11. Alibi Juno

102 27 4
                                    

Kedua pria dengan poker face itu, membawa langkah lunglai mereka menuju meja kantin, tanpa minat memesan satupun makanan. Tampak hanya berbekal air mineral pada genggaman keduanya.

Semua karena insiden judul laporan Agus yang di tolak mentah-mentah dan buruknya lagi kertas-kertas itu telah berterbangan membentuk badan pesawat, karena kekreatifitasan anak dari sang dosen. Beruntung Agus masih mawas diri akan pelaku di bawah umur itu.

Jika Tama, jangan ditanya dia masih dalam mode sad boy yang berusaha menguatkan langkah kaki demi meleburkan kepedihan-katanya, sih.

Dari arah belakang Juno dengan eforianya yang cenderung tak peduli akan atmosfer eutimia tengah mengelilingi kedua sohibnya, berlari kencang lantas menepuk bahu mereka cukup keras, hingga membuat dua pria yang tengah menghayati kesenduan itu terkejut.

"Ee, copot," pekik Tama dengan suara pausnya, bahkan ia melempar botol dalam genggamannya begitu saja, berbeda dengan Agus yang hanya diam mencoba untuk tenggelam dalam liberosisnya.

Namun, tak lama kemudian justru Juno di kejutkan oleh sosok Riana yang muncul dari lorong, diantara mahasiswa lain yang lalu lalang, berjalan menunduk melewati ketiganya. Sejenak ia terhenti ketika menyadari seseorang tengah menunduk di hadapannya, guna meraih botol yang menggelinding beberapa senti dari ujung sepatunya.

"Macem kena gendam, lo," celetuk Tama sembari menepuk bahu pria di sampingnya menggunakan botol, setelah mendapati tatapan tak biasa Juno.

"Biasa aja ngeliatinnya, udah kayak om-om pedofil, lo," sambung Tama.

Cercaan itu hanya berlalu dalam pendengaran Juno, ia masih setia melirik gadis yang berjalan ke tengah kantin, dari ekor matanya. Namun, tak membuatnya hilang akal untuk mengerjai Tama.

"Eh, eh, bukannya Airin tuh!" seru Juno heboh, hingga Agus pun ikut menengadahkan kepalanya. Sedang Tama buru-buru menyapu pandang dengan jantung berdegup, rupanya Agus yang terlebih dahulu menyadari bualan Juno.

"Kena, lo," Ujar Juno kembali memukul tengkuk Tama dengan telapak tangan besarnya.

Sayangnya, hal yang tertangkap penglihatan Tama bukanlah sosok Airin, tetapi seorang pria dan wanita yang tengah bersenda-gurau di sana, bahkan rasa sakit pada tengkuknya memudar. Ia tahu betul jika gadis di sana adalah Wena dan pria yang tak ia kenali.

Tama melirik ke arah dua pria di samping kanannya, lalu kembali menatap Juno yang terdiam sembari membalas tatapan Tama, dengan raut muka bersalah, walau sebenarnya itu bukan sesuatu yang ia sengaja.

"Ngopi yok ngopi, diem-diem bae," celetuk Juno bermaksud mencairkan suasana. Setelah ia merasa hawa di sekitarnya berubah menjadi berat.
Namun, tak ada sahutan dari Agus bahkan Tama pun ikut terdiam, dengan tatapan menuntut.

Agus hanya menatap sekilas kearah yang dimaksud Juno, tanpa reaksi apapun selain diam lantas kembali memainkan ponselnya, yang justru membuat Tama dan Juno terheran-heran. Seketika muncul ribuan asumsi yang menyelinap masuk ke dalam benak keduanya. Juno jadi lupa dengan tujuan awal menemui mereka berdua-ralat-lebih tepatnya pria ber-headband di sampingnya.

"Gue, ke kelas duluan."
Mereka semakin terheran kala Agus mengambil langkah mantap meninggalkan kantin. Tama menyiku lengan Juno dengan maksud mengintimidasi. "Dasar PHO, lo."

"Lo, belum pernah nyoba kaos kaki gue ya, sekali-kali perlu disaring tuh mulut."

"Nggak perlu, gue bisa pake saringan emak gue."

"Mahalan kaos kaki, gue."

"Gara-gara, lo, nih. Jadi baper kan tuh manusia jadi-jadian."

Belum sempat menutup mulutnya Juno kembali bersua. "Emang lo baperan," jawabnya kelewat santai.

Kembar SialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang