11. Kafiya's home 2

17 3 0
                                    

SETELAH menempuh waktu perjalanan selama kurang lebih satu jam, Adena dan kawan-kawan akan segera sampai dirumah Kafiya. Karena katanya, saat ini mereka sudah berada di kampung halaman Kafiya.

Adena yang baru pertama kali kesini hanya bisa menoleh kiri kanan karena asing dengan suasana disini. Berbeda dengan Davka, lelaki itu sudah pernah menginjakkan kakinya di kampung ini. Saat itu Adena tak bisa ikut karena ada kesibukan sendiri. Sibuk rebahan misalnya.

“Na, lo ikut ke rumah paman gue dulu, ya. Kebetulan rumahnya gak jauh dari Kafiya,” ajak Marcel. Teman-teman mereka terus jalan lurus kedepan, sementara Marcel dan dirinya belok ke kanan dan berhenti disebuah rumah.

Tentu saja bisa dipastikan itu adalah rumah paman Marcel. Adena melihat pria seumuran ayahnya sedang berdiri menyiram tanaman diteras rumah.

“Ayo, Na.”

“Lah, gue ikut juga ke dalem?”

Marcel mengangguk. “Salim doang kek.”

Adena dan Marcel pun segera menghampiri paman Marcel yang dari tadi berdiri di depan teras. Marcel menyalami tangan pamannya, disusul oleh Adena. Adena menghembuskan nafasnya pelan ketika melihat paman Marcel tersenyum ramah kepadanya.

“Mau pada kemana ini?” tanya paman Marcel yang memang sudah melihat seriringan teman-teman Marcel.

“Mau ke rumah temen om. Itu yang dibawah,” jawab Marcel.

Paman Marcel hanya mengangguk. Beralih melihat Adena yang berdiri disamping Marcel. “Eehh, siapa ini Cel?”

“Saya Adena, om. Temennya Marcel,” ucap Adena ramah.

“Yaudah, om. Marcel kesini cuma mau nyapa aja, sih.”

Paman Marcel tampak tertawa kecil. “Ya, yasudah sana.”

Keduanya pun berpamitan kepada paman Marcel. Adena kembali menaiki motor Marcel setelah lelaki itu menyuruhnya. Padahal dari tempat mereka sekarang, sudah terlihat anak-anak lain yang memarkirkan motornya dibawah. Sangat terbilang dekat.

“Lo jalan kaki aja turunnya padahal,” canda Marcel.

Adena mencebikkan bibirnya. “Kaki gue tremor,” kesal gadis itu membuat Marcel tertawa.

Mereka berdua segera menghampiri teman-temannya. Adena pun turun ketika Marcel hendak memarkirkan motor. Gadis itu bergerak menuju kedua temannya, Nata dan Chely.

Tidak lama Kafiya menghampiri mereka. Mengajak anak-anak kelas menuju rumahnya, tidak jauh, kurang lebih 20 meter dari tempat parkir motor.

“Si Davka gimana, Na? Nawarin lo naik tadi?” tanya Nata dengan penasaran.

Adena hanya menggeleng. Ia tak mau membicarakan tentang hal itu karena membuat moodnya menjadi buruk.

Teman-teman Kafiya refleks berdecak kagum ketika melihat bangunan didepan mereka. Ternyata gadis itu membawa mereka ke sebuah villa milik saudaranya yang ada disana.

Villa bernuansa sederhana tetapi terlihat modern membuat mereka tak percaya jika bangunan itu berdiri ditengah-tengah perkampungan penduduk.

“Kalian tunggu sini, ya, gue mau ambil nasi liwet dan kawan-kawannya dulu dirumah,” ujar Kafiya.

“Gue mau bantuin dong.” Neyza menawarkan dirinya. Dengan senang hati Kafiya mengajak temannya yang satu itu.

Sembari menunggu kedua orang itu kembali lagi, anak-anak kelas sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tentu saja without ponsel karena disana benar-benar tak ada sinyal.

Shouldn't Be LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang