Kalau boleh sombong, di antara tiga perempuan penghuni Poncer, gue yang paling jago dalam hal menyetir dan berkendara. Ya, soalnya pembandingnya itu Kirana yang baru aja dapat SIM A seminggu lalu dan Salay yang memang gak bisa menyetir ataupun mengendarai motor sama sekali. Jadi lah gue perempuan satu-satunya yang bisa keduanya.
Dan memang sombong itu gak ada bagus-bagusnya. Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Itu yang gue alami sekarang. Sejago-jagonya gue berkendara, pasti ada saatnya gue kecelakaan dan ini kecelakaan perdana gue dalam sejarah berkendara gue.
Tiap tanggal genap, gue selalu bawa motor buat ke kantor karena mobil yang ada di rumah berplat nomor ganjil dan hari ini jatah gue bawa motor. Gak ada firasat apa-apa, cuma karena habis hujan, jalanan siang itu cukup licin dan lengang. Bikin gue agaknya jumawa yang berakibat gue diserempet mobil karena terlalu ngebut dan gak lihat ada mobil yang mau belok di depan gue.
Hebatnya, —iya gue lagi muji diri sendiri, gue gak nangis pas kejadian ini. Otak gue masih berjalan normal buat ngabarin ke grup Poncer kalau gue kecelakaan dan untungnya juga, yang nyerempet gue ini orang baik. Meski ini salah gue, tapi orang baik ini tetap bawa gue ke IGD terdekat.
Gue lagi dapat penanganan dari dokter jaga di IGD pas Salay tahu-tahu muncul di sini. Bisa gue lihat wajahnya yang panik dengan napas terengah-engah. Abis lari siang apa gimana ini orang. Oh, gue baru ingat kalau kantor dia dekat dari sini. Jadi lah dia orang pertama yang datang nemenin gue.
Salay gak pakai say hello ke gue, tapi langsung ngobrol sama dokter jaga yang nanganin gue. Ya, ngapain juga sih ya. Gue pun gak engeh apa yang dia diobrolin sama dokter karena gue udah mulai berasa sakit di tangan yang barusan di gips dan kepala gue yang tahu-tahu berasa nyut-nyutan. Gue bahkan baru sadar kalau ternyata tangan gue banyak luka.
Setelah obrolannya selesai, dokter jaga ninggalin gue dan Salay langsung nyamperin gue sambil senyum. "Bisa-bisanya jagoan jalanan malah keserepet mobil."
Masih bisa gue cengengesan. "Kesempurnaan hanya milik Tuhan, Lay."
"Kata dokter tadi gak harus dirawat inap, bisa langsung pulang. Atau elu mau dirawat inap dulu? Biar gue bilang ke nyokap lu."
"Gak usah, Lay. Gue gak papa juga."
"Luka lu lumayan banyak, Ga. Tangan lu juga retak."
"Aman, gue kan anak kuat."
"Iya, kuat banget lu masih bisa bercanda, ketawa-tawa. Jagoan benar."
Gue masih ada tenaga ngebales omongan Salay dengan ketawa-ketawa lagi. Gue merasa gue memang sekuat itu. Sampai akhirnya gue lihat Abar datang bareng Arya. Abar nyamper gue dengan muka paniknya sambil nelaah gue, tapi belum ada kata yang keluar dari mulutnya.
Datangnya Abar gak tahu kenapa bikin gue sadar semuanya. Rasa sakit di tangan gue. Rasa sakit di semua luka yang ada. Sakit di kepala gue. Dan tanpa sadar, sekarang gue udah nangis.
"Abar." Gue manggil dia di sela tangis gue. Anjir, kenapa gue jadi cengeng banget pas ketemu Abar sih.
"Kenapa, Ga? Apa yang sakit? Gue panggilin dokter, ya?"
Semua pertanyaan dia malah bikin gue makin kejer. Gue baru sadar kalau gue tadi kecelakaan dan udah banyak luka di badan gue. Bahkan tangan gue retak. Gue baru sadar. Gue baru sadar kalau ternyata gue butuh Abar sekarang. Gue baru sadar kalau rasa yang dari dulu gue kubur dalam buat dia ternyata masih ada.
"Mega jangan nangis. Gue di sini." Gue dengar suara Abar begitu dekat di telinga gue yang buat gue sadar kalau ternyata dia udah meluk gue sambil mengelus pelan puncak kepala gue.
Gue makin kejer, berasa udah gak sanggup lagi nahan tangis. "Abar, gue takut mati."
Abar masih meluk gue sambil ketawa kecil. "Enggak, Mega. Mega masih sehat, belum mati."
"Gue takut mati, Abar. Gue masih muda masa udah mati. Gue mau beli rumah dulu, Bar."
"Iya, Mega. Beli rumah dulu."
Gak tahu lagi abis itu meracau apa karena gue masih terus-terusan nangis di pelukan Abar. Iya, gue takut mati. Gue takut gak bisa bareng Abar lagi kalau gue mati. Sampai-sampai tangan gue balas memeluk Abar sekencang-kencangannya karena takut dia juga pergi ninggalin gue. Gue gak mau. Untuk saat ini, gue gak mau Abar ninggalin gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obrolan Rasa
RomanceHanya obrolan soal rasa dari banyak macam manusia yang berkumpul di bawah Pohon Ceri. Rasa yang inkonsisten. Rasa yang absurd. Rasa yang sulit diprediksi. Ya, hanya sebatas obrolan soal rasa.