Bagian Lima Belas

7 1 0
                                    

Hening. Dua orang yang duduk di dalam ruangan kepala sekolah masih terdiam tak berbicara sepatah katapun. Sudah biasa seperti itu, jika tidak berdebat, mungkin hanya diam yang mereka ekspresikan saat bertemu.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dengan suara beratnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka serentak.

Pria paruh baya itu duduk di kursi kebanggaannya, Pak Aryanto– kepala sekolah itu mulai membuka laptopnya membaca sebuah surat dalam bentuk digital, satu menit, beliau melirik dua orang siswa dan siswi berprestasi di sekolahnya itu.

"Bagaimana keadaan kalian?" tanya Bapak kepala sekolah memecah keheningan.

"Alhamdulillah, baik, Pak."

"Alhamdulillah, baik juga, Pak."

Pak Aryanto selaku kepala sekolah mengangguk pelan dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.

"Kalian tau tujuan bapak memanggil kalian ke sini?" tanyanya.

"Tidak, Pak. Ada apa ya, Pak? Jika menyangkut Olimpiade, masih 3 bulan lagi kan, Pak," jawab Devan.

Kepala sekolah mengangguk, memang benar apa yang dikatakan Devan, jika menyangkut Olimpiade tersebut masih akan dijalankan 3 bulan lagi dan masih dalam waktu yang cukup lama.

"Benar, Devan. Kalau untuk olimpiade masih lama, dan bapak juga sudah tidak meragukan lagi kepintaran kalian berdua. Tapi, tujuan bapak saat ini memanggil kalian, bapak mengutus kalian berdua untuk menghadiri undangan yang diadakan oleh SMAN Budiman, nah nanti itu akan membahas masalah Olimpiade ini, bagaimana teknisnya, dan masih banyak lagi mungkin yang akan disampaikan oleh ketua panitia olimpiade itu. Bapak harap selesai dari ruangan bapak, kalian langsung ke sana berdua ya, kalau bisa satu kendaraan aja biar nggak ada yang nanti ketinggalan atau apalah, jadi kalian bisa sama-sama sampai," jelas Bapak kepala sekolah.

Devan dan Lea mendeklik, saling bertatapan beberapa detik, lalu kembali memutuskan kontak mata yang sempat terhubung itu.

"Lea bisa bawa motor sendiri kok, Pak. Jadi gak perlu numpang ke kak Devan," ujar Lea tak setuju.

"Iya, Pak. Motor saya gak bisa bawa beban, Pak," Devan bersuara.

"Beban-beban, gue juga gak mau kali diboncengin lo dan motor lo yang jelek itu," Lea tak terima.

Devan dan Lea saling adu argumen, tak lagi menghiraukan ada kepala sekolah yang saat ini memperhatikan tingkah mereka.

"Cukup!" Titah bapak kepala sekolah.

••••

Kenzi dan anggota geng motornya duduk di kantin sekolah tempat langganannya. Jika geng Vounter berada di sayap kanan, geng Zeros jauh berada di sayap kiri. Mereka sengaja dipisah oleh pihak sekolah agar tidak terjadi berulang-ulang kegaduhan di kantin. Sudah cukup saat mereka kelas 11 kantin tempat melepas penat dan rasa lapar mereka jadikan ring untuk mengadu otot, pihak kantin sudah sering mengalami kerugian karena tidak ada yang berani datang makan saat terjadi kegaduhan itu. Dan saat itulah pihak sekolah memutuskan untuk memisahkan tempat duduk langganan mereka.

"Ken, gimana keadaan Liora?" tanya Morgan.

Morgan juga merupakan anggota geng Zeros, wakil dari Kenzi di geng motor mereka.

"Masih begitu, dia bahkan makin gak hirauin kedatangan gue dan mama ke sana. Intinya, belum ada perubahan baik lah," jawab Kenzi.

Morgan mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Karena Azel, wanita yang dicintainya saat ini harus menjalani pengobatan di rumah sakit jiwa. Liora yang cantik, baik, dan juga periang, saat ini sudah tidak lagi dapat ditatapnya. Selain Kenzi— kakaknya Liora, ada Morgan yang juga menaruh rasa benci yang mendalam pada Azel dan juga seluruh anggota geng motor Vounter. Pasalnya, Morgan yang mencintai Liora dalam diam sudah berusaha ikhlas saat Liora menyatakan bahwa ia mencintai Azel, tetapi Azel, ia bahkan tak sedikitpun menghargai perasaan Liora padanya.

MENOLAK RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang