"... barangkali kita jodoh."Yota memejam frustrasi sambil memijit pelipisnya. Percakapan terakhirnya dengan Bram itu terus saja berputar memenuhi kepala. Yota tak mengerti mengapa akhir-akhir ini dia sering memikirkan Bram. Pria itu bisa tiba-tiba saja muncul di dalam benaknya tanpa permisi, entah suaranya atau bayang wajahnya.
"Ahrrrggg!" Yota spontan menggebrak meja.
Maulina tergopoh-gopoh dari dalam menuju ruangan tokonya, mengecek apa yang terjadi. "Kenapa? Ada apa, Yota?" tanyanya bingung.
Yota tersadar dari tingkah konyolnya tadi. "Eem ... nggak apa-apa," sahut Yota sambil tersenyum kaku.
Maulina tertegun menatapi anak gadisnya. Maulina mendekat, kemudian duduk di sebelah Yota. "Kamu kenapa, Yota?"
"Hmm?" Yota menoleh ke arah mamanya--tak mengerti. "Aku? Aku nggak kenapa-kenapa, Ma." Sambil tersenyum canggung. "Tadi itu ... ada nyamuk, terus aku reflek aja mukul, tapi meleset kena meja."
Maulina hening menatap Yota. Sementara ditatapnya cuma nyengir kemudian menunduk.
"Cerita ke mama. Kamu bisa cerita apa pun ke mama, Yota. Jangan menyembunyikan sesuatu dari mama. Kamu tahu mama cuma punya kamu, kan?"
"Cerita apa, sih, Ma? Aku nggak kenapa-kenapa, serius."
Maulina menghela napas. "Kadang mama merasa kesepian." Maulina menatap kosong ke depan. "Sejak kamu beranjak dewasa, kamu udah nggak pernah lagi membagi apa pun ke mama. Semua kamu simpan sendiri."
Yota menoleh hening ke arah mamanya.
"Bukankah kita sekarang seperti berjalan di lintasan masing-masing."
"Ma ...." Yota menyentuh punggung tangan mamanya--merasa bersalah.
Maulina melanjutkan ucapannya, "Kamu tahu, Yota? Mama merasa gagal menjadi orang tua sejak papamu meninggalkan kita."
Yota terdiam, dia mulai merasakan bulir bening Menggenangi pelupuk matanya. Topik seputar papa selalu bisa mencabik sisi emosionalnya.
Maulina menerawang jauh ke masa lalu.
"Introspeksi diri makanya, kenapa aku bisa punya wanita lain. Intropeksi!"
Masih tergiang jelas kalimat memojokkan dengan nada meninggi itu di benak Maulina. Laki-laki memang paling bisa menggunakan kelemahan atau mencari-cari kekurangan pasangan hanya untuk dijadikan tameng pembenaran atas perbuatannya.
"Maafkan mama yang nggak bisa jaga kamu dengan baik, Yota. Maafkan mama udah membuat kamu jadi enggak utuh sebagai seorang anak."
"Ma ...." Yota memeluk maulina dengan segaris air mata yang luruh. "Mama jangan bilang gitu. Mama udah jaga aku dengan baik. Maafin aku yang akhir-akhir sibuk sendiri, Ma."
Maulina mengelus rambut panjang sepunggung milik anak gadisnya. "Jangan tertutup sama mama, Yota. Kamu bisa ceritakan apa pun yang menganggu pikiranmu, apa pun yang membuatmu sedih, juga apa pun yang membuatmu senang." Maulina melonggarkan pelukan Yota. "Jadi, ceritakanlah apa yang lagi kamu pikirkan saat ini, hmm?"
Yota menghapus sisa air mata. Naluri seorang ibu memang tidak ada tandingannya. Tanpa bicara pun, mamanya seolah tahu ada kegelisahan yang sedang dirasakan anak gadisnya. "Aku ...." Yota masih menimang sesaat, apa benar dia harus menceritakan pada mamanya tentang Bram. Tentang pria yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Sesungguhnya Yota malu mengatakan ini, tetapi dia tidak ingin mamanya sedih, karena merasa Yota tidak mau membagi apa pun lagi perihal apa yang dirasakannya. "Eem ... sebenarnya, akhir-akhir ini aku sering mikirin Bram, Ma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Erstwhile Memory (On going)
RomansaViota Larasati Jasmine (Yota) tumbuh dengan inner child-nya yang terluka. Dia menganggap bullshit ungkapan ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Dari luka masa kecilnya itu, Yota berusaha membatasi diri dari lawan jenis tak terkecuali Te...