Igi ; Ego

11 1 0
                                    


Genta pernah bilang, ada dua hal yang bakal bikin orang sadar kalau dia punya rasa sama orang tertentu. Pertama, saat kehilangan atau udah gak bareng sama orang itu. Kedua, saat ada orang lain yang datang di antara kalian berdua. Gue rasa itu berdasarkan pengalaman pribadi dia sendiri makanya bisa bilang begitu. Dan gue pun setuju sama dia. Karena gue lagi mengalami salah satunya, sekarang.


Jam sebelas malam, gue ditelpon Arya yang lagi di Poncer untuk nyusul ke sana. Katanya, Dipta lagi kesurupan dan mau traktir anak-anak. Ya, walaupun gue tahu paling juga kopi item sama martabak, tapi lumayan lah sekalian ngobrol sama mereka.

Jalur gue ke Poncer biasanya gak lewat rumah Lay, tapi gak tahu kenapa malam itu gue mau lewat sana. Gak ngarep bakal ketemu dia juga, orang udah malam gini. Paling juga anaknya udah tidur. Jadi ya selewatnya aja.

Mungkin, ini yang namanya kebetulan. Mungkin juga ini yang namanya kehendak semesta. Gue yang tanpa alasan lewat jalan yang berbeda, jadi menyaksikan kejadian yang membuat ego gue meninggi. Yang membuat gue merasa harus mengambil apa yang harusnya jadi milik gue.


Begitu gue lihat Abar pergi, gue jalan perlahan menghampir Lay yang masih ada di depan rumahnya. Gak tahu apa yang ada di pikiran perempuan itu, dia gak langsung masuk ke dalam rumah. Gue pun gak tahu apa yang ada di pikiran gue saat memutuskan untuk menghampiri dia. Yang gue tahu sekarang, gue gak mau dia ke orang lain. Even ke teman gue sendiri.

"Loh, Kak Igi?"

Sebelum gue manggil, Lay udah lebih dulu sadar kalau ada gue di situ. Perempuan itu tersenyum lebar. Gue bisa lihat matanya yang bersinar meski sekarang sudah hampir tengah malam.

"Mau ke Poncer ya?"

Gue mengangguk. "Mau ikut?"

Dia geleng pelan, masih dengan senyumnya. "Mau tidur."

"Terus ngapain malam-malam di depan rumah gini?"

"Abis ngecat pagar, kak." Dia ketawa yang bikin gue jadi ikut ketawa. "Abis ketemu Abar tadi."

Gue mengangguk lagi. Gak tahu kenapa gue gak mau dengar nama itu disebut Lay. Gak untuk saat ini.


"Gue boleh masuk rumah gak sih, Kak?"

Pertanyaan Lay menyadarkan gue dari lamunan. Sebelum dia benar-benar masuk ke dalam rumah, gue menarik pelan tangannya. Menahannya. "Lay."

"Apa Kak Igi?"

Gue mengambil langkah, mengikis jarak antara gue dan dia. Lay bergeming dengan wajah bingung. Gue gak tahu apa yang merasuki gue sekarang, tapi rasanya ego gue terlalu mengambil alih, dan gue membiarkannya.

Masih bingung, Lay manggil gue lagi. "Kak? Ada apa?"

Malam ini, gue benar-benar menyerah pada ego. Gak lagi gue mikir apa ini benar atau enggak, apa ini baik atau enggak. Gue gak peduli. "Mau kasih gue kesempatan gak, Lay?"

Perempuan di depan gue ini gak jawab. Sekilas gue lihat wajah kagetnya, hanya sebentar sebelum senyum kembali terpasang di wajah kecilnya. Gue rasa dia paham maksud gue tanpa harus gue jabarin.

Lagi, gue membiarkan ego gue yang bergerak. Tanpa berpikir panjang, gue menangkup wajah Lay dengan telapak tangan gue. Membuat perempuan ini bertemu mata dengan gue. Dia gak menampik tangan gue, senyumnya masih ada di sana.


Ibu jari gue membelai pelan pipi Lay yang terasa dingin. Udah berapa lama dia ada di depan rumah sampai bisa sedingin ini? "Kasih gue kesempatan ya, Lay?"

"All of us deserve a chance, Kak." Katanya setelah cukup lama dia terdiam. "Cuma kita sendiri yang gak tahu kesempatan macam apa yang sebenarnya kita cari."

Sekarang, gue yang gak bisa bales omongan Lay. Dia tahu semuanya. Dia tahu soal gue sama Kirana, dia tahu gimana perasaan gue ke dia. Dia tahu.

Lay meletakkan tangannya di atas tangan gue yang masih menangkup pipinya. Menariknya pelan, menjauhkan tangan gue dari sana. "Gue masuk ya, Kak."

Perempuan itu masuk ke dalam rumahnya tanpa menunggu balasan dari gue. Gue tahu kalau dia tahu semuanya. Yang gak gue tahu, apakah dia kasih kesempatan ke gue? Atau, apa memang kesempatan dari dia yang selama ini gue cari?


Sekali lagi, gue membiarkan ego gue yang bekerja. Ego yang berkata kalau memang Lay yang selama ini gue mau. Kalau memang Lay yang selama ini gue cari. Kalau memang Salayna, yang selama ini ada di pikiran gue. Dan saat ini, gue anggap dia sedang kasih kesempatan ke gue untuk nunjukin semuanya. 

Obrolan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang