Lay ; Intruder

3 1 0
                                    


Gue gak pernah benci hujan. Malah bisa dibilang gue amat sangat suka menikmati hujan. Zaman SD dulu, Arya selalu jadi korban buat nemenin gue main hujanan. Bengong sambil nonton hujan juga seru. Atau ditemani lagu-lagu sendu yang mengalun di telinga. Wangi hujan yang menguar itu menyenangkan, buat gue.

Setidaknya sampai beberapa hari ke belakang.


Arya barusan nelpon gue buat ngajak pulang bareng, tapi gak tahu kenapa gue malah bilang ada lembur dan nyuruh dia duluan. Gak lama setelah Arya telpon, giliran Abar yang nelpon. Menanyakan hal yang sama dan gue tolak dengan alasan yang sama juga. Padahal gue gak ada lemburan hari ini. Gue cuma lagi mau pulang sendiri aja. Dan tolong jangan tanya kenapa, karena gue juga gak tahu (Please, jangan nyanyi juga).

Baru kali ini gue betah berlama-lama di kantor tanpa alasan yang jelas. Kantor yang ada di lantai sepuluh ini jadi bikin gue bisa nonton hujan dari ketinggian. Bulir hujan yang menghantam dan beradu membasahi jendela, selalu gue suka. Hujan biasanya suka bawa cerita lalu yang manis untuk gue kenang, tapi sekarang bukan cerita manis yang terputar, malah kejadian yang pengen gue hapus yang terus teringat.

Ini kali pertama gue gak suka hujan.


Semuanya masih terasa sangat jelas. The way he hugs her. The way she sobs in his hug. The way she holds him, like her life depends on him. Gak ada yang salah sebenarnya. Mereka gak salah, perasaan gue yang terlalu berlebihan. Gue jadi berasa salah tempat, salah posisi. Seakan tanpa sadar gue hadir di antara mereka berdua. Dan itu terasa, salah.

Gue gak pernah tahu ada apa sebenarnya di antara Abar sama Mega. Gue cuma tahu kalau mereka dekat karena memang tetangga dekat juga. Hanya itu. Selebihnya, gue gak pernah tahu gimana perasaan Abar ke Mega ataupun sebaliknya. Gue pun gak tahu apakah ada sesuatu di antara mereka dulu ataupun sekarang, tapi kejadian kemarin cukup buat gue sadar kalau memang ada sesuatu di antara mereka berdua.

Jangan suruh gue nyari tahu dengan nanyain anak Poncer, karena gue gak akan mau. Gue mending gak tahu apa-apa dan langsung nutup buku ketimbang gue harus tahu dan jadi nyalahin diri sendiri karena jadi orang penyela di antara mereka. Gue gak mau. Karena buat gue, kejadian kemarin cukup jadi jawaban atas semua pertanyaan gue.

Hujan masih belum berhenti. Seakan mendukung perasaan melankolis gue malam ini. Rasanya, gue gak mau pulang. Rasanya, gue gak mau ketemu siapa-siapa dulu saat ini. Rasanya, gue mau mengubur diri sendiri dalam sedih sebelum nanti bangun lagi.

Handphone gue bergetar, telpon masuk dari Abar. Lagi. Gak ada niat gue buat jawab telpon dia. Gue biarkan itu handphone terus bergetar di atas meja.


Kalau dibilang marah, gue gak marah. Cuma gue bingung gak sudah-sudah. Gue gak bodoh untuk sadar kalau Abar taruh perhatian lebih sama gue. Dan gue pun tahu dia gak bodoh untuk sadar kalau gue juga taruh rasa ke dia. Yang buat gue bingung gak kesudahan, kenapa dia coba mulai sama gue di saat gue merasa ada sesuatu antara dia dan Mega yang entah masih berjalan atau belum selesai. Itu yang bikin gue bingung. Kenapa gitu? Kenapa gue? Kenapa gak Mega aja? Kenapa harus gue dan membuat gue jadi merasa seperti pengacau di antara mereka berdua? Kenapa?

Entah karena gue yang mumet juga sama kerjaan, entah karena hormon PMS gue atau karena hujan sendu ini, gue merasa mau nangis dan butuh pelarian. Mau kabur sejenak dari semua-mua. Iya, gue secengeng dan sepengecut itu. Gue lebih milih buat lari daripada ngadepin apa pun itu.

Handphone gue bergetar lagi. Kali ini dari Igi. Dan kali ini, telponnya gue angkat.

"Udah balik belum?"

Gue menggeleng pelan sebelum sadar. Mana dia lihat gue geleng-geleng. "Masih di kantor, Kak."

"Udah mau balik belum?"

"Masih hujan."

"Gue bawa mobil. Dua puluh menit lagi sampai kantor lu ya. Tunggu di bawah."

Belum gue jawab, telponnya udah dimatikan.


Gue cuma bisa menghela napas sebelum merapihkan barang-barang. Bersiap pulang dan berpikir kayaknya gue benar butuh short gateaway dari ini semua. Capek gue berasa udah sampai ubun-ubun. Gue butuh napas barang sejenak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Obrolan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang