawah pohon rindang, berbeda atmosfer lagi. Para perempuan-perempuan itu tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri, memoles liptint yang mulai memudar, meraut pensil alis, bertukar toko online shop langganan yang berkualitas nan murah meriah, menyisir rambut dengan jari-jari yang bahkan hanya terhempas oleh semilir angin, saling beradu pose kekinian atau hanya sekedar menengok penampilan mereka dari layar ponsel.

Mereka terlalu hanyut dalam obrolan yang condong ke arah ghibah dengan gerak mata melirik sekumpulan senior laki-laki yang berjarak 10 langkah dari mereka. Menilai dengan teliti out fit yang mereka gunakan, menandingi juri fashion dunia.

Lalu beralih pada segelintir senior perempuan yang sibuk memberi arahan pada mahasiswa baru yang hendak mengambil kepentingan atribut ospek. Membuat perempuan-perempuan itu tak sadar beberapa pasang mata menatap risih ke arah mereka, bagai halaman administrasi milik sendiri. Yang lain mah numpang lewat.

Suara ribut itu menarik perhatian tiga pria dengan penampilan yang bisa dibilang tidak baik-baik saja, ya itu karena ide laki-laki berkemeja hitam dengan tas eiger menggantung di bahu, yang membawa ketiganya masuk melalui pintu belakang, dan berakhir lari ngos-ngosan sejauh 2km, setelah tahu kendaraan bermotor tidak boleh beroperasi di dalam kampus.

"Gila, kalah tuh bajaj." Protes, pria berkulit seputih tiang bendera baru dipoles, yang duduk di bangku belakang.

"Haah, lebih gila lagi temen lo nih, udah setengah napas gue," sahut pria bergigi kelinci yang berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya, mencoba menetralkan detak jantung yang seakan-akan bisa berhenti kapan saja. Sembari menunjuk pria di samping dengan dagu.

"Yaelah, lo tahu sendiri kan kalo lewat depan ramenya kayak mau beli BTS meal, yang ada bisa masuk nggak bisa keluar," sungut Tama, membela diri. "Lagian yang napasnya setengah nggak lo doang, kita juga," lanjutnya sedikit melirik ke arah, Agus di bangku belakang.

Sedang pria di sana, misuh-misuh tak terima, melontarkan unek-uneknya yang tertahan selama 25menit itu, sedari satpam menghadang laju motor mereka di depan pintu gerbang belakang kampus.

Setelah perdebatan singkat, suasana hening di antara mereka, hanya terdengar suara admin dari balik sound, beradu dengan suara gemuruh lautan manusia. Ketiganya sibuk mengamati sekitar, sesekali melirik arloji. Tama yang mulai tak tahan dengan panas yang merambat hampir membakar tubuhnya itu, menarik-narik kerah kemejanya berusaha mencari kesejukkan.

Sungguh jauh dari ekspetasinya, duduk nyaman di dalam tenda yang disediakan atau mungkin gedung administrasi yang memiliki lobi luas, tanpa harus kepanasan. Tahu seperti ini, ia akan memilih baju berwarna cerah, dan membawa topi usang kesayangannya.

Salahkan ketiganya yang memilih datang terlambat dari waktu yang tertulis, biar nggak nunggu lama dan kelar cepet maksudnya.

Mereka yang terlalu santai cenderung meremehkan tanpa memikirkan konsekuensi dan indikasi bahwa calon mahasiswa baru jumlahnya tak sebanding dengan calon siswa baru di SMA-nya. Dimana para maba lain memilih datang lebih awal agar tidak tenggelam diantara maba lain.

"By the way, lo jadi masuk sosiologi, Tam?" ujar Juno memecah keheningan. Mendengar namanya disebut pria itu menoleh sejenak, menghembuskan nafas besar lantas menggeleng.

"Lah, terus?"

"Gue masuk kesejahteraan sosial."

BYURR

Tama segera berdiri dari tempatnya, ketika air menyembur hampir membasahi wajah estetisnya.

Seketika tawa pun terlempar dari mulut Juno. "Yakin lo, otak lo aja nggak sejahtera," ledeknya yang semakin terbahak.

Jika dipikir-pikir, ia mengisi kolom kedua jurusan yang diminati dengan cuma-cuma. Lagi-lagi ekspetasinya tak sesuai, ilmu politik di kolom pertama yang ia gadang-gadang malah melemparnya ke jurusan kesejahteraan sosial. Beruntungnya, masih satu Fakultas dengan Ilmu politik, berbeda dengan Juno yang benar-benar nyasar. Dari fakultas teknik harus terima kenyataan di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Itu semua karena keinginan kedua orangtuanya yang memang seorang guru.

"Ya mendingan gue kesasar, dari pada lo yang sengaja nyasar jurusan."

"Gue kan ada alasannya, nah lo kesasar nggak beralasan."

"Di mana-mana yang kesasar lebih logis, daripada yang sengaja nyasar."

"Gue nyasar punya tiket tujuan, nah lo cum-"

"Sama-sama nyasar, rame lagi," celetuk Agus yang sedari tadi memilih diam, menyimak pertikaian tak karismatik di depannya. "Santai, santai, relax," sambungnya, dengan nada lemah di akhir kata.

"Yadeh, kang relax, lo apa-apa bawaannya relax sih," timpal Juno yang mulai tersulut api.

"Siapa?" Ujar Agus dengan nada kelewat datar.

"Lo."

"Nanyak," sahutnya dengan smirk yang dibuat-buat. Mengacuhkan otot-otot besar yang menjalar di lengan tangan Juno dan siap melemparnya ke kolam ikan dibelakang mereka.

"Lo, jadi masuk Hubungan Internasional, Gus?"

"Iya-"

Lagi-lagi Juno menyemburkan air mineralnya, menyela ucapan Agus "Beh, ini nih, gue salut sekaligus iri sama best-"

"Ya nggak maksudnya." Sahut Agus. Jawaban itu seketika membuat Juno mengucap sumpah keramatnya pada Agus yang hanya diam menampilkan wajah tak bersalah. Terkesan mengabaikan cicitan kelinci lapar di hadapannya. "Gue tarik omongan gue."

"Yee, sama aja lu nyasar, Bambang." Protes Tama yang tak terima, sembari memukul kepala Agus dengan map pada genggamannya yang ia gulung.

"Nama gue Agus bukan Bambang."

"Nggak usah sebut-sebut Bambang nanti dia ke sini lagi." Sahut Juno, dengan air muka yang mulai sedikit tenang.

Ya, Bambang Kristyan, laki-laki yang berkamuflase sebagai perempuan itu dengan tegas mengubah namanya menjadi Bambang Kristina, memang suka sekali mengganggu ketiganya, tak berbanding jauh dengan parasit, hal itu menjadikan masa-masa terakhir mereka di SMA tak berkesan, dan penuh sumpah serapah,

"Bambang lagi nge-trend, coy." timpal Tama begitu percaya diri.

"Lo-nya aja yang ketinggalan trend," sarkas Juno sembari memukul pelan tengkuk Tama dengan tas slempangnya.

Beruntunglah mereka kini terbebas dari si kucing haus belaian. Karena perpisahan kecil yang dadakan dan penuh paksaan, dimana Bambang harus bercucuran air mata mengatakan salam perpisahan pada ketiganya. Membuat para lelaki itu semakin muak menjadi bagian drama yang Bambang pentaskan di sebuah cafe dengan pelanggan yang lumayan ramai.

"Gue berasa hidup lagi setelah Bambang pergi."

"Kemaren lo mati, Gus?" Ingin rasanya pria berkulit cerah itu menendang mulut sembarangan Juno.

"Ada yang memanggil saya?"

Baru saja Agus menetralkan afeksinya, mereka dikejutkan oleh pria berperawakan gemuk, sedikit botak dengan kacamata melorot, berkemeja rapi, dengan tas laptop di tangan kanan, lantas melirik name tag 'Bambang Bangoen Pribahadi. M.Si, Ph.D' bertengger di dadanya.











Sebagai menusia biasa, aku sadar bahwa cerita yang kubuat masih belum pantas jika disebut sebagai sebuah karya yang sempurna. Maka dari itu suara kalian adalah semangat untuk lebih memperbaiki kualitas ceritaku selanjutnya.

Kembar SialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang