POV Logan
Amanda akan kembali pukul empat sore. Menjadi potret paling indah yang akan kupajang di dinding kamar, menciptakan sentuhan baru pada setiap sudutnya yang dingin, kuno, dan maskulin, menggantikannya dengan perasaan baru yang penuh afeksi dan feminin. Sesuatu yang memudar sejak Brielle tiada.
Aku sengaja melakukannya, mengikat Amanda dengan perjanjian baru, menjerat wanita itu lewat alasan dua puluh ribu dolar yang wajib dilunasi agar aku masih punya kesempatan untuk berinteraksi dengannya. Nekat adalah kata yang pertama muncul dalam benakku dan persetan adalah kata berikutnya yang langsung memompa ide-ide tersebut keluar dari bibirku. Gagasan paling brilian yang pernah ada, bukan?
Siapa yang peduli pada dua puluh ribu dolar saat kau punya segalanya? Satu-satunya ambisiku hanya membawa Amanda kembali ke ranjang dan menghabiskan malam-malam lain bersamaku. Aku sendiri terkejut dengan pemikiran obsesif yang belum pernah menguasai naluriku sebelumnya, tetapi aku mendambakan Amanda berada di bawah tubuhku lagi dan lagi.
Aku kemudian menoleh ke arah luar, memandangi pepohonan dedalu yang tumbuh rapi di sepanjang gerbang kampus, dan menyesap secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Meletakkannya di pembatas jendela, sementara bayangan tentang Amanda mulai terbenam di antara tanggung jawab yang menantiku pada sepuluh menit ke depan. Aku akan menjadi dosen pengganti karena permintaan Peter Colbert—rektor sekaligus kawan akrabku, untuk dua hari di sini.
Universitas mereka kekurangan tenaga pengajar seni. Ada dua orang dosen tetap yang tengah menggunakan hak izin cutinya untuk kepentingan pribadi. Yang dilakukan oleh Peter yaitu merayuku dengan sesuatu, menyogokku lewat barang antik untuk menambah koleksi di museum, dan pria itu memang berhasil.
“Siap untuk mengajar, Tuan Caldwell?” sapa Catherine Foster—dosen bahasa Spanyol cantik yang baru saja duduk di seberang mejaku, suaranya selembut beledu, jenis vokal minor yang memancing perhatian.
Aku spontan mengalihkan pandangan, menatap pengajar berambut pirang itu, mengamatinya sebentar dengan sorot mata menilai sebelum menyunggingkan senyum sekenanya. Jika aku bertemu dengan Catherine lebih awal, maka ceritanya bisa jadi akan berbeda. Dia menawan, magnet yang mudah menarik minat lawan jenis, seseorang yang sanggup meruntuhkan tembok pengendali milik pria-pria malang dalam sekejap.
Hanya pria-pria malang dan aku tidak termasuk salah satu di antaranya. Pesona Amanda masih melekat seperti efek morfin yang menimbulkan ekstasi padaku. Pengaruhnya menyebar di seluruh pembuluh darah, lantas mengisinya dengan sensasi paling memabukkan yang belum pernah kualami pada seorang wanita.
“Lebih dari siap. Aku dipenuhi kafein dan semangat yang berlipat ganda,” sahutku merendahkan nada, mengintip reaksinya melalui bibir cangkir yang lagi-lagi kuangkat untuk diminum, memperhatikan ekspresinya yang sama sekali tidak sulit dibaca.
Catherine kemudian menopang dagunya dengan satu tangan, pandangannya menjurus pada wajahku, satu tangannya yang bebas memainkan sebuah bolpoin. Mengetuknya secara berulang di atas buku catatan dan mengomentari ringan, “Aku suka antusiasmu, Tuan Caldwell. Dari mana kau mengumpulkannya?”
“Dari kepribadianku?” balasku sambil mengumbar tawa pendek.
“Pria yang percaya diri daya tariknya memang mengagumkan,” puji Catherine terus terang, kepalanya terteleng sedikit, dan dia membasahi bibirnya yang bervolume itu beberapa kali dengan ujung lidah.
Catherine sedang mengujiku, mengukur seberapa tangguh pengendalian diri yang kupunya, cangkang yang kupolesi dengan selongsong pelindung pertahanan emosi sejak dua tahun terakhir. Melatihku untuk selektif pada permainan-permainan liar yang sesekali masih kudambakan di penghujung hari. Sifat provokatif dan sembrono hanya akan melahirkan masalah nantinya, tetapi Amanda merupakan pengecualian yang berbeda.
