10. Ditenggelamkan Masa Lalu

3.2K 76 0
                                    

POV Logan

Sulit dipercaya. Beberapa jam yang lalu, Amanda masih duduk manis dan bersikap seperti seorang mahasiswi introvert yang lebih suka mencatat kisi-kisi penting tentang mata kuliahnya daripada bergosip ria dengan teman-teman sebayanya. Namun, dia ada di sini sekarang.

Amanda duduk gelisah di depanku. Sepasang matanya yang menawan mengerjap-ngerjap, melirik kikuk ke sekitar seperti yang selalu dilakukannya sewaktu menghadapi suasana asing, sesuatu yang baru dan mengancam ruang aman dalam kepalanya. Aku tahu dia terusik pada ide sebagai model untuk potret lukisan, tetapi menurutku itu gagasan paling luar biasa dari semua rencana hebat yang sudah kusimpan rapat.

Kini kami tengah berada di loteng, ruang khusus yang sengaja kupakai untuk menumpahkan ide dan menciptakan karya, tidak peduli siang atau malam. Tidak peduli aku cukup tidur atau melewatkan jadwal makan. Pemandangan kota yang menjorok ke arah utara dari jendela geser itu tidak pernah gagal menawarkan kesan rileks yang membuatku betah untuk menghabiskan seluruh waktu berlama-lama di sini.

Aku yakin Amanda juga akan merasakan hal yang sama saat dia menemukan sebingkai diorama menakjubkan itu dari sudut pandangnya. Kota Philadelphia terlihat seperti miniatur oleh-oleh dalam pigura. Sempurna, langitnya disirami warna cerah, lambang awal musim panas yang akan membuat satu hari terasa jauh lebih lama dan panjang.

“Canggung?” tanyaku merobek keheningan yang mendekap erat punggung Amanda, mendongakkan pandanganku padanya sebentar, dan kembali mengeluarkan koleksi cat minyakku dari dalam tas satu per satu.

“Tidak,” kilahnya menutupi perasaan, menunduk menghindari kontak mata.

“Benarkah? Asal kau tahu saja, kita sudah jauh melampaui tahap canggung. Bibirmu manis. Aku belum lupa dengan itu. Rasa nikmatnya masih tertinggal di permukaan bibirku, meskipun malam telah lama berakhir.”

Amanda tercengang menatapku. Kedua pipinya bersemu seperti bocah enam tahun yang baru saja dilimpahi sederet pujian karena berhasil merapikan tempat tidurnya sendiri. Dia menggeser posisi duduk sambil menjilat bibir bawahnya dan membuatku bertanya-tanya apa yang ada di dalam pikirannya sekarang—merindukan ciuman kami kah? Atau mengharapkan remedial itu sekali lagi?

Sebelum Amanda sempat membalas komentarku yang penuh akan serangan seksual, aku mengerling padanya. Menata sejumlah kuas dengan hati-hati dan melanjutkan, “Bagaimana rasanya memanggilku dengan sebutan profesor? Aku tahu kau syok dan aku pun mengakui bahwa aku sama terkejutnya denganmu. Aku tidak menyangka kita akan terlibat sebagai peran yang berbeda di kampus.”

Aku menaruh palet baru yang kubeli tiga hari lalu. Meletakannya di antara pensil-pensil dengan jenis dan ragam ketebalan masing-masing. Memperhatikan rambut Amanda yang digelung sejenak, lantas menyunggingkan senyum samar yang kuragukan akan mampu dilihat olehnya.

“Biasa saja. Hidup memang dipenuhi sesuatu yang tidak terduga, bukan? Maksudku, kau bukan musuh. Hubungan kita seperti simbiosis yang saling menguntungkan. Agak ajaib, tetapi tidak akan ada yang salah selama kita berperilaku sewajarnya di kelas dan kau berhenti melempari secarik kertas yang berisi kalimat mesum tersebut padaku. Itu bukan tindakan yang bijaksana,” sahut Amanda yang kepercayaan dirinya mulai tampak melalui nada bicaranya yang mantap.

“Kau membahas mengenai kebijaksanaan pada pria berumur sepertiku?” balasku dengan sorot mata geli.

“Well, kau pasti pernah mendengar bahwa kedewasaan seseorang tidak ditentukan dari segi usia.”

Amanda sepuluh detik lalu yang masih belum menyesuaikan diri hilang dan berganti menjadi sosok Amanda yang kini jauh lebih berani. Garis wajahnya yang lembut justru mengisyaratkan sisi tegas yang kupikir tidak pernah dia punya sebelumnya. Sepasang irisnya yang pucat meneriakkan yel-yel emosional.

“Yeah, dan kau sembilan belas.”

“Dan ada apa dengan sembilan belas? Aku merasa satu tingkat lebih matang dari Andrew dalam menyikapi sesuatu. Bukti bahwa umur yang muda yang identik dengan masa labil atau lekat dengan citra pembuat onar tidak berlaku pada kasusku.”

“Kau akan membuatku tertawa, Amanda.”

Amanda menyilangkan salah satu tungkainya, memandangiku dengan kedua alis yang terangkat ke atas, bulu halus itu melengkung berporos pada satu sisi seperti bulan sabit di fase akhir. Untuk sesaat yang terasa memikat, aku terpukau sekaligus terperangkap dalam pesonanya, dalam ekspresinya yang terluka atas perkataanku. Dia mengerucutkan bibir dan melipat kedua tangannya di dada.

“Aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu, tetapi kau dan Andrew bukan satu-satunya patokan. Apa kau sadar bahwa usia kita terpaut dua puluh tahun dan dipisahkan oleh jurang pengalaman hidup yang begitu rumit?”

Amanda melunakkan tatapan tajamnya. Dia mengangkat bahu dan mengembuskan napas letih, seolah-olah mengobrol denganku sudah menyedot habis semua energinya. “Aku memahami matematika dasar, cara menghitung perbedaan antara pria tiga puluh sembilan tahun dan wanita sembilan belas tahun yang—um, memang cukup jauh. Aku juga mengerti kau telah kenyang oleh pahit manis hidup.”

“Omong-omong tentang perbedaan, mengapa aku tidak melihatmu membaur dengan yang lainnya di kelas tadi?” korekku pada Amanda, meletakkan kanvas yang sudah kutempel di atas kayu bentang, mendirikannya persis di hadapanku.

“Aku tidak punya teman akrab.”

Suara Amanda pelan, sarat dengan getir yang sengaja disembunyikan pada gaya duduknya, setengah bersandar sambil memeluk diri sendiri seperti sedang mencari perlindungan untuk membentenginya dari dunia luar. Aku belum pernah merasa tertarik pada orang-orang dengan kepribadian yang jauh berbeda dariku sebelumnya. Apa menyebut Amanda merupakan satu-satunya sekaligus yang pertama akan mengubah persepsiku terhadap wanita selain Brielle yang selalu percaya diri dan tampil modis di segala kegiatan?

Amanda menurunkan tungkainya, kemudian mendesah ragu. Menatapku dengan pandangan menilai dan meneruskan, “Aku tidak pintar bersosialisasi. Kepercayaan diriku rendah. Saking rendahnya, kau mungkin nyaris tidak bisa menemukannya dari caraku berbicara atau caraku menanggapi sesuatu. Aku memang sering mengambil keputusan sendiri sejak ayahku meninggal dan ibuku tidak lagi peduli pada kami, tetapi itu tetap tidak mampu mendongkrak rasa optimisku.”

“Hal baiknya adalah aku terlatih untuk mandiri. Jauh lebih tangguh dari Andrew sendiri,” akunya lagi, postur punggungnya lebih santai dengan kedua kaki jenjangnya yang diluruskan.

“Di mana ibumu sekarang?”

Sudut bibir Amanda membentuk seringai sinis yang belum pernah dipertontonkannya padaku, lantas menerawang ke luar jendela. “Di suatu tempat yang megah di Detroit. Menjadi nyonya dari rumah besar milik seorang pria yang berumur enam puluh empat tahun. Ibuku sang pemuja cinta atau setidaknya, begitu yang kudengar dari Andrew.”

Dari sini, wajah Amanda terlihat begitu rapuh ditenggelamkan masa lalu. Aku seketika menangkap gelombang kesedihan yang terpatri dalam sorot mata muramnya, tetapi juga melihat keindahan yang terselubung di balik posenya sewaktu gradasi sore membuat tubuh ramping itu membeku seperti siluet. Diam-diam, aku mulai menggoreskan sketsa Amanda pada kanvas kosong dan akan memajangnya di samping ranjangku nanti.

***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang