Bagian Dua Puluh

5 1 0
                                    

Happy Reading guys :)

"Tidak menatapmu, bukan berarti aku tak menginginkanmu. Tapi itu adalah caraku menjagamu"

-Zeldiano-

Seorang pria dan wanita tengah duduk menikmati dua cangkir kopi hangat yang mereka pesan disebuah kafe yang terletak di tepi pantai. Mereka menikmati setiap detik perputaran jam dengan rasa nyaman dan suasana hati yang damai menatap indahnya langit biru dan desiran ombak menambah rasa kebahagiaan.

"Kenapa baru sekarang?" ujar seorang wanita dengan masih menatap ke arah ombak-ombak yang saling menggulung.

"Apanya?" balas singkat seorang pria yang duduk di sampingnya.

Lea, dia wanita yang duduk dengan pria yang satu jam lalu mengajaknya untuk refreshing dan melepaskan semua masalah-masalah yang dipendam. Dia kali ini, melirik lelaki yang berada di sampingnya itu, menatap malas selama beberapa detik.

"Gak peka banget," Lea kembali memalingkan tatapannya kepada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya saat ini, yaitu pantai.

"Itu tuh cewek, suka bilang orang gak peka. Eh, kita para cowok ini manusia biasa, bukan dukun. Entar deh gue belajar jadi dukun dulu buat bisa peka sama lo," ucap Devan tanpa menatap wanita itu.

"Hahah, apaan sih lo, Kak. Gaje banget sumpah," Lea terkekeh geli mendengar leluconan Devan. Lelucon yang membuat Lea menatap heran pria yang ia kenal selalu serius dan ambis dalam hal apapun, terutama dalam akademik.

Devan masih diam, melirik Lea yang masih tertawa karena ucapannya. Seulas senyum muncul dari wajah datar khas Devan. Kali ini, tawa Lea lebih menarik perhatiannya dari pada pantai yang sebelumnya ia tatap kagum.

"Si ratu ambis ini diliat-liat cantik juga ternyata." Batin Devan dengan mata yang terus tertuju pada Lea.

"Cantik."

Lea terdiam, melirik pria yang berada di sampingnya. "Apa kak?"

"Hah, Apa?" beo Devan. Ia tersentak dari lamunannya menatap penuh kagum pada wanita di sebelahnya.

Devan mengalihkan pandangannya, merasa malu dan salah tingkah karena telah keceplosan mengucapkan ucapan bodoh itu pada Lea yang notabenenya adalah rivalnya di sekolah.

"Ditanya malah balik nanya. Tadi kakak bilang cantik, siapa yang cantik?" tanya Lea menatap Devan.

Deg!
Jantung Devan semakin berdetak tak beraturan. Ia bingung, mengapa jantungnya menjadi abnormal jika berada dekat dengan adik kelasnya itu, tepatnya adik kelas yang selalu berambisi mengalahkan dirinya dalam segala hal di sekolah.

"Pantai," elak Devan singkat dengan tidak melirik Lea sedikitpun. Devan takut tidak bisa mengendalikan perkataannya jika saling bertatapan dengan Lea.

Lea mengangguk pelan, meskipun sebenarnya ia tau mata Devan tadi bukanlah melirik ke arah pantai, melainkan ke arah dirinya. Tapi saat ini Lea tidak mau menimpali, ia tidak mau berdebat dengan pria ambis yang ada di dekatnya, jelas saja nanti ada jawaban-jawaban yang dikeluarkan dari mulut pedas milik lelaki itu, pikirnya.

••••

"Makasih ya nak Zia sudah selalu ikut pengajian, semoga kita selalu Istiqomah di jalan Allah," ujar seorang ibu yang mengenakan pakaian syar'i itu pada Ayzia.

"Aamiin Allahumma Aamiin, iya sama-sama, Bu ustazah. Zia juga seneng kok ikut pengajian ini Bu, soalnya masih banyak hal yang perlu Zia ketahui sebagai wanita sesuai ajaran Islam," jawab Ayzia dengan tersenyum ramah kepada wanita paruh baya yang ia panggil dengan sebutan ustadzah ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENOLAK RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang