2 3 .

420 68 7
                                    

Saerom itu mungkin bukan karakter utama dalam semesta kali ini, tapi bukan berarti perannya tak penting. Kalau diibaratkan dengan karakter animasi, gambaran sosok Saerom mirip seperti kakak perempuan di serial bocah botak kembar yang tayangnya kayak jam makan. Benar sekali seperti Kak Ros. Atau seperti karakter Bora dalam drama Reply 1988. Galak, hobinya ngomel, tapi perhatian. Sebagai adik, Jeno mengakuinya.

Dalam hidupnya Kak Saerom memiliki peran hampir sama seperti orangtuanya. Kadang kala kalau sudah ngomel beuh, rasanya mending gak punya telinga. Ngomelnya dia itu sepuluh kali lipat dari Bunda. Bahkan waktu ketahuan nyebat aja, Kak Saerom paling murka ketimbang kedua orangtuanya. Pak Donghae malah paling chill waktu tau anaknya nyebat, katanya berarti anaknya gak kuper. Tapi tetep dibilangin sih jangan ngerokok, gak bagus buat kesehatan. Terus ayah juga bilang kalau kakak sama bunda gak bisa kena asap rokok.

Dan sekarang Jeno harus merasakan kupingnya panas dengerin omelan Saerom yang serasa gak berujung.

"Gua gak paham ya sama jalan pikiran lo, bisa-bisanya lo kepikiran kayak gitu sama Siyeon? Eh, dia sahabat lu, Nyet. Harusnya lu lindungin dia bukannya kayak tadi. Lagian lu kan ada pacar, Jen. Pantes Lia ngamuk ke Siyeon ya lunya aja gitu!"

Yaps, insiden di kamar kos Saerom itu ketauan. Sekarang Siyeon lagi di dalam mobil, berbeda dengan dirinya sedang diomeli di depan kosan. Karena di tempat umum, suara Saerom lebih kecil dari biasanya.

Didenger?

Tentu aja enggak.

Bunda jarang ngomel karena tahu Jeno ini semakin diomelin semakin bangkang, dan makin gak dengerin apa masukan dari bunda. Bunda pendekatannya diskusi, tapi tetep mengintimidasi dan tetap sama bikin gerahnya.

"Insting cewek tuh kuat, Jen. Tau mana yang beneran temenan, mana yang enggak." cecar Saerom tetap mempertahankan nada suara yang pelan namun tetap mengintimidasi.

"Lo malem ini aja udah berani kayak gitu, gimana nanti?" tawa remeh mengudara membuat Jeno kian jengah.

"Gue sama Siyeon sepakat." Jeno memilih jujur, toh sudah ketahuan juga kam. Perkataan si bungsunya Pak Donghae itu membuat mata Saerom kian nyalang menatapnya. Jeno tampak tenang, meski tatapan Saerom yang keliatan makin berapi.

Masih dengan tampang datarnya Jeno mengangguk.

"Sinting."

"Sekolah lo benerin dulu, Jen. Lo gak kasian sama Bunda?"

Jeno menghela napasnya pelan. Dan lagi-lagi ia hanya mengangguk, dengan wajah menunduk menatap sepatunya tanpa minat.

"Janji gak gitu lagi?" Saerom mengacungkan jari kelingkingnya. Namun Jeno hanya melihat itu tanpa minat.

"Janji atau gue gak segan bilang ke bunda kalo lo masih kayak gitu sama Siyeon." ucap Saerom, suara tampak terdengar penuh amarah.

Merasa diancam, bukannya takut Jeno malah mendongakan wajahnya. Senyum remeh terulas pada wajahnya yang sontak membuat amarah Saerom kian berada di ubun-ubun.

"Ya silahkan aja, gue juga bakal ngasih tau ke bunda kelakuan lo sama Bang Younghoon di belakang kayak gimana."

Mata Saerom melotot, kepalanya makin pusing liat adeknya susah banget dibilangin apalagi diatur.

"Jangan lo pikir gue diem tuh gak tau. Gue tau kalo mau negur perkara kebaikan gak perlu jadi baik, tapi lo sama kayak gue, Kak. Benerin dulu kelakuan lo, kasih contoh baik ke adeknya baru nyuruh! Lo gak berhak ngatur-ngatur gue!"

Perkataan Jeno sontak membuat lengan Saerom refleks terangkat dan melayangkan tamparan pada pipi adiknya itu. Keduanya seketika membisu. Jeno terkejut melihat Saerom berani memukulnya lagi. Ia tahu sedari dulu Saerom memang ringan tangan, bahkan dulu Jeno pernah dilempar oleh kursi plastik hanya karena menghancurkan kendi kecil yang susah payah dibuat dan dilukis yang dikumpulkan esok hari. Itu kejadian beberapa tahun silam, belasan tahun yang lalu membuat hubungan mereka renggang sebelum akhirnya kembali akur karena sama-sama dewasa, dan Jeno merasa kakaknya itu terlihat sayang dengannya.

[2] DistanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang