5. Kesempatan

138 30 2
                                    

Hari minggu telah tiba, itu berarti saatnya berbaur dengan lembaran kertas folio dan tumpukan buku referensi. Siap menghadapi minggu panjang tak berkesan bagi Tama.

Sesekali melirik ke arah ponsel yang tergeletak di atas kasur, barangkali ada yang mengajaknya keluar rumah sekedar jalan-jalan keliling komplek. Namun, nihil itu hanya sebuah aspirasi yang malah membuatnya semakin tak memlusat pada tugas makalah yang sudah hampir satu bulan belum ia rampungkan.

Walaupun tampaknya serius membolak-balik halaman buku kenyataannya ia nyaris tidak tahu apa yang harus ia tuliskan ke dalam folio.

"Nih dosen sekongkol kali ya, hampir semua mata kuliah, tugas akhir semester bikin makalah," gerutu Tama dengan perseptifnya yang mulai ruwet.

"Tam, sarapan dulu gih, udah dari subuh tadi ngadep buku, nggak laper?" Ujar sang ibu yang berdiri di ambang pintu. Memperhatikan putra sulungnya tengah menenggelamkan wajah pada meja belajar.

"Lagi nggak selera," ucapnya sedikit berbisik.

"Kamu itu, lemes kayak gitu mana bisa mikir, mama ambilin deh." Merasa prihatin, sang ibu yang hendak membalik badan, terhenti karena Tama kembali bersuara parau.

"Nggak usah ma, nggak laper juga Tama susah mikir yang beginian."

Menggeleng heran, sang ibu hanya bisa menghela nafas besar kala adu argumen dengan putra tampannya yang sedikit keras kepala, tapi manja.

"Terserah kamu deh, tapi paling nggak mandi dulu sana. Biar seger biar bisa mikir." Pesan sang ibu sebelum beranjak.

"Eh, ma," buru-buru pria itu mengganti posisi duduknya, berbalik menghadap sang ibu.

"Apa? Kamu berubah pikiran? Mau makan atau mandi?"

"Bukan dua-duanya," cengir Tama, membuat sang ibu menggeleng kepala, dengan estimasi;hal aneh apa lagi yang akan anak itu minta.

"Anu, cuma mau nanya. Mama nggak pernah liat si Airin, kok Tama nggak pernah liat dia?"

"Ada kok. Kamunya aja yang udah mulai sibuk sama kuliah. Biasanya juga siram bunga di depan kalo pagi sama sore."

"Kok Tama nggak tau?"

"Kamu udah berangkat ke kampus, pulang juga kadang kesorean kan."

Pria itu mengangguk, dengan bibir membulat. Hilang sudah rasa penasarannya yang kini berpindah pada sang ibu.

"Kenapa emang?"

"Nggak pa-pa. Mama nggak pengen jodohin Tama gitu ?"

Segera Tama mendapat toyoran yang mendarat di kepalanya. "Heh, ngawur, sembarangan, mana mau Airin sama cowo modelan kamu."

"Lah, yang bilang minta jodohin sama Airin siapa? Atau jangan-jangan Mama udah punya rencana diam-diam mau jodohin kita ya?" Selidik Tama kelewat percaya diri. Sembari menaik turunkan alisnya.

"Makin ngawur, kuliah aja sana yang bener. Baru deh tu mama bisa promosiin kamu ke anak temen-temen mama. Kalo kayak kamu yang sekarang, nggak ada yang bisa mama andalin." Singkat tapi menohok, ingin membantah pernyataan sang ibu, namun ia masih sadar diri bahwasanya dia memang jauh dari kata sukses bahkan baik.

"Ye, mama. Anak sendiri di nistain. Nggak perlu pinter Tama udah ganteng kok. Aduh, duh, maaaaa, sakit," adu Tama sembari mengusap telinganya yang memerah akibat jeweran spontan sang ibu.

"Biar sadar kamu, berkhayal terus, lanjutin tugas kamu tuh."

"Namanya juga bercanda, nggak ada salahnya kan berharap," gumam Tama pelan, ketika sang ibu berlalu keluar kamar. "Eh, tapi, gimana nanti ya kalo gue udah rumah tangga?" Konsepsinya mulai melalang buana. Ia nulau menggunakan Kelebihannya berimajinasi. Sehingga terkadang sulit membedakan mana aktualitas dengan ekspetasi.

"Secantik apa ya istri gue? Kira-kira gimana lucunya anak-anak gue ya? Eh, gimana kalo yang jadi istri gue si Airin?" Ujarnya sembari mengetuk-ketuk kepalanya dengan bolpoin. "Cantik sih, tapi galak, tapi dia sebenernya baik, eh tapi-" dan masih ada banyak tapi dalam benak Tama.

Sebentar,

Buru-buru Tama bangkit dari tempat duduk ketika mendengar suara familiar dari luar, pria itu mengintip keluar dari jendela kamarnya. Beberapa kali ia mengusap-usap mata, barangkali penglihatannya mulai memburam karena terlalu lama membaca buku. Tetapi, ia tak salah liat, itu benar Airin dengan seseorang yang sepertinya ia tahu. "Nah, gue inget sekarang. Samperin ahh, kesempatan pamer sama Juno."

Dengan tangkas pria itu berlari keluar kamar bermaksud menghampiri Airin, tetapi tepat di depan kamar Cakka yang berada di samping kamarnya, bocah itu tiba-tiba keluar membawa anak ayam pelanginya. Tama yang berlari secepat kilat itu tak sempat bahkan tak bisa menghentikan kakinya, dengan penuh rasa prihatin dan bersalah akhirnya ia menabrak tangan Cakka hingga anak ayam itu terlempar ke sofa. "Kak Tamaaaaaaaaaaaaaa," teriak Cakka menggelegar ke sepenjuru rumah. Bahkan sang ayah yang tengah membaca koran di teras depan segera berlari ke ruang tengah seketika. "Ada apa sih?" Tanya sang ayah ketika melihat Cakka dengan muka memerah hendak menangis.

"Yaelah, minta maaf, nggak sengaja. Lagian kamu keluar kamar nggak klakson," ujar Tama semakin membuat Cakka menangis kencang.

"Udah dulu ya, lanjutin deh nangisnya," sambung Tama sembari memberikan anak ayam yang sempat Tama ambil itu kepada Cakka.
Pria itu lantas berlari melewati sang ayah. "Selamat pagi, Yah."

Sang ayah hanya bisa terdiam memandang bergantian dua putranya yang selalu sibuk bertikai.
Sedang Tama, pria itu sudah berdiri di depan pintu gerbang Airin, lebih tepatnya menahan pintu gerbang Airin dengan kakinya yang hendak gadis itu tutup.

"Kenapa lo?"

"Kaki gue kejepit."

"Lo pikir gue nggak tau, lo sengaja."

"Eh kok tau, hehe." Tanpa perintah pria itu membuka lebar gerbang Airin. Lantas, mengedarkan pandangan ke sekitar rumah

"Lo nyariin apa?" Celetuk Tama heran melihat Airin juga celingukan.

"Nah, seharusnya gue yang nanya, lo nyari apa? Dateng-dateng kayak maling lo."

"Oooh, gue nyari-"

"Cari cewe yang ngobrol sama gue tadi?" Sahut Airin yang bisa menebak isi kepala Tama. Sedang pria itu hanya menunjukkan deretan giginya.

"Udah pulang dia. Kenapa, lo kenal?"

"Mau kenal sih, kalo dianya nggak keburu pulang," ujar Tama sembari menyibak rambutnya ke belakang.

"Pede banget kalo dia mau kenal lo Tam."

"Namanya juga usaha. Bagi nomornya dong, sekalian sosmednya."

Mendengar hal itu, Airin hanya diam tak bergeming beberapa saat, dengan tatapan tak terbaca, sebelum akhirnya menghembuskan nafas panjang. "Gue hargain usaha lo, sekarang lo pulang, cek hp, gue kirim nomor sama sosmed dia ke lo," ucap Airin mendorong ringan tubuh Tama keluar pagar.

"Thankyou Rin. Lo emang best."

Kecupan ringan yang mendarat di pipi Airin membuat gadis itu terlonjak, seketika menengok ke kanan dan kiri, dengan rasa was-was jikalau tetangga ada yang melihat adegan tak senonoh Tama.

"Tamaaaaaaaaaaaa." Teriaknya kepada Tama yang berlari kegirangan ke dalam rumahnya. "Astaga, calon suami maafin Airin," rengeknya sembari mengusap-usap pipinya, bahkan terkesan menamparnya.

Kembar SialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang