Kirana ; Decide

9 1 0
                                        


Kalau lagi gelisah gini, gue punya kebiasaan jelek yaitu gigitin kuku jari. Kebiasaan yang susah banget gue hilangkan sampai saat ini karena yang namanya kebiasaan pasti dilakukan tanpa sadar. Kayak sekarang, gue yang tanpa sadar menggigit kuku jari sampai Sandhy memukul pelan tangan gue.

Seminggu terakhir ini gue selalu balik bareng sama ini orang. Ya, gak papa juga sebenarnya, tapi itu berarti gak ada kemajuan dari kejadian gue sama Igi. Itu yang bikin gue jadi resah belakangan ini.


"Kenapa sih lu? Resah banget dari kemarin." tanya Sandhy ke gue sambil mengunyah kentang goreng yang dipesannya.

Sandhy mengajak gue untuk melipir ke warung kopi baru dekat komplek yang ternyata punya junior SMAnya Sandhy. Kalau balik sama Sandhy itu gak ada kata langsung pulang. Pasti mampir ke mana-mana dulu. Gak kaget juga karena memang teman main dia banyak.

"Masih perkara Igi? Masih gak kontekan sampai sekarang?"

Gue menggeleng pelan. "Kemarin dia nelpon gue."

"Lah terus kenapa masih begini aja lu? Ngomong apa emang dia?"

"Nanyain mau dijemput atau enggak soalnya dia lagi di luar juga kemarin, tapi ya cuma itu. Dia gak ada bahas masalah terakhir gue ketemu dia, San."

"Kenapa gak lu aja yang coba bahas lagi? Kalau memang segitu penasarannya."

"Gak tahu gue, San. Gue takut aja kalau nanti harus dengar dia benar naksir Salayna."


Sandhy yang duduk di depan gue ini tiba-tiba mukul meja dengan excited. Kayak baru nemu harta karun ini orang. "Oh, gue baru ingat. Kemarin anak Poncer pada gosip katanya Abar lagi dekat sama Lay."

"Terus, apa hubungannya sama gue?"

"Mikir dikit apa, Ki. Kalau Lay jadian ama Abar, berarti kan Igi gak ada kesempatan. Soalnya, sedengar gue, ini saling bersahut gitu loh. Kayak sama-sama naksir."

Butuh waktu sejenak buat gue memproses info dari Sandhy ini. "Ya kalaupun benar mereka jadian, tapi Igi tetap naksir sama Salayna, gue bisa apa?"

"Elu bisa buat dia naksir elu kan?"

Gue gak bisa jawab itu.

"Logikanya ya, Ki. Dia naksir sama lu, cuma dia bimbang karena Lay. Yang artinya memang udah ada elu di pikirannya. Elu cuma tinggal naikin porsi lu lagi aja. Ya, gak?"

"Ini soal perasaan, San. Bukan soal logika."

Teman gue ini tertawa pelan sebelum menyeruput kopinya yang sudah mau habis. "Ya terus kenapa elu masih pakai otak cuma buat mikirin soal perasaan, Ki?"

Lagi, gak ada jawaban dari gue untuk pertanyaan itu.


Sekarang, Sandhy mengunyah lagi kentang gorengnya. Kadang, gue suka iri sama santainya dia dalam menghadapi banyak hal. Mungkin karena ini juga bukan urusan dia langsung, tapi dia tetap bisa kasih masukan valid yang memang gue butuhin. Dan gue bersyukur banget dia masih mau berteman sama gue yang gampang panasan ini.

"Lu benar, Ki. Ini tuh soal perasaan, gak bisa diproses pakai logika. Gue setuju." Katanya lagi setelah ngambil minum gue. Seret kayaknya abis makan kentang goreng. "Tapi yang gue lihat sekarang, elu pun ngadepin masalah ini pake logika, Ki."

Kayaknya hari ini gue segitu bodohnya sampai bingung sendiri harus respon apa dari semua yang dibilang Sandhy.

"Biarin lah perasaan lu yang ngurus ini masalah. Biarin perasaan lu yang nentuin, apa elu mau lanjutin ini semua sama Igi, atau berhenti di sini. Coba biarin perasaan yang ambil alih, Ki."

Perasaan gue selalu mau Igi, San.

"Kalau udah tahu apa maunya, ikutin perasaan lu, Ki."

Gue mau Igi.

"Tapi lu juga harus ingat, apa pun keputusan yang elu ambil, apa pun jalan yang lu pilih, semua ada akibatnya, Ki. Apa pun nanti hasilnya, elu harus mau nerima juga. Karena perasaan hal paling absurd dan gak pernah bisa ketebak. Pastiin lu jalanin semuanya dengan tahu konsekuensinya nanti."


Untuk saat ini, semua yang Sandhy bilang cukup jadi penguat gue untuk ambil keputusan ini. Iya, semua pasti ada konsekuensinya dan gue harus mau nerima apa pun itu nanti. Tapi sekarang, gue cukup yakin untuk ambil keputusan ini.

Thanks, San.

Obrolan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang