Merahnya senja menemani laju motor Tama yang sengaja ia pelankan, selepas hujan deras yang tak kunjung berhenti semalam hingga siang tadi. Sepertinya malam ini akan cerah. Dirinya begitu menikmati belaian lembut angin senja dan aroma petrikor yang tersisa.
Senyuman tipis seakan enggan pergi, jika dipikir-pikir kapan lagi dirinya bisa tersenyum selega ini. Ya, bisa dibilang hari ini adalah hari emas baginya, tidak ada kesialan, atau pun gangguan spiritual dari teman serantainya.
Tentu bukan hanya itu ada hal besar yang membuat Tama tak minat sedikitpun untuk merubah sudut bibirnya yang terangkat tinggi.
Hanya karena suatu kejadian singkat yang terjadi begitu saja, namun sangat berarti bagi Tama. Hingga membuat pria itu melantangkan kalimat ajakan pada kedua karibnya, yang mungkin akan ia sesali. Karena telah melenyapkan isi dompetnya dalam kedipan mata.
Untuk saat ini, Tama tak ingin mempermasalahkan hal itu, entah suatu saat nanti jika moodnya memburuk, bisa saja ia meminta ganti rugi.
Faktor lain yang membuat Tama dihujani pelangi adalah sosok pria tinggi berkacamata hitam yang baru saja keluar dari rumah tetangga cantiknya.
"Eh, Mas Tama. Baru pulang?"
"Iya nih, Mas. Situ udah mau balik?" Tak ada kecanggungan atau berat hati lagi dalam diri Tama, tatkala bertegur sapa dengan pria yang sering Airin panggil Adrian.
Pria itu mengangguk, "mampir doang, anter pesenan tante. Mari mas."
Pria yang sempat ia curigai itu, adalah sepupu Airin yang juga merupakan mantan kekasih Joyana, si asisten dosen. Betapa bahagianya Tama kala itu setelah terbebas dari anggapannya sendiri. Bagai terjatuh menggelangsar di sebuah ujung tebing lantas terhempas kembali ke padang rumput yang di penuhi bunga bermekaran.
Siapa sangka jika dirinya yang saat itu tengah menjadi kurir dadakan, untuk mengantarkan kue buatan Tanti-sang ibu-kepada keluarga Airin. Justru berakhir di sebuah pesta pernikahan teman Airin. Jika saja saat itu Tama masih bergelung di dalam egonya, mungkin ia masih terperangkap kehisteriaannya sendiri.
Memang apalagi yang Tama cemaskan, perihal Rayyan, bukankah kontrak kerja Airin sudah habis sejak tiga hari lalu, yang artinya gadis itu tak ada alasan untuk bertemu dengan sepupu tertuanya itu lagi.
Hal lain yang membuat Tama memasok oksigen dipagi harinya dengan begitu rakus ialah, ia tak harus kembang kempis lagi karena melihat mobil Rayyan terparkir di depan pintu gerbang Airin, kini seakan semua kegelisahannya telah berakhir.
Kiranya ia telah melewati masa-masa sulit untuk mendapatkan hati Airin, terhempas, terombang-ambing, terhuyung ke sana-kemari. Dia hanya butuh bersabar sedikit lagi.
Baru saja ia mendaratkan pantatnya pada sofa, suara merdu gadis yang memenuhi pikirannya seharian ini, menggagalkan niatnya menenggak air mineral pada genggamannya.
"Tama."
Pria itu menoleh ke arah pintu, di sana Airin tengah berdiri dengan baju rapih dan tas slempang berwarna hitam. Menaik turunkan alisnya menatap Tama penuh makna
"Gue mau minta tolong."
Dengan tetap menahan rasa lelahnya, Tama dengan setia mendengar ocehan, bahkan cubitan dan pukulan spontan Airin yang heboh di sepanjang acara belanjanya. Secara harfiah wanita akan bertingkah berlebihan jika melihat sesuatu yang berbinar dimatanya, walau sebenarnya itu bukan hal yang penting-ingat, garis bawahi, 'bagi kaum pria'
Tama menilik arlojinya, hampir dua jam mereka hanya berkeliling mall, tanpa satu arah tujuan pasti. Hingga sebuah pertanyaan memecah kebingungan Tama.
"Ngomong-omong, lo kan cowo, hal yang pasti bakal selalu cowo butuhin dan harus selalu ada apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembar Sial
Подростковая литератураTiga serantai yang bersahabat sejak duduk di bangku SMA, lebih tepatnya sejak ketiganya terlambat dihari yang sama, mendapat point dan hukuman yang sama dari polisi sekolah, bermasalah dalam hal asmara. Dan sama-sama menjadi target cinta monyet, Bam...