9. Fantasi Liar

4.3K 87 2
                                    

POV Amanda

Setelah aku mendengar dosen pengganti itu memperkenalkan diri dengan nama yang familier, aku seketika mendongakkan kepala. Menemukan sosok yang sama sekali tidak asing di sana. Pria itu menyeringai padaku, memamerkan sederet giginya yang rapi, sorot matanya tertuju ke arah Suzanne Stanwyck—atau aku?

Aku lebih suka mempercayai asumsi yang pertama. Logan sedang menatap Suzanne—mahasiswi dari fakultas bisnis dan manajemen—yang duduk sambil menopangkan dua tangannya ke dagu di depanku, bukan aku. Namun, aku langsung menyangsikan pemikiran itu selepas Logan menaikkan satu alisnya sebagai isyarat menyapa.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berharap aku punya keahlian sihir dan mampu memindahkan diriku ke dimensi lain dalam sekejap. Bersembunyi di gudang penyimpanan alat-alat kebersihan kampus atau menyurukkan kepalaku di seember penuh es batu. Mendinginkan rasa gelisah yang berubah menjadi kobaran panas pada wajahku.

“Sebelum kelas tambahan ini dimulai, aku ingin kalian memperkenalkan diri. Kita masih punya banyak waktu,” kata Logan sambil mengangkat pergelangan tangan kirinya untuk melihat arloji yang melingkar di sana dan mengumbar senyumnya lagi pada kami—maksudku, aku.

Jenny West—mahasiswi cantik yang duduk di samping Suzanne—mengacungkan jarinya lebih dahulu. Aku melihat punggungnya gemetar dilapisi oleh antusiasme yang kelewat besar dan menonton ujung rambutnya yang pirang seperti disepuh perak itu bergoyang lembut. Teksturnya yang lurus menyapu pakaian bermerek yang tengah dia kenakan, sinar matahari yang menerobos masuk melalui lubang angin memantulkan kilau licinnya, menegaskan kesan bahwa rambut itu selalu dirawat dengan produk-produk mahal di salon.

“Saya Jenny West, Profesor Caldwell.”

Suara Jenny yang sengaja direndahkan, tetapi serak itu spontan membuat hidungku mengernyit. Mengapa aku seperti mendengar sebuah rayuan untuk menjerat seseorang di bar dan bukannya sebuah diplomasi perkenalan antar dosen-mahasiswi? Aku mengabaikan aksen Amerika Jenny yang sempurna, memikirkan seberapa besar masalah yang lagi-lagi menghadang, menunggu untuk merobohkan suasana hatiku.

“Nona West,” gumam pria itu mengangguk dan meneruskan, “Bagaimana denganmu? Seseorang yang duduk tenang di belakang situ?”

Logan mengerling padaku. Itu membuat bolpoin yang kupegang mendadak terasa licin karena keringat di kedua telapak tangan, lantas menjatuhkannya tanpa sengaja. Menimbulkan bunyi debam pelan yang hanya aku sendiri yang mampu mendengarnya ke atas sampul buku catatan.

Mengapa Logan melakukannya? Untuk apa dia memanggilku? Untuk mengujiku? Untuk meruntuhkan topeng sandiwara yang sudah kupasang rapat agar orang-orang tidak mencium skandal yang coba kututupi dari mereka? Atau apa?

Hubungan romantis antara dosen-mahasiswi memang bukan sesuatu yang tabu di era sekarang. Tidak, sama sekali bukan romantis. Bukan begitu definisi yang tepat untuk menggambarkan kami sebab yang terjadi padaku dan Logan hanya murni didasari oleh ketertarikan fisik.

Seks yang hebat. Seks yang luar biasa. Keintiman yang belum pernah kucicipi sebelumnya, sebelum Logan mengajarkanku lebih banyak dari yang pernah kubayangkan, sebelum dia menanamkan sejumlah fantasi liar tentang age gap itu di dalam kepalaku.

“Siapa namamu, Nona—eh...”

“Um, saya Amanda, Profesor Caldwell. Amanda Fletcher,” balasku memantapkan nada, menyingkirkan rasa gugup itu dari balik tenggorokan dengan cara berdeham-deham.

Profesor Caldwell.

Aku tidak tahu harus menertawakan kepura-puraan konyol kami yang saling bersikap aku-tidak-mengenalmu-kau-juga-tidak-mengenalku di hadapan yang lain atau karena aku baru saja mengenang sisa adegan tadi malam. Samar, tetapi aku ingat aku mendesahkan namanya berulang kali. Hanya nama depannya, Logan, bukan dengan nama belakangnya atau embel-embel gelar profesornya itu.

Profesor Caldwell. Mengapa itu terdengar sangat formal dan asing persis seperti nuansa percakapan pertama kali kami di restoran Prancis sore kemarin? Ke mana keakraban yang terjalin sewaktu Logan melebarkan kedua pahaku, memintaku menerima dirinya yang bengkak, jantan, dan siap itu, dan—oh, sial kau, Amanda!

Kontrol dirimu, geram suara dalam kepalaku mengingatkan. Aku menarik napas kasar, mengembuskannya seperti seekor banteng di olahraga rodeo, melirik ke sekitar sebelum kembali membenamkan perhatianku pada buku catatan. Menghindari tatapan Logan yang tajam, seolah-olah berniat untuk menelanjangi.

“Amanda Fletcher,” ulangnya parau dan aku bergidik.

“Saya suka logat British Anda, Profesor Caldwell. Apa Anda keturunan Skotlandia?” tanya Jenny yang berusaha memancing percakapan lain, warna suaranya masih sama, menjebak dan menggoda.

Logan mengusap rahangnya, kemudian mengangguk mengiyakan. “Tebakanmu tepat, Nona West.” 

“Keluarga ibuku juga dari Skotlandia,” lanjutnya lagi, memamerkan senyum manis yang dibuat-buat.

Logan kembali mengangguk tanpa minat dan meneruskan perkenalan pada yang lain. Dia membuka kelas dengan obrolan santai seputar seni, menanggapi celetukan remeh dari Jenny dan Suzanne sesekali, berjalan mengitari mejaku lebih lama dari yang seharusnya. Tidakkah pria itu sadar bahwa yang dilakukannya justru membuatku resah?

“Well, prospek kariernya luas. Untuk bekerja di bidang seni dan desain kreatif, kalian perlu membiasakan diri untuk berpikir out of the box. Mampu menghadapi tekanan karena kalian juga akan berhadapan dengan tenggat waktu.”

Logan lagi-lagi mengelilingi area mejaku, memandangiku lewat bulu matanya yang hitam dan tebal, mencoba memerangkap jiwaku yang labil. Aroma kolonyenya tertiup diterbangkan angin, meninggalkan kesan tangguh, maskulinitas yang mustahil terbantahkan. Dia adalah kombinasi bau kayu, pinus, dan pesona musim gugur.

“Kalian dituntut untuk imajinatif dan memperhatikan detail-detail kecil,” sambung Logan yang menelusuri dadaku dari balik kemeja motif kotak-kotak oversize milikku dengan sorot matanya.

Gelombang kepanikan yang sangat akrab mulai menelanku saat Logan bergerak jauh lebih dekat di samping. Masih mengoceh mengenai prospek jangka panjang sambil mengedarkan pandang pada Josh O’Neal dan Mark Smith yang kelihatannya begitu tertarik dengan profesi sebagai seniman. Menjauhlah sedikit, harapku. 

Dua jam berlalu dengan situasi yang begitu mendebarkan. Rasanya seperti duduk di dalam wahana yang sanggup mengguncang seluruh isi perutmu dan kau akan memuntahkannya di bak sampah seusai turun. Saat kelas kemudian berakhir dan Logan berbalik ke mejanya, dia menjatuhkan selembar kertas yang digulung asal di atas buku catatan, memberi kerlingan singkat yang sukses menjungkirbalikkan duniaku.

Aku sontak berpaling membuang muka, mengalihkan pandangan ke jendela yang menampilkan sebagian langit tanpa awan, cerah, menandakan hari yang panjang akan segera datang. Mengelap keringat dari kedua telapak tanganku di celana jeans belelku secara diam-diam. Meraup kertas lusuh itu dengan cepat dan membacanya di bawah meja.

PUKUL EMPAT SORE, Amanda. Katakan pada Daddy, apa kau tertarik pada busana pelayan dan layanan seks tambahan dengan krim kocok atau saus stroberi?

*Kau benar, satu malam memang tidak akan pernah cukup untukku.

***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang