Jatuh hati itu hal yang mudah.
Jatuh hati, ya. Bukan jatuh cinta.
Buat gue, jatuh hati itu segampang dan semudah itu. Hal kecil aja bisa bikin gue jatuh hati sama orang lain. Sekali lagi, jatuh hati, bukan jatuh cinta. Karena sampai saat ini pun, gue gak tahu definisi cinta itu apa. Terlalu absurd.
Balik ke jatuh hati. Sungguh, gue memang segampang itu jatuh hati sama orang karena hal kecil. Contoh nyata, seperti yang lagi gue hadapi sekarang.
Gue yang baru balik kerja, dijemput Abar, —Nala Baruna, di Stasiun. Sampai di Poncer sekitar pukul sembilan malam sembari menenteng dua boks martabak telor yang direquest Igi, —Giri Satya. Di Poncer cukup ramai, walau memang member tongkrongannya ya dia lagi dia lagi. Dua boks martabak yang tadinya gue jaga sepenuh hati, sudah berpindah tangan dan siap dilahap dalam hitungan menit.
Gue bilang kan, gue gampang jatuh hati sama hal kecil. Kayak sekarang.
Saat yang lain sibuk ngobrol, sibuk berebut martabak, Igi langsung nyamperin gue lalu mengelus pelan rambut gue, —yang memang berantakan gara-gara dijemput Abar gak pake helm. Hal lain yang Igi lakuin adalah ngambil tas gue, —yang dia tahu itu berat karena gue selalu bawa laptop, sebelum narik kedua tangan gue, membasuh telapak tangan gue dengan hand sanitizer yang selalu dia bawa.
Dan sekarang kasih tahu gue, hal kecil gini lumrah kan bisa bikin orang jatuh hati?
Gue duduk di sebelah Igi sembari mengecek ke sekitar. "Mega sama Kirana mana?" Tanya gue begitu sadar di Poncer cuma gue perempuan sendiri. Biasanya ada Mega, —Lalita Mega dan Kirana, —Kirana Ayu, tapi ini mereka gak keliatan.
Abar yang gak tahu abis dari mana, duduk di seberang gue sambil nyerahin botol air mineral baru ke Igi. "Mega udah tidur kata nyokapnya. Gak enak badan kayaknya. "
"Kirana di jalan balik tadi pas gue telpon. Nanti mau ngabarin kalau udah sampe stasiun, biar dijemput." Kata Igi sambil membuka botol air mineral yang dikasih Abar sebelum dia oper ke gue. "Minum, Lay."
Ternyata dia minta itu air mineral buat gue dan dibukain pula sama dia. Kan, jatuh hati lagi aja gue.
"Elu yang jemput Kirana, Kak?" Tanya gue ke Igi. Iya, gue manggil dia Kakak. Soalnya beda beberapa bulan lebih tua dia ketimbang gue. Kalau Genta, baru gue panggil Abang.
Igi mengangguk sambil senyum.
"Akal-akalan lu aja itu sih, Gi. Biar bisa berduaan kan lu sama Kirana." Itu suara Dipta yang gue engeh bikin senyum Igi makin lebar.
Oh, jadi Igi naksir Kirana.
Belum sempat gue tanya langsung ke Igi soal Kirana, handphone pria itu berdering, yang dengan cepat langsung dia angkat sebelum dering kedua. Gue bisa nebak sih siapa yang telpon kalau dia angkatnya buru-buru gitu.
Gue gak bisa dengar obrolan macam apa antara Igi dengan si penelpon, tapi senyum dia sumringah banget. Gak lama setelah telpon diputus, Igi pamit cabut.
"Gue tinggal bentar ya, Lay. Nanti gue balik. " Katanya sambil mengacak rambut gue.
"Jemput Kirana?"
Lagi, Igi mengganguk sambil senyum. Kering tuh gigi lu, Gi. "Jangan minum kopi ya, Lay. Udah malem."
"Bawel."
Dan gue lihat punggungnya Igi yang berjalan menjauh menuju motornya. Bersiap menjemput orang yang sedari tadi bikin senyum lebar di wajahnya.
Jatuh hati memang semudah itu, tapi gak ada yang ngasih tahu kalau patah hati jauh lebih mudah dan lebih nyakitin dari jatuh hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obrolan Rasa
RomanceHanya obrolan soal rasa dari banyak macam manusia yang berkumpul di bawah Pohon Ceri. Rasa yang inkonsisten. Rasa yang absurd. Rasa yang sulit diprediksi. Ya, hanya sebatas obrolan soal rasa.