Berapa banyak aku menyebut Amanda menarik? Berapa banyak aku menyebut dirinya luar biasa? Dia sangat—
“Cuacanya cukup cerah, bukan? Segelas sampanye dan pelarian diri di bar akan terdengar sempurna bagi orang-orang yang masih lajang,” sambungnya lagi, menaruh bolpoin miliknya ke dalam sebuah wadah yang dilapisi kain flanel, dan sabar menunggu respons dariku.
Mengapa pernyataan itu terdengar seperti undangan untuk berbuat dosa? Jika Amanda tidak sedang menggerayangi pikiranku sekarang, maka aku akan mengiyakan tawaran Catherine tanpa ragu. Namun, rasanya tidak adil bagiku untuk membagi perhatian pada dosen itu dan menghilangkan peluang untuk menghabiskan waktu yang lebih panjang bersama Amanda.
“Libur musim panas akan segera dimulai, Nona Foster. Waktunya berjemur di bawah matahari,” ucapku sambil menandaskan sisa kopiku yang terakhir, lantas pamit pergi menuju ke kelas yang menjadi tujuanku dipanggil kemari.
“Y él es muy guapo,” desis Catherine sebelum aku keluar dari sana dan mendengar suara cekikik merdu yang dilontarkannya menerbitkan senyum simpul di bibirku.
Aku berjalan menyusuri sejumlah lorong yang menghubungkan auditorium dan gedung-gedung lain di sekitar area. Berjuang memfokuskan perhatianku yang mulai mengabur oleh kenangan tentang Amanda. Aku mengalami seks yang hebat, hubungan yang lebih dari sebatas intim atau pergumulan fisik biasa, menyadari bahwa tubuh kami memang cocok untuk satu sama lain.
Sepenggal adegan liar yang mengacaukan konsentrasiku mendadak menyeruak ke permukaan. Aku mengembuskan napas kasar dan mengumpat, menyumpahi respons tubuhku yang begitu cepat membuat reaksi. Ada apa dengan diriku?
“Dasar payah!” makiku pada diri sendiri, memutuskan untuk terus melangkah menelusuri kawasan fakultas antropologi, membawaku tiba di salah satu ruang kelas yang terisi oleh para mahasiswa dan mahasiswi di bangku-bangku panjang yang disusun dengan formasi setengah melingkar.
Di sisi timur sudah dipenuhi mahasiswi berambut pirang yang tengah menggosipkan mahasiswa tampan dari fakultas teknik. Sebagian lain asyik mengobrol tentang mata kuliah yang akan mereka ambil semester selanjutnya. Sisanya lebih memilih untuk menguburkan perhatian mereka pada buku catatan dan mengabaikan situasi bising di sekeliling.
“Dosen baru?”
“Apa dia dosen pengganti?”
“Dang it! He’s hot as hell. He’s like a walking sex ad.”
Bisik-bisik tersebut datang dari gerombolan mahasiswi yang duduk di barisan depan. Aku mengerling ke arah mereka sebelum menempatkan buku absen di atas meja dan mendapati sesuatu yang sontak merampas semua atensiku pada waktu yang sama. Warna rambut merah tembaganya terlihat cemerlang di antara jejeran kilau gradasi pirang, seolah-olah dia seekor angsa yang tersesat dalam sekumpulan itik perundung.
Amanda.
“Selamat siang. Aku dosen pengganti kalian di sini. Mewakili Nyonya Spencer. Aku seniman, tetapi aku juga punya pengalaman mengajar tiga tahun lalu di Brooklyn.”
Amanda masih menyibukkan diri pada sesuatu yang dia tulis, sesekali memeriksa dua buah buku lain yang terselip di bawah tas selempang miliknya, belum menyadari kehadiranku. Aku kemudian melirik pada wajah cantik itu sekali lagi dan meneruskan, “Aku Logan Caldwell. Senang berkenalan dengan kalian.”
Bolpoin Amanda seketika berhenti bergerak menggoreskan huruf-huruf di sana. Kepalanya mendongak, membawa pandangan kami saling bertemu dalam detik-detik yang terasa begitu nostalgik, sepasang matanya serta-merta melebar mengisyaratkan keterkejutan yang menyergapnya. Apa aku juga harus meneriakkan rasa takjubku di hadapan mereka?
“Small world, huh?” gumamku sambil memamerkan seringai samar padanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Sugar Daddy
Romance[21+] (SUDAH TERBIT DI GOOGLE PLAY STORE) Logan Caldwell punya semua sifat yang Amanda Fletcher benci. Pria itu dingin, dominan, dan perfeksionis dalam setiap hal. Namun, antipati yang semula mengisi dada Amanda mendadak berubah menjadi rasa asing y...