Lima

72 58 86
                                    

Jalan mengendap-endap menuju lemari besar, matanya bergerak melirik kanan-kiri memantau sekitar. Refleks dia menutup mata sebentar, mendengar decitan ranjang saat posisi tidur berubah.

"Huft..." gadis itu menghela napas lega ketika sampai di lemari. "Oh shit!" umpatan demi umpatan terlontar begitu pintu lemari terkunci.

"Ayok dong! Sel berpikir... Gunakan otak cantik Lo." gumamnya. Dia mengetuk keningnya biasa di lakukan ketika dia berpikir keras.

Dimana Mak lampir-ia memanggil tantenya begitu-itu menarik kunci?

Matanya langsung tertuju pada sebuah guci antik kesayangan Vera-tantenya. Guci keramik tidak berukuran besar, dia berdecih pasti Papahnya mengeluarkan banyak uang hanya untuk membeli guci itu.

Kembali jalan mengendap-endap bahkan bernafas saja dia harus berhati-hati. Vera sangat sensitif, suara jam dinding saja dia bisa mendengarnya.

Senyuman merekah terpampang jelas pada wajahnya, kunci lemari benar berada di sini. Tidak seperti tadi dia berjalan perlahan, kini dia mempercepat langkahnya. Biar saja ketahuan, kuncinya susah berada di tangannya.

Matanya berbinar seketika, melihat banyaknya uang dan perhiasan. Dia tidak membutuhkan perhiasan, yang hanya dia butuhkan uang. Gadis itu mengambil beberapa lembar uang berwarna merah.

Jangan pernah menganggapnya pencuri, lagi pula itu uang Papahnya yang di tilep Mak lampir. Dia hanya mengambil haknya tidak salah bukan? Hanya caranya saja yang salah.

Sebelum menutup pintu kamar dia menyempatkan pamit, "Makasih ya Tante, Sela pamit dulu mau main." ujarnya sembari tertawa kecil.

Misi berhasil.

.

_____________

Lima

Ketua

_____________

.


Memperhatikan pantulan cermin dengan seksama, merapihkan rambut yang susah payah dia bentuk. Jangan sampai rusak sebelum acara dimulai. Dress putih selutut dan jaket kulit hitam membuatnya bersinar malam ini.

Dia melirik jam dinding, 11.30. Sela berdecak teman-temannya belum datang juga menjemput dirinya.

Nanti keburu Mak lampir bangun, bisa panjang urusannya. Dari celah jendela Sela melihat lampu mobil bergerak, itu pasti mereka.

"Lama banget sih! Keburu Mak lampir bangun tau," sungutnya sebal.

"Ya maaf, Alya nih yang lama." ujar Bianca, memang tadi Alya yang paling lama di antara mereka.

"Heh, tadi gua nungguin emak gua tidur dulu." balasnya, Alya mendengus dongkol.

Sela mendengus, dia merogoh tas selempang mengambil benda-benda yang dia cari. Benda persegi berwarna biru muda sebuah kartu tanda penduduk.

"Nih, satu-satu jangan berantem." Sela memberikan benda persegi itu kepada mereka berlima.

"Gila gua cakep banget, di sini. Cerah banget kek masa depan." Evelyn berdecak kagum mengamati foto dirinya sendiri. "Udah cakep, seumur hidup lagi." sedikit terkekeh.

I love myself, motto hidup Evelyn. Jadi jangan heran kalau dia seperti itu.

Tentu saja itu kartu tanda penduduk palsu, umur mereka saja baru menginjak 14 tahun. Tidak mungkin sudah mempunyai KTP.

"Mau kemana Sel?" tanya Bianca, dia yang membawa mobil. Mungkin umurnya masih kecil, tapi skillnya bisa langsung di acungi dua jempol. Berdoa saja semoga tidak terkena razia.

"Club-nya Nathan."

🍂🍂🍂


Sekolah siang itu di hebohkan dengan berita masuknya kembali sang ketua pluvi. Setelah masa skorsing dua minggu. Karena berkelahi dengan anak donatur utama sekolah.

Pluvi, siapa sih yang tidak mengenal circle itu? Circle yang isinya cewek cantik semua. Bukan hanya cantik saja, mereka juga sangat mengagumkan kalau di jabarkan bisa sampai besok.

Cantik? Sela maju pertama.

Pintar? Si manusia sempurna jawabannya.

Kaya? Evelyn langsung tertawa kencang mendengarnya. Dia anak pemilik sekolah kalau tidak tahu.

Imut? Definisi sempurna menggambar Alya.

Jago beladiri? Bianca bisa mematahkan batako hanya dengan satu tangan.

Bruk!!

Atensi pandangan seluruh siswa tertuju pada gadis cantik yang baru saja mengebrak meja.

"Maksud Lo apa?!"

"Jangan pura-pura bego! Atau lu emang bego." Sela tersenyum sinis memandangnya. Chika-rivalnya, dia juga orang yang telah membuatnya di skorsing.

"Lo baru dateng, kalau mau ngajak berantem bilang!" Chika menggulung lengan seragamnya, memberi ancang-ancang kepada teman-temannya.

"Gua enggak mau ngajak berantem sih, anggap aja ini sebagai sambutan atas kembalinya gua, mungkin kemarin Lo menang." Sela menatap Chika tajam. Mengingat pertengkaran mereka kemarin.

Sela menaruh telunjuknya tepat di depan kening Chika, "inget ini didalam otak dangkal Lo itu, sampai kapanpun gua slalu di atas Lo! Mau seberusaha apapun buat jatuhin gua. Semua orang bakal tetap memuja gua!"

Chika menggeram kesal di tempat, dia malu di permalukan tepat di hadapan semua siswa. Di situasi seperti ini tenang adalah jawabannya. "Seenggaknya lu pernah kalah dari gua."

"Itu karena bantuan dari bokap Lo, oh iya gua lupa kalau lu itu... Anak mami!"

-tbc-

cerita hanya fiktif belaka,   ambil sisi positif buang jauh-jauh sisi negatif.

jangan lupa vote dan komen, aku sangat mengapresiasi sama pembaca yang tau cara menghargai.

Kritik dan saran diterima dengan lapang dada, pakai bahasa yang sopan ya.

Salam hangat, Queenchy ❤️

Trouble makers; Bad girlsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang