Bagian 04 - Tentang Kerinduan

136 54 39
                                    

Langit mulai mengelap seiring waktu, dan rintikan hujan pun mulai turun. Namun hal itu tidak mempengaruhi keduanya untuk melepas pelukan ini, pelukan yang pertama kali sepanjang sejarah dalam hidup Renjana setelah kematian sang Bunda. Dalam pelukan itu, Kenzo merasa ada titik perasaan di mana ia merasa kasihan pada Renjana. Ada pula perasaan aneh dalam dirinya. Kenzo merasa tidak begitu jelas, tentang perasaan apa yang ia alami.

Cukup lama mereka saling berpeluk hangat hingga pada akhirnya, Renjana melepaskan pelukan itu, bersamaan dengan hujan yang mulai berdatangan. Keduanya langsung bergegas meninggal tempat yang tadi digunakan berpelukan. Sebenarnya, Kenzo tak tahu akan membawa Renjana ke mana, ia hanya mengikuti jalan saja. Siapa tahu nanti saat menuju jalan depan akan bertemu tempat yang sekiranya bisa dijadikan teduh, dan bisa menemukan tempat yang bagus untuk dijadikan refreshing.

Hujan mulai berhenti, namun rintikan hujan masih belum sirna. Rintikan hujan tersebut sudah tidak sederas tadi, tapi tetap saja Kenzo tidak mau jika Renjana kedinginan. Terlebih lagi perempuan itu masih mengenakkan baju pendek.

“Lo kedinginan, Jan?” Renjana yang tadinya menggigil sontak melihat Kenzo dari spion. Ia menggeleng dan menyembunyikan kedinginan yang dirasakan.

“Enggak, Sa.” Kenzo tahu Renjana berbohong. Pemuda itu tak membalas lagi, hingga suara Renjana mulai terdengar lagi. “Kita mau ke mana, Sa?” Gadis itu mulai penasaran ke mana ia akan dibawa pergi oleh Kenzo.

“Ke suatu tempat yang bisa buat lo tenangin pikiran,” balas Kenzo, memberikan senyum tipis di balik helm. Lantas, ia menarik tangan Renjana untuk ditaruh di lingkaran perut. Iya, Kenzo menarik tangan gadis itu untuk memeluk dirinya. Pemuda itu masih memberikan senyum mengembang, tangannya mulai perlahan mengelus-elus Renjana dengan hangat.

Deg. Perlakuan seperti ini membuat Renjana jadi salah tingkah. Detak jantung memompa begitu lebih cepat daripada biasanya. Seumur hidup ia belum pernah merasakan perlakuan hangat seperti ini. Bagaimana mau merasakan, orang setiap kali Renjana mencoba berinteraksi dengan cowok, Bara selalu saja menggagalkan. Ayahnya itu sengaja bilang kalau Renjana adalah biang masalah, dan pembawa bencana. Setiap kali dekat dengan cowok pasti cowok-cowok itu selalu pergi tanpa memberi kabar.

“Gimana? Lo masih kedinginan?”

“Enggak, Sa.” Kenzo mengangguk. Renjana menatap lelaki itu dari sorot spion. Bibirnya seperti ingin bertanya, tapi hatinya menolak untuk bertanya. “Sa?” panggil Renjana, bibirnya mulai tertutup kembali.

“Kenapa, Jan?” Kenzo turut memandang Renjana dari spion. Tatapan gadis itu terlihat sangat teduh. Cukup lama Renjana tidak menjawab hingga membuat Kenzo merasa penasaran. “Renjana? Lo mau ngomong apa? Ngomong aja nggak apa-apa, kok. Lo butuh sesuatu atau apa bil—”

“Enggak jadi, Sa. Kita jalan aja,” jawab Renjana. Belum waktu yang tepat untuk bertanya.

Kenzo mengangguk, ia begitu fokus melihat depan hingga pandangannya teralihkan pada sebuah warung yang tidak jauh dari sana. Warung tersebut tampak ramai oleh anak muda, juga beberapa pengunjung yang tampak sedang meneduhkan diri. Kenzo dengan segera menambahkan kecepatan agar bisa sampai. Keduanya sudah sampai di warung itu, Kenzo membantu Renjana turun dari motor.

Renjana termenung. Kenapa lelaki ini begitu perhatian kepadanya? Renjana sangat takut jika ia malah jatuh cinta pada sosok Aksara yang membuatnya bertahan hidup. Aksara Kenzo Lasmana, laki-laki itu tampak santai seolah-olah tindakannya tadi tak memberikan dampak pada jantungnya. Duh, jantung Renjana sekarang ini tidak bisa diajak kompromi. Jantungnya berdegup sangat kencang mendapati perlakuan hangat tadi.

“Hei!” Kenzo menepuk bahu kiri Renjana. Menyadarkan gadis itu supaya tidak melamun lagi. “Kenapa?”

Renjana mengerjap lantas menggeleng. Ia menurut kala Kenzo mengajaknya untuk masuk ke warung. Di dalam sana, terdapat pemuda yang sedang merokok dan menghangatkan diri dengan sebuah kopi hitam. Warung tersebut lumayan luas. Di sebelah kiri terdapat meja yang berisikan anak muda yang sedang mengobrolkan sesuatu, sedangkan sebelah kanan terdapat segerombolan orang-orang yang sedang meneduhkan diri dengan kopi hangat. Ramai.

“Bu, pesan kopi hitam satu sama—”

Laut Kelabu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang