Berbekal camilan ringan milik Cakka yang Tama ambil diam-diam, kini ia tengah melakukan rutinitas maraton film segala genre di sepanjang libur semesternya. Datang ke rumah Airin di pagi atau siang hari, demi mengajaknya nobar. Berhubung gadis itu belum juga mendapat panggilan dari beberapa cv yang ia sodori berkas lamaran pekerjaan, Airin mengiyakan saja permintaan Tama. Seusainya, ia akan berhibernasi hingga malam atau bahkan ke esokan paginya;benar-benar definisi pemalas yang sebenarnya.
"Tam, lo nggak bosen kayak gini terus?" Ucap Airin ditengah-tengah film.
"Bosenlah."
"Terus kenapa nggak ngerubah keadaan?" Sahut Airin sembari menggigit camilannya.
Terdengar hembusan napas kasar dari Tama, "Gue sih mau-mau aja, tapi cewenya yang nggak mau."
Airin menoleh ke arah Tama yang masih serius memperhatikan film. "Kita ngomongin apa sih?"
Kini Tama ikut memalingkan wajah, menjadi berhadapan dengan paras Airin yang semakin cantik jika ditatap lebih dekat. "Ngomongin gue sama lo," jelas Tama dengan suara parau yang mampu merubah suasana. "Ki-ta," sambungnya, sembari mengarahkan telunjuknya bergantian kearah wajah keduanya.
Airin baru menyadari wajah Tama yang sedikit berbeda, terlihat lebih dewasa dengan kumis tipis yang entah sejak kapan tumbuh. Rambut sedikit gondrong menutup daun telinga dan menyentuh tengkuk lehernya. Laki-laki manja itu kini sudah tumbuh dewasa.
Tama menjentikkan jarinya beberapa kali, berusaha mengembalikan kesadaran Airin. "Heh, malah nglamun. Ada yang aneh sama muka gue?"
"I-iya, ada yang aneh. Rambut lo potong gih," gugup Airin yang tak merubah posisi.
"Kumisnya nggak?" Ujar Tama sembari menaik turunkan alisnya.
Sekali lagi Airin memperhatikan kumis tipis yang menghias wajah Tama. "Enggak," jawabnya dengan suara pelan, sialnya terdengar oleh telinga Tama yang kini begitu tunggang hati.
"Lo nggak tertarik ama gue?" Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Tama menampilkan smirk menggodanya.
"Pingin narik iya Tam."
Airin meraih plastik camilan sembari merubah posisi duduknya, kembali menghadap laptop. Nyatanya, jantung gadis itu berdesir hanya karena kumis tipis Tama."Yaelah kasar banget lo jadi cewe." Begitu juga dengan Tama, tangan pria itu tak tinggal diam, ia mengambil alih camilan dari tangan Airin yang hendak gadis itu suapkan ke dalam mulutnya.
Airin sempat melongo dan tak terima, ketika melihat camilannya di giring ke dalam mulut pria itu. "Kasar gimana, gue apa-apain juga nggak."
"Mau dong di apa-apain sama lo." Airin menoyor kepala Tama yang sedang berpose sok imut di depannya.
"Nggak jelas, cari kesibukan sana lo, nggak mungkin kan lo selama tiga bulan bakal kayak gini terus, berkembang dikit lah Tam," ketusnya sebelum menyuap camilan ke dalam mulut.
"Nanti lah itu. Gue masih belum puas males-malesan." Tama beranjak dari karpet, berjalan ke arah meja rias Airin. Mengobrak-abrik kotak asesoris yang baru saja gadis itu benahi, mendapati aroma mencurigakan dari sana, Airin lantas berdiri menyusul Tama. "Pinter ya lo, baru juga gue benerin."
"Ya ampun Rin, lo tuh ya, nggak ada kalem-kalemnya sama calon suami, bawaannya ngajak sparing mulu, gemes gue."
"Mana? Mana calon suami gue?" Sergahnya dengan celingukan ke kanan-kiri, seolah mencari seseorang yang bersembunyi. "Calon suami gue nggak doyan obrak-abrik barang, terus nggak dibalikin."
"Nih gue balikin, nih." Pria itu benar-benar menata kembali beberapa bros dan karet rambut yang berserakan. "Udah, puas lo."
Perhatian Tama teralih pada selembar foto yang muncul di antara tumpukan buku dan map. "Apaan nih?" Yang menarik perhatian Tama adalah foto seorang pria di samping Airin, dan, tunggu dulu, "loh, ini Kak Joyana?"
Hilang sudah rasa penasaran Tama pada sosok pria yang tengah berpose di sana;untuk sementara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembar Sial
Dla nastolatkówTiga serantai yang bersahabat sejak duduk di bangku SMA, lebih tepatnya sejak ketiganya terlambat dihari yang sama, mendapat point dan hukuman yang sama dari polisi sekolah, bermasalah dalam hal asmara. Dan sama-sama menjadi target cinta monyet, Bam...