Akibat mati lampu semalaman, akhirnya Tama harus terdampar di gedung terminologi informasi sepagi ini, dengan gigi bergemelatuk, telinga yang ia sumpal dengan headset guna meredam tubuh menggigilnya walau itu sia-sia, tak ada satupun musik yang ia dengar atau pun track yang terputar, bahkan colokan headset itupun tak menempel pada ponselnya, hanya tergantung bebas.
Semua itu karena hujan rintik yang tak kunjung mereda dari semalam, atau justru efek suasana hatinya yang menggumpal barangkali karena alasan, bahwa gadis bermahkota emas itu bahkan tak peduli dengan bagaimana kacaunya seorang Afridial Tama Wibowo selama beberapa hari ini.
Jangan lupakan indikasi bahwa ia adalah pria penakut, yang turut berpengaruh pada penurunan suhu tubuhnya secara mendadak hanya dengan menatap gedung luas nan redup di hadapannya, dengan belasan lampu yang sialnya justru hanya tampak samar-samar.
Bahkan rumor-rumor horor mengenai kampusnya terngiang-ngiang menghantam konsentrasinya. Beruntung jalanan masih sepi, karena beberapa kali pria itu hampir membelokkan stir di sepanjang perjalanan, dengan maksud menunda perjalanan hingga beberapa jam ke depan.
Lebih-lebih ia sudah menyiapkan sederet alibi atas keterlambatan tugasnya.Walau sempat bernapas lega kala menelisik jauh ke dalam gedung IT, dan mendapati beberapa mahasiswa lain yang tengah sibuk dengan layar laptop, atau hanya duduk berlindung di dalam gedung penuh rongga tersebut, sembari memainkan ponsel. Setidaknya bayangan hantu merayap telah sirna.
Namun, nyatanya hal tersebut tak membuat isi kepala Tama tenang. Sebagai antisipasi, sesekali ia melirik beberapa meja berpenghuni itu, memastikan jika kaki mereka benar-benar menapak ubin.
Perhitungan jarak antara bangku dan jalur evakuasi Tama pun sudah tergambar rapih dalam benaknya kalau-kalau, manusia-manusia itu berubah menjadi manusia merayap, akh, itu hanya salah satu keahlian berimajinasi Tama yang luar biasa.
"Sst."
Gerakan jari-jemari Tama memelan, ia menelan ludah, menajamkan pendengaran dengan denyut jantung yang kembali terpacu. Sialnya, baru beberapa menit bongkahan kenyal di dalam sana bergerak teratur, walau sempat berusaha untuk tak menghiraukannya, bagaimana pun juga suara yang terus terdengar itu berhasil menghentikan total pergerakan jemarinya yang tengah menari di atas keyboard.
"lo yang pakek headset ijo."
Tama terkesiap, baru saja ia berhasil menepis rasa parnonya.
Pria itu tak segera menyahuti, ia menilik ke segala arah, namun tak ada yang memakai headset berwarna hijau selain dirinya, dan pandangan itu terhenti pada sosok pria berbalut kemeja putih, tengah meniup gelembung permen karet, tepat di meja sampingnya, yang entah sejak kapan.
Terkejut? Tentu saja, karena yang Tama tahu penghuni meja dengan bangku panjang itu terlihat seperti seorang wanita-mungkin- yang kini masih asyik menyecroll ponselnya. Tama tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena tertutup topi hodie, ia hanya mengandalkan rambut hitam sedikit bergelombang yang menjuntai itu. Tama tak bisa memastikan, karena siapa tahu ada kejutan tak terduga dibalik topi hodie itu.
"Kampret, gue kira apaan." Lantas ia menghempas satu headsetnya dengan kasar, sembari tak henti mengucap sumpah serapahnya.
"Ee, ada apa-kenapa, ya? Tampaknya anda begitu tegang." Sahut Juno tanpa menggubris kicauan Tama, dengan logat dan gestur tubuh yang dibuat-buat.
"Jangan bilang lo udah kembang kempis di dalem," ledek Juno benar-benar tak memperdulikan Tama yang bersiap dengan mode tantrumnya.
Hening, Tama masih terdiam, menatap tingkah tengik pria kurang ajar dan setengah dewasa di sampingnya yang tengah terkekeh puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembar Sial
Fiksi RemajaTiga serantai yang bersahabat sejak duduk di bangku SMA, lebih tepatnya sejak ketiganya terlambat dihari yang sama, mendapat point dan hukuman yang sama dari polisi sekolah, bermasalah dalam hal asmara. Dan sama-sama menjadi target cinta monyet, Bam...