14. Cinderella dan Kereta Kuda

4.5K 74 0
                                    

POV Logan

Aku kemudian meminta Amanda berbaring, memberinya kesempatan untuk mengambil napas panjang, membiarkan dia merasakan jemariku membelai kulit lehernya dengan lembut. Melindungi, membuatnya nyaman, bukan lagi mendominasi dan meninggalkan bekas telapak tangan di bokong kecilnya yang seksi itu.

Jari tengahku turun menelusuri payudara Amanda sekarang. Menciptakan gerakan memutar pelan, sengaja memperlambat ritme, menggoda puncak yang seketika menegang kala aku menyentuhnya. Kesiap Amanda spontan mengudara sewaktu ibu jariku juga berperan aktif, memilin, dan menawarkan kenikmatan yang sudah tubuhnya kenali sejak seks pertama kami dimulai.

“Kau menyukainya, Amanda?”

“Sangat.”

“Aku tidak pernah menginginkan wanita seperti aku menginginkanmu,” bisikku di tengah-tengah punggungnya yang membusur.

Amanda tidak menanggapi atau dia memang tidak sedang dalam fase menyimak karena sesuatu yang kubuat pada tubuhnya. Aku mengalihkan perhatiannya melalui kecupan ringan di sepanjang perut dan pangkal pahanya yang lembap. Mendengarkan permohonan mendesak yang terucap di sisa penjelajahan.

“Kau juga menginginkanku?”

Amanda mengerang dan  menggigit bibirnya lebih keras. Aku melihat perubahan warna di permukaan bibirnya. Dia mengangguk mantap padaku dengan sepasang mata yang berkilat penuh harap, mendamba, merindukan sesuatu yang akan melengkapi dirinya.

“Rileks, Amanda. Kita akan melakukannya tahap demi tahap. Sore masih panjang.” Nadaku serak, seolah-olah aku baru saja menenggak sebotol wiski dingin tanpa air putih dan membuat tenggorokanku meradang olehnya.

“Apa kau ingin memegang kendali? Kau boleh ada di atas,” tawarku mengerling padanya.

“Di—di apa?” Sepasang iris abu-abu itu membelalak, lantas mengerjap-ngerjap kebingungan.

“Kemarilah, naik ke atas sini.” Aku berguling ke samping menyisakan ruang untuk Amanda, berbaring telentang, dan menyandarkan punggungku ke kepala ranjang.

Amanda memandangku sekilas. Ekspresi itu menyiratkan antusias sekaligus takut. Reaksi yang dialami oleh seseorang yang tidak punya pengalaman pada hal-hal yang belum diketahui sebelumnya dan itu membuatku terkesan atas momen yang berkaitan dengan selalu menjadi yang ‘pertama’ baginya.

“Kemarilah, Amanda.” Suaraku tidak stabil, kontrolku hilang dari genggaman, dan aku menyadari betapa kacaunya diriku yang tidak lagi sanggup menahan diri.

Amanda menyaksikan bukti hasratku yang merespons pada setiap keindahan yang ada di tubuhnya, pada feminitasnya yang anggun, pada pesonanya yang sukses menjerat pria berprinsip sepertiku. Kagum akan perasaan baru yang mengendap di hatiku, aku kemudian membiarkannya tumbuh untuk sementara di sana. Hanya satu kali lagi dan semuanya akan usai.

Titik.

Selesai.

Tamat pada akhir epilog. Tamat di sesuatu yang bahkan belum kami mulai. Aku dan Amanda akan kembali menjadi orang asing sebab tujuanku hanya melampiaskan ego sesaat untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama wanita itu dari yang seharusnya.

Taktik menggertakku lewat utang dua puluh ribu dolar itu memang berhasil. Namun, menjalin hubungan jangka panjang dengan Amanda yang usianya bahkan belum genap dua puluh tahun sama sekali bukan ide bagus. Dia rentan, masa depannya masih jauh membentang di hadapannya untuk dilalui, dan belum siap untuk komitmen yang serius.

Apa yang kuharapkan dari skenario cinta satu malam? Tidak peduli bahwa Amanda punya sindrom daya tarik yang akan memancingku untuk terikat lagi dan lagi atau dia punya kepribadian yang mengundang seperti ekosistem seekor lebah pekerja pada sekuntum bunga popi. Faktanya adalah hubungan kami memang tidak akan pernah berkelanjutan.

Amanda mendadak mendekat, membersihkan pikiranku dari sejumlah rencana yang sudah terancang sempurna, membuat perhatianku terpusat pada rasa kebas yang merayap di sekitar tulang panggul. Aku menggertakkan gigi. Mencegah mekanisme pertahanan diriku yang telah terlatih lenyap begitu saja oleh gairah yang kelewat menggebu-gebu.

Amanda memimpin dalam sekejap. Kami saling menangkupkan kedua telapak tangan masing-masing, menautkan jemari, merasakan kelekatan yang terjadi. Penyatuan kami terasa luar biasa, didasari insting untuk saling mencari dan menemukan, diselimuti libido yang sontak meluas ke sekujur tubuhku.

Darahku berdesir hebat selepas Amanda mulai menggerakkan pinggulnya. Ritmis, teratur, menyebarkan rasa nikmat itu di area yang tepat. Dari posisi ini, aku bisa mengamati setiap lekuk dirinya secara keseluruhan.

Aku menonton leher Amanda menggeliat, menjenjang ke atas bersama kepalanya yang terdongak ke belakang, dan menjatuhkan ujung rambutnya ke punggung. Memperhatikan rahangnya mengetat, melihat dadanya mengembang oleh tarikan napas yang begitu cepat, merekam semua adegan spektakuler kami dalam ingatan. Melupakan hal-hal yang ada di sekelilingku.

“Aku akan—kumohon, Daddy.” Amanda menggumam, sementara gerakannya berubah terampil.

“Bersama, Amanda.”

Permainan kami mencapai garis finis. Punggung Amanda mengejang, bibirnya terbuka menangkap lebih banyak oksigen, dan aku menggeram di babak pelepasan kami yang maha dahsyat. Rasanya emosional, menyenangkan, penuh sensasi baru yang melapisiku dengan janji-janji mimpi indah.

Setelah mengosongkan diriku melalui percintaan kami tadi, aku bergegas menyimpan lukisan itu ke dalam kamar. Saat aku kembali ke loteng, Amanda sudah merapikan diri dan bersandar memandangi panorama dari pinggir jendela. Senja terlihat menyapu langit dengan warna oranye di kejauhan, menyuguhkan penutup untuk pergantian hari, membawa bulan datang dari balik jubah kegelapan.

“Makan malam? Aku akan meminta Nyonya Vazquez untuk menyiapkannya.”

Amanda langsung menoleh padaku dengan senyum tipis. “Itu terdengar menggiurkan, tetapi tidak untuk sekarang. Terima kasih banyak atas kemurahan hatimu. Aku harus pergi.”

“Begitu saja?”

“Begitu saja,” tegasnya tanpa mengalihkan pandangan. “Kesepakatan keduanya selesai, bukan? Aku sudah melunasi separuhnya sebagai model telanjang pribadimu. Hanya tinggal beberapa ribu dolar lagi.”

Aku mendeteksi sebuah tekad baru dari suaranya yang tenang, tetapi penuh dengan isyarat mematikan seperti sengat bisa pada ekor kalajengking. Matanya masih menatap wajahku, sedangkan kedua tangannya terlipat di dada. “Tenang saja, Profesor Caldwell. Aku akan membayar sisanya bulan depan. Aku tidak akan kabur atau melarikan diri. Lagi pula, kita sama-sama tahu bahwa mengorek informasi tentang tempat tinggal seseorang sepertiku pasti bukan tugas yang sulit untukmu.”

“Kepercayaan diri yang mengagumkan.”

“Terima kasih,” desah Amanda sambil mengangkat bahu, tidak memedulikan komentar bernada sinisku, dan mencangklongkan tas selempangnya bersiap untuk pulang.

“Ada apa, Cinderella? Apa sudah lewat dari jam dua belas tengah malam?” sindirku pura-pura mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.

Amanda mengenakan sepatu datarnya dengan terburu-buru, lantas mengepaskan kedua kakinya sebelum melangkah. “Ada pekerjaan yang harus kulakukan.”

“Apa kau mengkhawatirkan kereta kudamu yang akan berubah menjadi buah labu dan saismu yang akan kembali menjadi seekor kadal? Mengapa kau tidak meminta pada Fairy Godmother itu untuk memberi kita sedikit tambahan waktu?”

Sorot mata Amanda kemudian menggelap menatapku. Dia mendekat dengan konstan, tidak diliputi kecemasan atau kegugupan yang biasa melanda dirinya, sikapnya justru tampak solid dan dingin. “Sudah berakhir, Pangeran Logan. Waktunya mengucapkan selamat tinggal pada sihir dan segala keajaiban yang menyertainya.”

***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang