16. Kehilangan Sepatu Kaca

1.4K 54 0
                                    

POV Logan

Aku melonggarkan kerah kemeja yang terasa mencekikku dengan sisa gairah semalam. Menutup buku absen dari kelas terakhir yang baru saja selesai kuhadiri, menenangkan diri lewat sekaleng kopi instan dingin, dan menajamkan penglihatanku ke segala penjuru kampus. Mencari sosok yang tidak lagi asing dengan rambut merah tembaga panjangnya yang mengilat di bawah terpaan sinar matahari.

Setelah menunggu cukup lama, aku kemudian menemukan Amanda sedang berjalan menyusuri koridor seorang diri. Benda yang ditentengnya adalah sebuah buku tebal dengan sampul mengilap. Tas selempangnya yang terbuat dari bahan rajut dicangklongkan ke pundak kirinya.

Langkah Amanda terlihat mantap dan menegaskan kesan bahwa dia tengah terburu-buru untuk pergi ke suatu tempat. Apa yang membuatnya harus pulang lebih cepat? Pekerjaannya? Tugasnya? Bukankah libur musim panas baru saja dimulai dan hari ini hari terakhir mereka kuliah?

“Berhati-hatilah dalam melangkah atau kau akan kehilangan sepatu kacamu, Cinderella. Kau berjalan seperti robot yang dirancang untuk menghancurkan seisi Amerika,” gurauku coba menarik perhatiannya.

Cara itu berhasil mencairkan sikap tidak acuhnya. Amanda langsung berhenti di depanku, menoleh dengan ekspresi yang masih dingin, dan memindai wajahku sekilas sebelum meneruskan langkah. Jadi, dia berani mengabaikan Logan Caldwell?

Kawasan di sekitar kami sepi. Sebagian besar sudah menyelesaikan jadwal mereka di hari lain dan musim panas yang datang lebih awal telah mengosongkan separuh orang yang biasa beraktivitas di universitas. Aku menonton punggung Amanda yang beranjak menjauhiku dengan kepedulian yang juga lenyap bersama jejaknya.

Amanda bukan lagi pribadi yang mudah diserang rasa gugup seperti perjumpaan kami pertama kali. Ada sesuatu yang mengubahnya, ada sesuatu yang mengusik sistem responsnya terhadap diriku, dan aku merasa tergelitik untuk mengujinya. Seberapa lama dia mampu menghindar dariku?

“Omong-omong tentang potret luar biasa itu, aku sudah membingkai dan menggantungnya di kamar.”

Perkataanku menghasilkan pengaruh yang membuat Amanda lagi-lagi berhenti melangkah. Dia berbalik, mendekat padaku, dan menampilkan lapisan emosi yang sempat disembunyikan olehnya. Aku memperhatikan kedua alisnya yang rapi itu saling bertaut menyiratkan rasa kaget, sementara pandangannya sesekali melirik ke sekeliling.

“Kita berada di lingkungan kampus, Profesor Caldwell. Anda tidak boleh mencampuradukkan urusan pribadi di sini,” desis Amanda yang kembali menoleh ke bangunan yang ada di sayap kiri. 

“Urusan pribadi, hm?” gumamku sambil menyeringai, lantas menarik salah satu pergelangan tangannya untuk mengikutiku menuju lorong lain yang menghubungkan kami ke perpustakaan.

“Prof—tunggu, apa yang Anda—”

Tubuhku seketika memepet punggung Amanda ke dinding. Beruntung gedung itu kosong dari kegiatan. Kami berlindung ke balik rak berukuran besar yang dijejer di dekat pintu masuk dan aman dari pengeksposan orang-orang. 

“Hanya ada kita berdua sekarang, Nona Fletcher.” Aku membisikkan kalimat itu tepat di ujung hidungnya.

“Lo-Logan—maksud saya, Profesor Caldwell, A-Anda tidak boleh melakukan ini pada saya.” Suara Amanda terbata-bata di antara embusan napasku yang menyapu kulit wajahnya.

“Beri aku satu alasan mengapa aku harus mengendalikan diriku.”

“Ka-karena Anda seorang dosen pengganti di universitas ini.”

“Tugasku sudah berakhir satu jam yang lalu. Aku bukan dosenmu lagi.”

“Te-tetap saja, kita sedang berada di area kampus.”

 Jari telunjukku terangkat membelai rahang Amanda. Wajahnya sontak mengelit ke samping, menepis sentuhanku secara halus, dan mendorong dadaku ke belakang untuk menjauhi dirinya. Namun, jemari ramping itu masih mencengkeram erat kerah kemejaku yang tidak terkancing dengan benar.

“Jadi, apa kau berniat untuk membuatku mundur atau justru menahanku lebih lama bersamamu, Amanda? Yang mana?” godaku dengan nada parau, membisikkannya persis seperti tadi, sukses menciptakan kilau keraguan di mata Amanda.

“Aku tidak tahu,” akunya putus asa.

“Kau tidak tahu? Bagaimana dengan undangan untuk makan malam?”

Kami saling menatap selama sesaat yang terasa begitu mendebarkan. Aku mengekang keinginan untuk memagut bibirnya, membatasi diriku dari keserakahan, dan mengalihkan pikiranku pada pameran akbar yang harus kugelar minggu depan di sebuah atrium pusat kota. Cukup efektif untuk membunuh hasrat yang mulai menggeliat dari tubuhku.

“Aku tidak punya waktu,” tolak Amanda yang kemudian melonggarkan genggamannya dari pakaianku dan menggeser posisinya ke sisi lain.

“Ada apa? Pekerjaan rumah tangga dari saudari tirimu atau kau memang harus menjalani hukuman untuk terkurung di loteng bersama teman-teman kecilmu? Tikus dan burung kenari?”

“Dengar baik-baik, Logan. Pertama, aku bukan Cinderella. Takdir tokoh fiksi itu bahkan terlalu sempurna untukku. Kedua, ada pekerjaan sungguhan yang harus kuselesaikan.”

“Boloslah satu hari saja.”

“Hebat. Kau mengajari seseorang untuk tidak bertanggung jawab dan kau bangga menyebut dirimu dosen?” sindirnya dengan sorot mata tidak percaya.

“Kau bekerja paruh waktu? Setiap hari?”

“Itu bukan jawaban untuk pertanyaanku sebelumnya.”

“Di mana dan kapan?

Aku mengamati Amanda yang tampak jengkel. Kedua tangannya terlipat ke dada, meneguhkan persepsiku tentang perasaannya. “Mengapa kau suka sekali mencampuri urusan orang lain?”

“Kau bukan orang lain bagiku.”

Amanda tercengang sebelum kesadarannya pulih dan mencemoohku, “Kau benar. Kita pernah berbagi ranjang yang sama. Kau tahu ukuran payudaraku juga diameter pinggulku. Kau melukisnya. Kau menggantungnya seperti sebuah mahakarya prestise di rumah megah itu, tetapi aku lupa mengucapkan selamat padamu.”

Amanda mengedikkan bahunya sambil melanjutkan, “Selamat atas pencapaian spektakulermu, Logan. Apa itu sudah terdengar lebih tulus? Apa aku juga harus memesan seloyang kue keik dengan kartu glitter di atasnya?”

“Sarkasme tidak cocok untukmu, Amanda.”

“Berhentilah memberitahuku mana yang cocok atau tidak cocok untukku.” Aku baru saja mendengar Amanda menggertakkan giginya.

“Mengapa aku merasa kau sengaja menghindariku?”

Amanda menyipitkan mata dan melayangkan pandangan sengit, seolah-olah aku merupakan makhluk asing dari planet antah-berantah yang harus disingkirkan. “Sebab kau tidak baik untukku, Logan. Kau membuatku memikul satu beban baru di kedua pundakku dengan utang dua puluh ribu dolar itu, tetapi terima kasih banyak. Kau membuatku mengerti tentang penderitaan Atlas yang dihukum untuk memanggul bumi dan seisinya sekarang.”

“Ada yang harus kubicarakan denganmu.”

“Mengenai utang itu? Aku paham. Aku akan mencicilnya dari sisa gajiku bulan lalu.”

“Bukan itu—”

“Tenang saja, Logan. Aku mandiri, meskipun kondisi finansialku tidak selalu sanggup menopang setiap pengeluaran yang membengkak untuk biaya pendidikanku di sini. Satu lagi, jika kau pikir kau akan menghancurkan hatiku melalui serangan intimidasi, maka kusarankan kau mencoba metode lain sebelum memastikannya.” Aku melihat Amanda yang berusaha mempertebal benteng kepercayaan dirinya yang rapuh dengan senyum yang dipaksakan. 

“Lagi pula, aku telah mengingat sesuatu yang penting dari kasus Andrew tempo lalu. Selama kau punya uang, kau juga punya dunia dalam genggamanmu. Apa aku benar?” sambungnya lagi dengan senyum yang mulai memudar.

Wajah sedihnya membuatku mendadak ingin  melindungi Amanda dan mempertanyakan prinsip yang selalu kujunjung sebelumnya. Aku bergerak berdasarkan naluri, lantas menyambar punggung Amanda ke dalam dekapan. Jemariku serentak terulur meraih rahangnya mendekat ke wajahku, menanggalkan formalitas yang membentang di antara kami, dan mencium bibirnya tanpa ragu.

***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang