#8 Lavender

63 7 0
                                    

Hari memang sudah malam, tetapi Tegar masih berada di depan laptopnya. Pemuda itu bukan mengerjakan revisian desain grafisnya, melainkan berselancar di internet menggali informasi apa saja terkait traumatik atau luka seseorang yang dibawa dari kecil hingga dewasa.

Tadinya Tegar tidak sengaja menemukan topik pembahasan ini saat scroll sosial medianya, sampai itu benar-benar menyita perhatiannya.
"Inner child," ucapnya sambil mengetik kata kunci itu di internet guna mencari lebih banyak lagi informasi tentang istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi seseorang yang masih dibayang-bayangi trauma masa kecil.

Semua informasi mengenai inner child terpampang di layar benda persegi itu. Tegar sekilas membaca tiap-tiap judul artikel.

Apa itu sebenarnya inner child?

Penyebab seseorang mengalami inner child.

Ini tanda-tanda kamu mengalami inner child yang terluka.

Cara berdamai dengan inner childmu.

Tegar terdiam. Sepasang matanya menyorot penuh ke arah layar, membaca satu per satu judul artikel. Pemuda itu kemudian bertopang dagu. Apa yang dijabarkan dalam artikel kurang lebih sama seperti yang Yoa alami. Terutama dampak dari inner child itu sendiri, sangat berpengaruh pada caranya memandang dunia.

Rasanya Tegar ingin memeluk gadis malang itu. Dia jadi mengerti alasan di balik sikap sinis Yota selama ini. Ternyata itu bentuk pertahanan diri. Gadis itu juga cenderung punya trust issue. Yota sulit mempercayai orang lain. Membentangkan jarak dan membatasi interaksi adalah cara dia untuk melindungi dirinya, agar tidak terluka atau terlibat ikatan secara emosional dengan orang lain.

Di tempat terpisah, dalam ruangan kerjanya yang nyaman, Bram tampak duduk santai di kursi singasananya sebagai CEO perusahaan startup yang bergerak di bidang produk ewangian pria. Dia mengulir layar tablet PC, menilik kembali hasil notulen rapatnya dengan staf mengenai peluncuran produk terbaru yang akan mulai menyasar pasar kaum hawa.

Fokus Bram teralih ke arah pintu bersamaan seorang wanita tidak tahu malu merangsek masuk.

"Maaf, Pak. Orang ini memaksa masuk."

Bram mengangguk ke arah karyawannya, kode mengizinkan tamu tidak diundang itu masuk, sejurus membuat karyawanya undur diri. Hanya tinggal Bram dan wanita itu di dalam ruangan.

Bram menatapnya malas. "Ngapain kamu ke sini?" tanyanya dingin.

"Sayang, aku ... aku minta maaf. Serius aku nyesel. Aku nggak harusnya melakukan itu ke kamu. Kamu udah baik dan perfect banget selama ini. Aku khilaf, aku nggak akan ngelakuin itu lagi. Aku janji."

Bram masih enggan menanggapi.

"Semua orang pernah berbuat salah, kan?"

Bram menatap dingin ke arah wanita yang sedang memohon padanya itu. "Udah? Udah selesai ngomongnya? Kalau udah, silakan pergi dari sini sekarang juga."

"Sayang ...." Wanita itu mendekat dengan nada merajuk.

Bram menghardiknya. "Stop!" Telunjuknya menyampaikan jelas pada wanita itu agar tidak lebih dekat lagi barang satu langkah. Bram sudah muak dengannya. "Aku tegasin sekali lagi, ya, Mona. Kita. Udah. Putus!" Bram menekan setiap kata pada kalimatnya untuk menegaskan status mereka sekarang. "Jelas, kan? Jadi, jangan pernah lagi muncul di depanku."

"Tapi, Bram--"

"Pergi!"

"Bram, aku sayang sama kamu, Bram."

Erstwhile Memory (On going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang