11. "Kau eksklusif untukku."

3.2K 78 1
                                    

POV Amanda

“Bisakah kau mempertahankan posisimu sampai kira-kira lima menit ke depan, Amanda? Kau terlihat sempurna dalam pose itu,” kata Logan yang langsung mengoyak lamunan panjangku tentang ibu dan Andrew.

“A-apa?”

Logan masih meneruskan kegiatan, roman wajahnya serius, dan jemarinya mencoretkan sesuatu di atas kanvas. Sesekali menghapus garis yang kurang pas, sesekali melirikku dengan sorot mata yang menyiratkan integritas penuh. Dia mengerjakan dengan tenang, tetapi kedua tangannya tetap bergerak cekatan menciptakan karya.

“Tetap di tempat,” bisiknya lagi, kembali memandangiku sambil menggoreskan sesuatu di sana.

“Kau... kau menggambarku?”

“Kau cantik,” puji pria itu sebelum terkekeh, lantas mengerling padaku lagi dan melanjutkan coretannya.

“Itu bukan jawaban yang kubayangkan, tetapi merci atas pujiannya.”

Satu alis Logan menukik ke atas. Menelengkan kepala, menatapku sekilas sebelum mengganti pensilnya dengan kuas yang lebih kecil, dan kembali berkutat pada sketsa itu. “Kau menguasai bahasa Prancis?”

“Sedikit. Hanya beberapa kosakata yang umum. Nenekku orang Alsace.”

“Aku juga punya teman dari daerah Strasbourg. Mereka punya aksen yang khas.”

“Benar. Nenekku juga,” sahutku terkenang pada wajah ramah nenekku yang suka memanggang tarte l’oignon—kue pai yang dibuat dari bacon dan kustar untukku.

“Merindukannya?”

Aku menoleh tanpa mengubah postur tubuhku, kemudian mengangguk mengiyakan. “Sangat.”

“Di mana dia?”

“Di tempat yang lebih baik sejak—um, delapan tahun lalu,” balasku sambil coba mengingat berapa lama nenekku telah meninggal karena gagal jantung.

“Maafkan aku, Amanda. Aku tidak bermaksud untuk menyinggung kehilanganmu,” sesal Logan yang menghentikan gerakan jemarinya untuk melihat wajahku.

“Tidak apa-apa. Bagaimana denganmu? Aku sudah membuka sebagian rahasiaku padamu. Bukankah tidak adil untuk menyimpannya sendiri?”

“Jadi, kau menganggap kisah hidupmu sebagai rahasia?”

“Tidak ada yang menarik dari keluarga imigran seperti kami, Logan.”

“Setiap orang punya sisi menarik untuk dikupas,” bantah pria itu tidak setuju.

“Dan aku ingin tahu semenarik apa dirimu.”

Logan menyunggingkan senyum tipis yang lebih mirip dengan seringai sinis itu di bibirnya, memoles sekali lagi, dan memilih jenis kuas yang lain. “Aku lahir dari keluarga yang masih memegang erat tradisi, tetapi orang tuaku meninggal dengan ironi. Ayahku meregang nyawa di atas ranjangnya yang nyaman. Dia bunuh diri.”

Aku menelan kesiapku sebelum Logan lagi-lagi membuka cerita tentang keluarganya, “Dia menenggak tiga puluh butir obat tidur. Memilih cara paling aman untuk pergi tanpa rasa sakit. Usiaku baru dua belas tahun waktu itu. Ibuku menyusul dua bulan berikutnya. Dia menjadi korban tabrak lari dari sejumlah turis Asia. Mereka mengemudi dalam keadaan mabuk, menyetir dengan kecepatan tinggi, dan menggilas ibuku yang malang.”

Logan meniup lembut ke permukaan kanvas, lantas melebarkan senyum puasnya padaku. “Aku anak tunggal. Menikah di umur dua puluh satu, menghentikan petualangan liarku cukup cepat dari yang pernah kurencanakan. Brielle—dia... dia orang yang tepat bagiku. Dia luar biasa.”

Aku menangkap kesedihan dalam warna suara Logan yang mendadak merendah, seolah-olah sedang memendam kepahitan yang masih menggerogoti pikirannya. Jadi, nama istrinya adalah Brielle. Apa dia juga orang Skotlandia?

“Apa yang terjadi pada... Brielle?” tanyaku dengan nada ragu.

Logan seketika menghela napas berat dan meniup permukaan kanvas lagi sebelum merespons pertanyaanku. Aku kemudian buru-buru menambahkan, “Kita tidak perlu membahasnya—”

“Brielle meninggal dalam tragedi kecelakaan pesawat terbang.”

“Aku turut menyesal mendengarnya, Logan. Kau banyak melalui tahun-tahun yang menyedihkan. Kau pasti sering merasa kesepian.”

“Aku lebih suka menggunakan kata ‘sendiri’. Lagi pula, kau ada di sini sekarang.”

Lengan kiriku tiba-tiba terasa kaku. Aku menggerakkannya pelan, masih berusaha mempertahankan posisi yang Logan minta. Logan yang menyadari itu pun mengizinkanku untuk bergerak bebas lagi dan segera melepaskan kanvasnya dari tiang penyangga.

“Sudah jadi. Ini khusus,” komentarnya sambil memandangi hasil potret diriku di situ.

“Khusus?”

“Eksklusif untukku. Akan kupajang di kamar.”

“Ka-kau apa?”

Logan memutar bola mata dan kembali menjuruskan seluruh perhatiannya pada gambar itu. “Memajangnya, Amanda.”

“Aku merasa seperti objek istimewa,” gumamku asal, lantas berjalan mendekati Logan untuk melihat hasilnya.

“Uh-huh. Kau memang istimewa,” desis Logan tanpa mengalihkan tatapan memujanya dari pekerjaan itu.

Langkahku sontak terhenti. Aku berjuang menghalau segenap asumsi yang akan melambungkan tinggi diriku, mencegah hatiku dihempaskan ke bawah, ditinggalkan untuk hancur berkeping-keping selepas menyadari bahwa sanjungan itu ternyata tidak lebih dari sebuah rasa terima kasih sebagai objek modelnya. Apa yang kupikirkan?

Aku kemudian memutuskan untuk tidak melihatnya. Membiarkan karya eksklusif itu dinikmati hanya oleh Logan sendiri dan kembali berbalik menduduki sofa lipat sambil memandangi bentangan kaki langit lewat jendela geser di seberang kami. Teringat pada kewajibanku untuk bekerja lebih keras dari biasanya agar bisa melunasi dua puluh ribu dolar pada Logan.

Mungkin aku harus menerima saran Carissa, pikirku. Yang dibutuhkan hanya menyusun botol-botol minuman ke atas nampan, mengantarkannya pada para pelanggan, dan menyodorkan kertas tagihan untuk mereka di akhir sesi. Itu tidak sulit, tetapi membayangkan aku akan berada di tengah-tengah kerumunan pria-pria mabuk bermulut kotor yang tangannya lancang justru membuat nyaliku ciut sebelum mencoba.

“Mereka sangat royal. Aku selalu mengumpulkan uang tip yang besar dalam waktu satu malam. Aku memakainya untuk bersenang-senang, pindah dari flat kumuh ke apartemen yang jauh lebih besar dan layak, membeli tas edisi terbaru, membeli apa pun yang kusuka. Tidakkah kau merasa iri padaku?”

Suara Carissa muncul seperti kaset audio dalam kepalaku, membuatku berniat untuk mempertimbangkannya sekali lagi dari belasan kali melakukannya di sepanjang siang ini, Andrew toh juga tidak akan peduli pada perjuanganku. Dia lebih suka menghabiskan waktu di luar, pulang pagi hari, tidur hingga senja turun di perbatasan cakrawala. Kadang-kadang membawa teman-temannya untuk mengotori rumah dengan sampah abu rokok di tiap sudutnya.

“Pemandangannya tampak spektakuler dari sini, bukan?”

“Rasanya seperti tengah mengamati separuh kota yang baru saja dilukis dengan kuas ajaibmu.”

Kini aku memperhatikan Logan yang meletakkan lukisan itu dengan hati-hati di atas tiang penyangga, menghadapkannya ke arah dinding, menciptakan kesan misterius yang disengaja. Dia mengambil sehelai kanvas baru yang bahannya berbeda dari dalam lemari dan memasangkannya di spanram. Menyiapkan cat minyak tambahan sebelum akhirnya menelengkan kepala padaku.

“Ada apa?”

“Buka bajumu, Amanda. Kita akan mulai sekarang.”

***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang