5. "Kau basah dan siap untukku."

13K 152 1
                                    

POV Amanda

“Seberapa jauh kau mempercayai orang asing?” bisik Logan yang menyugar sebagian rambut depanku dengan jemari, merapikannya dari pandangan agar kami punya kesempatan untuk saling menatap lebih dekat, dan mendominasiku melalui sikapnya.

Detik berikutnya, Logan mengangkat pinggangku dan membawa kami menuju ke sebuah kursi malas yang terbuat dari kayu ek model kuno itu dengan langkah memburu. Menurunkan tubuhku dari pangkuan, lantas menyentak celana pendekku ke bawah tanpa repot-repot membuka ritsletingnya. Pria itu melakukannya dengan mudah, seolah-olah usia yang matang telah mengajarinya begitu banyak pengalaman untuk menaklukkan berbagai versi pakaian wanita.

Setengah telanjang dan gemetar di bawah sorot mata Logan yang memindai wajahku, aku mengerjap-ngerjap, menyeret sisa kewarasan yang masih kupunya. Perutku mendadak terpilin oleh sensasi kebas yang menetap di sepasang tungkaiku. Sesuatu yang sukses menghancurkan ketenangan terakhir yang kubangun dengan susah payah.

“Tunggu sebentar,” kata Logan yang kemudian beranjak pergi ke sebuah pintu lain yang terhubung ke sebuah ruang khusus untuk menyimpan koleksi anggur miliknya.

Logan kembali dengan sebotol red wine berlabel bahasa Prancis. Memamerkan minuman beralkohol itu dengan seringai bangga, menempatkannya di atas nakas sebelum membimbingku mendekat, mengajakku berdiri di depan salah satu cermin yang paling besar. Menangkap pantulan diriku yang tampak kacau di sana.

Aku hanya mengenakan celana dalam—dari bahan katun yang tipis dengan renda—dan blus yang kusut karena pemberontakan. Postur Logan yang tinggi menjulang, membayangiku di belakang, merebut semua perhatianku pada refleksi kami di dalam kaca. Aku benci mengakuinya, tetapi mengapa aku dan Logan justru terlihat serasi?

Logan membuka kancing blusku satu per satu, meloloskan bajuku dengan gerakan terlatih, menanggalkan pengait bra dan membiarkan tubuhku terekspos sepenuhnya. Kesiapku sontak mengudara bersama embusan napas Logan yang menggelincir di sepanjang bahuku. Gairah datang mengetuk dan menguji kendali diriku yang nyaris lenyap melalui singgungan kami.

“Lihatlah ke dalam cermin, Amanda. Kau sangat cantik,” desis pria itu dengan suara parau, melayangkan satu kecupan ringan di daun telinga kiriku sebelum beralih untuk meraih botol anggur. 

Logan membuka penutup botol. Mengarahkan mulut botol ke leherku, menuangkan isinya, dan mengaliri dadaku dengan minuman fermentasi itu sampai ke batas pinggul. Aku tidak lagi terkesiap untuk mewakili keterkejutan, tetapi menganggapnya seperti karya erotika yang seksi.

Aku mencoba rileks, mengendurkan saraf-saraf yang kejang oleh antisipasi, merasakan setiap kucuran yang membasahi tubuhku dengan penerimaan. Setelah Logan berhenti melakukannya, dia membungkuk di hadapanku, dan menjilati jejak wine yang melapisi kulitku dengan lidahnya. Rasanya seperti disengat arus listrik dalam komponen voltase yang efeknya lebih dari cukup untuk membuatku memekik kaget.

Lidah Logan mengenali setiap lekuk diriku yang menantangnya untuk dinikmati dan mengeksplorasi setiap jengkalnya dengan hati-hati. Aku menggigit bibir, mematri sensasinya di ingatan, mendesahkan nama pria itu di sela-sela penelusuran. Mengintip sesekali pada segmen intimasi kami ke balik kaca.

Logikaku tidak lagi mampu bekerja dengan benar sekarang. Gelenyar aneh yang semula menyelimuti punggungku spontan berpindah ke sekujur tubuh selepas Logan menciumiku dengan cara sensual yang belum pernah kutahu sebelumnya. Rasanya seperti akan meledak dalam euforia yang kemudian menjelma sebagai keputusasaan panjang di antara kedua pahaku.

Logan menciptakan gemuruh luar biasa di dadaku, meninggalkan persepsi nikmat itu di sejumlah tempat yang tepat, dan membuatku mengharapkan penjelajahan yang lebih dari sekadar kecupan. Sentuhannya terasa lembut, posesif, menuntut penyerahan. Bukan lagi intimidasi yang menekan.

Aku menyelinapkan jari-jariku di leher Logan, mencari penopang untuk meredam getaran kecil yang mengikis akal sehatku, dan memperhatikan alarm libido yang baru saja menyala di antara kami. Logan langsung berlutut, menurunkan lidahnya ke titik yang akurat, menghamburkan kesan menyenangkan yang melebihi seluruh pengalaman dalam hidupku. Aksi yang menyuntikku dengan energi asing.

“Rasa anggur ini menjadi lima kali lipat lebih baik saat aku mencicipinya di tubuhmu, Amanda.”

Aku menggigil sambil memejamkan mata, lantas mencengkeram pelan rambut Logan. Mengukuhkan segenap esensi untuk merekam setiap tahapnya. Lebur seperti salju yang meleleh dalam kobaran lidah api dan takluk pada kenikmatan yang kurengkuh, membiarkan semua pengendalian diriku hilang sepenuhnya.

“Open your eyes slowly and look at yourself,” pinta Logan dengan nada serak.

Aku menurut, membuka mataku kembali, menyaksikan pemandangan sempurna pada cermin. Menemukan diriku yang terdesak oleh dorongan gairah di dalam sana. Berdiri goyah dengan sosok Logan yang masih bersimpuh menebarkan sisi provokatifnya di antara kedua lututku, tangguh, dan menyiratkan maskulinitas yang jantan.

“Can you see how desperate and needy you look?”

Aku mengangguk. Tersentak oleh keberanian yang muncul pada potret diriku yang belum pernah ada sebelum mengenal Logan di situ. Aku kemudian menunduk, balas memandang ke balik gelora yang timbul di sepasang iris kelamnya. Mengharapkan disentuh sekali lagi seperti tadi, dicium tanpa menyisakan peluang untuk menyudahi adegan kami.

“Tidakkah kau merasa takut padaku, Amanda?”

Mengapa aku tidak lagi merasakan sesuatu yang semestinya? Sesuatu yang kuwaspadai sebelum kami saling mendamba satu sama lain, kecuali tubuhku memang kelewat piawai berkhianat sekarang. Mengkhianati segenap upayaku untuk menolak dan menghindari perasaan yang lebih dalam dari sekadar hubungan ranjang atau menerima percumbuan yang berubah mencandu. 

Aku menduga bahwa ketertarikan seksual yang intens di antara kami sebagai penyebabnya. Pengalamanku yang terbatas pada perlakuan pria seperti Logan juga salah satu pemicunya. Apa yang kurasakan lumrah dan menjadi alasan yang wajar untuk dimaklumi?

Logan tidak menodong tanggapan dariku. Dia justru berdiri mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh ujung rambutku yang berantakan, membelai dengan lembut, dan mengangkat beberapa helainya ke wajah. Menghirup wangi sampo yang masih tertinggal di sana.

“Kau beraroma seperti perpaduan buah ceri dan rasberi. Manis dan segar. Bau yang mengingatkanku pada musim panas. Sesuatu yang membangunkan sisi gelapku,” ungkap pria itu sambil mengecup rambutku, lebih pelan, lebih erotis.

Gelombang ketegangan yang begitu pekat di sorot mata Logan seketika terdeteksi olehku. Dia melepaskan rambutku dari jemarinya, membiarkan setiap helainya jatuh melintasi pundak kiriku, dan memajukan bibirnya persis seperti yang kuharapkan. Memagut bibirku dalam tautan fisik paling mendebarkan yang menguasai ritme jantungku di menit-menit yang begitu menakjubkan.

Lidah Logan bergerak menyusupi rongga mulutku. Mencari celah yang sukses melemahkan mekanisme pertahanan diriku secara keseluruhan. Setiap indraku pun berangsur mengenali pria itu dengan baik hingga membuatku memutuskan untuk menonaktifkan otakku dari prasangka buruk, meresapi hasrat yang kini menggelegak seperti lahar panas di bawah perutku, menyambut dengan respons yang hanya berdasarkan naluri.

Reaksi Logan adalah hal terakhir yang kuingat. Dia balas menyurukkan jemarinya yang kokoh ke area leherku dan membuat darahku serta-merta berdesir hebat sewaktu pria itu melandaikan ciumannya ke bagian yang paling sensitif. Puncak payudaraku refleks menegang dalam mulut Logan dengan seribu hamparan rasa lega yang ganjil dan membuat penerimaan penuhku beralih menjadi pertanyaan-pertanyaan baru.

Apa aku memang melakukannya demi Andrew atau diriku sendiri? Apa aku masih boleh menyebutnya sebagai pengorbanan selepas hubungan yang semata-mata dilandasi sentimen sesaat di antara kami harus berakhir esok pagi? Teka-teki itu pun kubiarkan mengapung tanpa jawaban, lantas mengendap dalam sunyi setelah Logan membaringkanku ke atas bentangan karpet dan memosisikan kepalanya turun di bawah perutku.

“Kau sangat basah, Amanda. Kau basah dan siap untukku.”

***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang