Dari dulu, gue gak pernah percaya tentang menjadikan orang lain sebagai rumah untuk pulang. Manusia itu makhluk paling absurd dan paling inkonsisten yang pernah ada, bikin gue gak pernah menjadikan orang lain sebagai rumah. Siapa pun itu. Rumah buat gue yang diri sendiri, yang bisa diandalkan ya diri sendiri. Sampai sekarang, prinsip itu masih gue pegang teguh.
Tapi ya, pasti ada saat di mana elu pengen rely on ke orang lain. Gak munafik, gue juga gitu. Ada saat gue capek, mumet dan pengen bersadar sama orang lain. Gak mengharap bantuan ataupun solusi buat masalah gue, cuma pengen bersandar aja sebentar. Melupakan sejenak sebelum kembali berdiri untuk menghadapi apa pun masalah hidup.
Kayak sekarang. Gue baru aja selesai dengan semua kerjaan lemburan gue pas jam di kantor menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Badan bukan main renteknya, tapi tahu apa yang sekarang ada di pikiran gue? Gue mau ketemu Salayna. Meski itu berarti gue harus bolak-balik SCBD-Depok-SCBD, tapi yang sekarang gue mau cuma ketemu dia, barang sebentar.
Dan di sini lah gue sekarang. Pukul sebelas malam, gue mematikan mesin mobil tepat di depan rumah Lay. Gue buka handphone untuk men-dial nomornya. Dering ketiga, telpon diangkat.
"Udah di rumah kan, Lay?" Tanya gue basa-basi. Gue tahu dia di rumah dari jam delapan tadi. Dia ngabarin via chat sebelumnya.
"Enggak di rumah. Gue lagi milihin pasir di toko matrial."
Jawabannya bikin gue ketawa. Ada aja ini orang. "Keluar bentar dong, Lay."
"Ngapain?"
"Gue di depan rumah lu nih."
"Gak terima permintaan sumbangan, Bar."
Kenapa ini orang ada aja sih jawabannya. "Lay, beneran ini gue."
Sekarang, dia yang ketawa. Bikin gue jadi ikut ketawa juga. "Bentar."
Begitu menutup telpon, gue langsung keluar dari mobil. Menunggu Lay yang gak lama kemudian juga keluar dari rumah dengan selimut kecil yang menyelubungi tubuhnya. Lucu.
"Hey."
Lay menyapa gue yang ada di luar pagar rumahnya sambil membuka pintu pagar. Senyumnya sumringah banget. Lucu. "Kenapa pakai selimut keluar? Dingin?"
Dia menggeleng sambil senyum. "Iseng aja."
Gak tahu udah kali keberapa gue ketawa gara-gara ini orang. Padahal belum ada sepuluh menit gue ketemu dia.
"Mau masuk? Gak gue kasih minum tapi."
Tawa gue lepas gitu aja bareng gelengan kepala sebagai respon untuk pertanyaan perempuan di depan gue ini. Salayna Agni, kenapa semudah itu buat lu bikin gue ketawa sih?
"Lemburannya udah rapih?"
Gue jawab dengan anggukan pelan dan senyum lebar. Sisa tawa tadi.
"Kenapa ke sini? Kenapa gak langsung pulang?"
Gue gak punya jawaban buat pertanyaan itu.
"Abar?"
Kalau gue bilang gue cuma mau ngeliat dia doang, dia bakal bales apa?
"You did great today, Nala Baruna."
Tahu rasanya saat beban berat di pundak kanan-kiri dan di kepala hilang di saat yang bersamaan? Itu yang gue rasain saat dengar kalimat penenang dari Lay. Mungkin memang terdengar basa-basi, tapi kalau dikatakan di saat yang dibutuhkan dan dari orang yang diinginkan, semua terasa sangat tepat dan menyenangkan. Ditambah dengan tangan kecil Lay yang membelai pelan kepala gue. Semua terasa pas pada tempatnya.
Lay masih membelai pelan kepala gue sambil senyum. Gak tahu kenapa, ini aja udah berasa cukup buat gue. Ini udah berasa cukup sampai rasanya gue gak mau minta hal lain selain Salayna, di hadapan gue, dengan senyum dan sentuhan tangannya di kepala gue. Oh, kalau bisa gue minta waktu dihentikan barang sejenak. I just want to cherish this moment for a little while.
Gue merasa tangan Lay yang mulai beranjak dari kepala gue, refleks membuat gue menarik pelan tangannya. Menggenggamnya seakan hidup gue ada di tangan kecilnya. Untuk saat ini, biarkan gue bergerak berdasarkan perasaan. Untuk saat ini biar gue jadikan dia sebagai tempat aman gue.
Perempuan itu gak melepas tangan gue. Membiarkan gue tetap menggenggam tangannya. Senyum kecilnya juga masih ada di wajahnya.
"Mau di sini sampai jam berapa, Bar? Gak kangen sama kasur?"
Celetukan dia tuh gak pernah gagal bikin gue ketawa. Atau memang gue yang segampang itu buat ketawa kalau sama dia?
"Pulang, Abar. Istirahat."
"Iya, Lay."
"Pulang."
"Iya, Salayna."
"Gak usah mampir ke Poncer ya. Langsung pulang."
Senyum melebar di wajah gue.
"Abar–"
"Iya, Salayna Agni. Gue pulang ya."
Perempuan ini mengangguk pelan, masih dengan senyum di wajahnya sebelum mendorong gue pelan. "Udah sana pulang. Hush."
Gue pamit sekali lagi sebelum berjalan mundur perlahan. Agak berat rasanya buat ninggalin dia. Iya, tahu gue melankolis.
Baru beberapa langkah gue jalan menuju mobil, Lay manggil gue. "Salah jalan gak sih, Bar? Rumah lu kan di sana."
Gue lihat dia nunjuk ke arah yang berlawanan, yang memang ke arah rumah gue. "Gue balik ke apart, Lay."
"Hah?"
"Udah sana masuk. Tidur."
Gue melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Salayna yang masih bingung sama jawaban gue. Bersiap menempuh perjalanan Depok-SCBD, tapi kali ini dengan senyum selebar jagad di wajah gue.
Untuk Salayna Agni, terima kasih sudah mau jadi tempat aman gue. Ini sebatas harapan, tapi semoga kedepannya elu bakal terus jadi tempat aman gue. Semoga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obrolan Rasa
RomanceHanya obrolan soal rasa dari banyak macam manusia yang berkumpul di bawah Pohon Ceri. Rasa yang inkonsisten. Rasa yang absurd. Rasa yang sulit diprediksi. Ya, hanya sebatas obrolan soal rasa.