3. Menjual Harga Diri

7.4K 165 0
                                    

POV Amanda

“Logan,” ralat pria itu lagi, satu alisnya menukik ke atas, mengisyaratkan perasaannya yang jengkel sebab harus mengoreksi caraku memanggilnya untuk ke sekian kali.

Aku kemudian mengambil napas lebih banyak dan memantapkan suara, “Aku bersedia menerima tawaranmu, Logan.”

Menyetujui ide Logan memang terdengar gila. Namun, dia benar tentang satu hal. Aku tidak punya pilihan, membiarkan Andrew mendekam di balik jeruji besi atau menolongnya keluar dari sana dengan pertukaran yang salah, rasanya seperti sedang menjual harga diriku pada Logan.

Sejak ayahku meninggal, situasi di keluarga Fletcher tidak lagi sama. Semuanya terasa lebih mudah dahulu. Kami punya keintiman dan kekompakan satu sama lain, saling menjaga, saling mengisi, jenis kasih sayang yang sanggup membuat orang-orang iri karenanya, tetapi status itu mendadak harus berubah menjadi sesuatu yang kenangannya pernah kubanggakan.

Ibuku kembali menikah selepasnya. Meninggalkan aku dan Andrew tiga tahun yang lalu untuk menata hidup baru bersama suaminya, pindah ke Detroit, dan mengabaikan kami di Philadelphia. Hanya menelepon sesekali sebagai bentuk komunikasi formalitas antara kami, menanyakan kabar, lantas mengirimi uang dalam jumlah yang jauh dari kata cukup.

Aku selalu berpikir bahwa Andrew—yang secara teknis lebih tua empat tahun dariku—akan jauh lebih tangguh untuk menghadapi problema dan realitas. Namun, mentalnya justru lebih hancur dalam kategori yang sangat buruk. Keahlian terampil yang dia punya hanya mabuk dan memukuli orang di klub, mengutuk ibuku, memaki ketidakadilan nasib.

“Benarkah? Kau setuju?” tanya Logan memastikan.

Aku mengangguk dan menangkap kilat ganjil di sepasang mata Logan yang lagi-lagi mengerling padaku. Itu sontak membuat degup jantungku melesat gugup, seolah-olah aku baru saja menerjunkan diriku dari pinggir tebing dengan sengaja. Apa yang sudah kulakukan?

Aku akan bercinta dengan orang asing. Orang asing yang menawan. Mengapa Logan harus membuatku terperangkap dalam dilema antara tujuan ‘mulia’ membebaskan Andrew dan perasaan takut atas langkah spontan dan praktis yang menutupi akal sehatku untuk bekerja dengan semestinya?

“Kita sepakat,” balasku berusaha menstabilkan nada gentar yang kini mulai merayapi suaraku.

“Sempurna,” desisnya menanggapi, sementara satu tangannya merogoh sebuah telepon seluler dari balik saku celana ripped jeans-nya dan melakukan panggilan pada seseorang.

Aku menunggu Logan selesai, mencoba menyimak percakapannya dengan aksen yang jarang kudengar itu, dan masih belum memahami satu pun dari pembahasan mereka. Bicaranya kelewat cepat dengan intonasi yang sengaja direndahkan seperti sinyal radio yang mendengung mencari frekuensi. Aku yakin dia tidak berharap bahwa aku akan mengerti atau mengomentari logat Skotlandia-nya yang unik sekarang.

“Kakakmu akan segera menghirup udara segar yang dirindukannya. Aku sudah mengirim orang-orangku untuk mengurusnya di kantor polisi. Informasi mengenai korban pengeroyokan itu akan mereka rinci padaku nantinya,” kata Logan dengan ekspresi yang masih sama datarnya seperti yang sudah-sudah.

Mengapa raut wajah Logan yang kaku sama sekali tidak mempengaruhi daya tariknya? Pesona pria itu terasa begitu membuai, tetapi mematikan. Jenis keterikatan yang bertentangan pada prinsip, sesuatu yang mustahil berlaku untuknya, penggambaran paling irasional yang pernah ada.

Aku biasa membenci pria-pria dingin dan dominan seperti Logan. Sifatnya mengingatkanku pada William Hale—ayah tiriku, yang merampas ibuku dari kami. Setumpuk daftar ambisinya bahkan mampu kubaca lewat seluruh sikapnya yang menyebalkan, tipikal orang perfeksionis, sama sekali bukan tipe lawan jenis yang kusuka.

“Aku harus menemui Andrew sekarang.”

“Dan membuang waktuku yang berharga?”

Menyia-nyiakan waktunya yang penting. Mengapa ada banyak pria tampan yang tingkahnya sangat arogan seperti dirinya? Mengapa perilaku seperti mereka justru termaafkan seiring dengan surutnya kemampuanku dalam menoleransi keangkuhan yang serupa?

“Maaf, Logan. Aku setuju kita akan memenuhi poin-poin yang sudah disepakati, tetapi aku juga harus memastikan semuanya baik-baik saja bagi Andrew.”

“Dia pria dewasa yang sanggup mengurus dirinya sendiri, Amanda. Orang-orangku akan mengatasi segala sesuatunya dengan baik,” tolaknya kemudian.

Apa Logan berhasil mengendus upayaku untuk mengulur waktu? Sejak kapan? Apa aku memang tidak punya peluang untuk menghindar darinya? Satu kesempatan saja, harapku.

“Kita pergi sekarang?” lanjut pria itu lagi, sorot matanya terkunci penuh padaku, lantas mengulurkan tangan kanannya untuk menggandeng jemariku yang berkeringat oleh sensasi cemas.

Aku kembali mengangguk, tetapi mengelak untuk disentuh. Kami berjalan beriringan, Logan di samping kananku, melangkah dalam kekacauan hebat yang tengah terjadi di dalam kepalaku. Aku mulai memikirkan sejumlah kemungkinan yang akan menimpaku dalam kurun waktu satu atau dua jam ke depan dan terkenang pada momen kencan buta melalui aplikasi daring yang pernah kulakukan semasa SMU dahulu.

“Itu berakhir dengan buruk,” gerutuku tanpa sadar memancing perhatian Logan yang kini menoleh dengan pandangan mencela padaku.

“Apa kau mengatakan sesuatu, Amanda?”

“Tidak ada,” sahutku sambil menyunggingkan senyum sopan.

Setelah insiden itu, kami lebih banyak diam. Logan membiarkan aku terkungkung di antara riuhnya kritik-kritik tajam yang mencemooh perbuatan cerobohku di dalam benak. Dia kemudian mengajakku masuk ke sebuah mobil produksi Inggris bermaskot Flying Lady miliknya, mengemudi dengan batas kecepatan yang lazim, dan mengekalkan kesunyian yang menghalangi kami.

Sepanjang perjalanan yang hening itu, aku berjuang keras untuk memusatkan minatku hanya pada pemandangan indah di luar jendela, mengawasi lokasi perbatasan kota yang asri. Ponselku mendadak berdering saat kami tiba di kawasan Elkins Park. Dari Andrew, dia mengabariku tentang dua orang asing yang mengaku sebagai kenalanku dan berterima kasih atas kemurahan hati yang kulakukan, berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.

Akhirnya Andrew sadar, pikirku selepas dia menyudahi panggilan. Perhatianku seketika tersita pada kediaman Logan yang bergaya Tudor, eksteriornya dilengkapi stucco warna cokelat dan atap runcing yang estetik, arsitekturnya mirip dengan bangunan kastil. Desain Palladian yang ikonik pada pintu-pintunya, cerobong asap yang masih aktif, suasana yang serta-merta menyeretku pada kesan dramatis di abad pertengahan.

“Luar biasa,” pujiku menggumam, mengedarkan pandang ke sekeliling, mengamati pekarangan luas itu dengan decak kagum yang coba kusembunyikan.

“Kau suka?”

Aku menoleh pada Logan dan mengiyakan, menyanjung komposisi bernuansa klasik era Medieval yang kental itu, lantas kembali mengamati area di sekitar. Setelah kami turun dari mobil, Logan mengajakku masuk. Aku melangkah dengan perasaan gelisah, meniti anak tangga yang terbuat dari batu bata, dan melewati dinding-dinding berpanel kayu yang halus, lengkap dengan motif ornamen periode Renaisans yang fantastis di sepanjang lajurnya tersebut.

Kami kemudian berhenti di hadapan pintu kamar yang setengah terbuka. Ada seorang pelayan wanita paruh baya yang sedang merapikan beberapa perabotan di dalam lemari, di pundak kirinya tersampir sehelai kain lap kotor, dan rambut pendeknya yang diikat satu itu dipenuhi jejak debu. Pekerjaannya pasti berat, mengingat rumah Logan sangat besar juga ada begitu banyak ruang lain yang harus dibersihkan setiap harinya.

“Selamat datang di rumahku, Amanda. Apa kau tertarik dengan tur singkat untuk melihat-lihat? Namun, kuperingatkan kau harus berhati-hati agar tidak tersesat dan terkurung seperti Cinderella sebab tidak ada Fairy Godmother yang akan menyelamatkanmu di sini,” bisik Logan sambil beranjak mendekatiku dengan sorot mata yang berbahaya.


***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang