Sandhy Pranidhana - Sandhy ; Insensitive

18 1 0
                                    


Dipta pernah bilang, gue termasuk orang yang sensitive tapi insensitive. Paham gak lu? Gue sih enggak. Kalau kata dia sih ada saat di mana gue jadi amat sangat sensitive sama keadaan sekitar gue, tapi ada saat di mana gue benar-benar gak tahu apa-apa dan gak berusaha untuk cari tahu juga. Banyakan orang kayak gitu gak sih? Makanya gue gak paham maksud Dipta tuh apa, dan dia pun gak bisa jabarin dengan jelas. Ya, ngarep apa sih sama Dipta.

Buat gue sebenarnya gak ada ngaruhnya juga. Karena gue selalu menerapkan prinsip, kalau orang mau cerita, gue akan mendengarkan. Kalaupun gak mau cerita, ya gue gak akan maksa. Gak ada masalah di gue, sampai ini kejadian di teman dekat gue. Gue memang tahu ada sesuatu sama Kirana belakangan ini, tapi gue gak tahu apa dan gak berusaha buat nanya juga. Berasa bodoh juga gue sampai gak tahu apa-apa gini, padahal gue selalu melabeli ini orang sebagai teman dekat gue.


"Gimana, Ki?"

Gue sama Kirana lagi makan di luar, abis balik kantor dan kita janjian makan di tempat nasi goreng langganan Kirana di dekat stasiun, pas tahu-tahu ini perempuan menanyakan pertanyaan yang bikin gue bingung. Gue sampai minta dia ulang pertanyaannya karena gue beneran bingung.

"Menurut lu, mendingan gue lanjutin atau enggak sama Igi?" Kirana beneran mengulang pertanyaannya ke gue.

Gue masih bingung, anjir. "Apanya yang dilanjutin? Lah, anjir elu jadian sama Igi? Sejak kapan?"

Kirana menghela napas. Kayaknya bentar lagi gue bakal ditabok sama ini orang. "Gak jadian, tapi gue bilang kan sama elu kalau gue lagi deket sama Igi. Elu engeh gak sih pas gue cerita?"

"Asli, gue kira waktu itu elu lagi ngomongin Igi sama si Lay."

Kirana gak respon. Gue salah ngomong ya?

"Jadi elu pun juga sadar kalau ada sesuatu antara Igi sama Salayna?"

Sekarang gue paham maksud Dipta kalau gue sensitive yang insensitive.


Gue berdeham pelan. Gak gatal sebenarnya tenggorokan gue, cuma ini awkward banget karena tiba-tiba Kirana diam aja gak ngomong apa-apa. "Gue sadar kalau mereka berdua memang dekat, tapi gue gak mikir kalau mereka ada apa-apa, Ki. Igi kan memang segitu gentle-nya."

"Dia gitu ke semua orang sampai guenya yang bingung."

"Jadi karena itu elu segitu galau mau lanjut atau enggak sama Igi?"

"Itu cuma satu dari lain hal yang bikin gue galau."

"Maksud?"

"Igi udah gak chat gue lagi dari terakhir kali gue confront dia waktu jemput gue di stasiun."

"Confront gimana, anjir?"

"Gue tanya, perlakuan dia ke gue apa memang perlakuan khusus karena dia suka sama gue, atau dia begitu ke semua orang. Dan lu tahu gimana responnya? Dia gak jawab, San. "

Ternyata ini lumayan serius ya.


Sebelum gue merespon Kirana, gue menghabiskan satu suap terakhir nasi goreng yang gue makan dan minum teh tawar hangat biar gak seret. "Ada yang pernah bilang gini ke gue, 'Yang yakin gak akan pernah ngulur waktu.' Kalau sampai sekarang dia gak jawab dan gak ngasih lu kepastian di saat elu udah bilang gitu ke dia, itu artinya dia gak yakin.

"Sekarang balik ke elu, Ki. Mau nunggu yang bahkan gak yakin sama perasannya sendiri, atau elu move forward, tinggalin yang gak pasti. Semua terserah sama elu."

Dari sudut mata gue, bisa gue lihat wajah berpikirnya Kirana. Paham banget gue pasti sebegitu mumetnya dia sama perkara ini. Ya namanya manusia, kalau urusan perasaan pasti jadi bodoh semua. Gue pun gak bisa bantu banyak selain ngasih pendapat dan nepuk pelan pundak dia. Berharap bisa transfer energi positif gue ke dia. Semua keputusan bakal balik lagi ke teman gue ini.

Mangats, Ki. 

Obrolan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang