Dipta Prabawa - Dipta ; Sensitive

14 2 0
                                    


Jadi orang yang paling peka di antara orang insensitive itu capek banget. Asli.

Dari segitu banyak ini orang di Poncer, kayaknya cuma beberapa orang yang sadar adanya hawa-hawa aneh di Poncer ini. Bukan, bukan gue bisa lihat hal gaib. Idih, itu mah amit-amit. Maksud gue adalah hawa-hawa yang dibawa beberapa orang di Poncer ini. Ah elah gimana jelasinnya.

Seperti malam minggu yang sudah-sudah, anak komplek biasa ngumpul di Poncer. Walaupun sibuk masing-masing, —kayak Mega yang dari tadi masih sibuk nontonin drama Korea yang entah apa judulnya. Ataupun Sandhy yang bawa-bawa laptop ke Poncer padahal ini malam minggu. Dan juga Igi yang baru aja datang bareng Lay yang gak tahu abis dari mana. Nah, dua orang yang baru datang ini nih yang bikin hawa Poncer langsung agak kurang enak. Sekali lagi gue bilang, bukan ketempelan hal gaib ya, tolong.


Gue nyamperin Mega sebelum menjitak pelan kepala perempuan itu. Biar sadar kalau gue mau ngomong sama dia. "Lu ngerasain gak, Ga?"

Mega melepas headsetnya dan beralih ke gue yang udah duduk di sampingnya. "Apa?"

Dagu gue menunjuk sumber yang mau gue obrolin sama Mega.

Lah, dia malah ketawa. "Iya, ngerasa."

Mega ini satu di antara banyaknya orang di Poncer yang gue tahu bakal sadar soal ini. Secuek-cueknya dia, gue tahu dia bisa diajak diskusi soal hawa gak enak ini. "Menurut lu, dari mana hawa gak enak ini berasal?"

Poncer lagi ramai-ramainya perkara Arya sama Genta yang terlalu ide masang proyektor buat nonton film bareng-bareng. Yang akhirnya bikin anak komplek yang tadinya jarang ngumpul, ikut ngumpul juga malam ini. Jadi, gue yakin obrolan gue sama Mega gak akan ada yang dengar.

"Ya lu lihat aja dah Dip, yang mukanya paling asem siapa." Kata Mega dengan mata yang mengarah ke satu orang.

"Dia gimana sebenarnya sama Igi tuh?"

"Justru gue yang mau nanya ke elu, Igi tuh sebenarnya gimana ke Kirana?"

"Terakhir dia cerita ya dia naksir Kirana. Makanya kan rajin banget antar-jemput segala macam."

"Tapi lu juga tahu dia gitu gak cuma ke Kirana."

Gue manggut-manggut. Gue tahu cepat atau lambat ini bakal jadi masalah. Pas Igi cerita dia mulai naksir Kirana, gue bisa nebak ini bakal jadi masalah utama buat keduanya. Perlakuan Igi yang terlalu baik dan penuh perhatian adalah sumbernya. Ya, dia memang begitu ke semua orang, ke gue pun juga gitu, tapi gue yakin tanpa sadar Igi naruh perhatian lebih ke satu orang. Bukan Kirana, tapi ke Salayna.


"Lu sadar gak sih ada orang lain lagi yang terlibat di hawa-hawa aneh ini?" Tanya Mega yang bikin gue jadi ngecek sekitar.

Gak lama buat gue sadar siapa yang dimaksud Mega. Gila. Ini perempuan memang terbaik buat diajak mantau keadaan. "Dari kapan dah?"

"Gue berasanya akhir-akhir ini sih. Dia pernah jemput Salay di stasiun kan ya? Kayakya dari habis itu deh. He's been clingy to her lately. Sadar gak lu?"

Awalnya, gue gak engeh karena ya, buat gue si bontot Abar ini terlalu anteng untuk jadi bahan perhatian. Tingkahnya juga gak pernah macam-macam, kayak yang lempeng aja gitu. Omongan Mega barusan yang justru bikin gue sadar kalau Abar memang lagi clingy banget ke Lay. Dia bahkan duduk di antara Igi sama Lay dan dari tadi narik-narik cardigan perempuan itu. Ini anak kenapa sih?

"Gue gak pernah lihat Abar se-clingy itu, Dip."

"Manja adek ke kakak gitu gak sih?"

"Mana ada manja ke kakak tapi natapnya penuh rasa penuh cinta gitu sih, Dip."

"Terus ini kita gimana, Ga?"

Gue lihat Mega yang menghela napas berat. Berat banget kayaknya beban hidupnya. "Ya kita gak bisa apa-apa selain mantau aja, Dip. Porsi kita cuma sampai situ."


Ya benar, porsi gue sama Mega sebagai orang luar ya cuma bisa mantau aja. Gak bisa ikut campur, kecuali salah satu dari empat orang yang bermasalah ini minta gue sama Mega untuk turun tangan. Untuk saat ini, kita nikmati aja drama yang ada. 

Obrolan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang