33. "Apa aku akan dihukum, Daddy?"

1.3K 55 3
                                    

POV Amanda

“Konyol. Untuk apa kau menanyakan sesuatu yang sudah kau tahu jawabannya?”

“Hanya memastikan.”

“Aku menikahimu bukan hanya untuk menemaniku tidur atau gara-gara kehamilan ini, Amanda.” Nada Logan dipenuhi rasa humor.

“Kupikir kau marah padaku.”

“Tidak ada gunanya memarahimu. Kau punya pemikiran sendiri dan aku menghargainya. Jika kita ingin pernikahan ini berhasil, maka saling menghormati adalah kunci utamanya.”

Logan mengerling padaku dan meneruskan, “Kuharap kau tidak lupa bahwa aku pria berumur, Amanda. Aku juga punya ego, tetapi aku lebih terkendali dari yang pernah kau duga.”

“Jadi, apa yang membuatmu melamarku?”

Logan terkekeh sebentar dan menyahut, “Menurutmu mengapa aku mengambil langkah besar yang akan mengubah hidup kita berdua selamanya?”

“Karena kau pria tua kesepian yang usianya tidak lagi muda? Apa aku benar?” selorohku menggoda Logan.

Logan menertawakanku. Sepasang matanya menyipit sebelum senyum itu kemudian melebar dan bertahan lebih lama dari biasanya. Pandangan kami terkunci satu sama lain dalam keheningan yang singkat.

Detik berikutnya, wajah Logan merendah mendekati salah satu telingaku. Deru napasnya yang berat menyapu permukaan kulit wajahku dan berbisik, “Karena aku mencintaimu, istri kecilku.”

Kedua pipiku seketika merona. Rasa panas menjalari setiap pembuluh darahku dan membuatnya meletup seperti reaksi soda pada botol yang diguncang dengan sengaja. Sebait kalimat sederhana yang mampu mengubah duniaku dalam sekejap.

Istri kecilku. Aku suka itu. Aku suka caranya memanggilku, seolah-olah mengukuhkan ikatan yang baru saja terjalin di antara kami. Komitmen yang kupikir tidak akan pernah berani untuk kuambil sebab aku selalu meyakini bahwa ‘bahagia dan selamanya’ hanya eksis dalam negeri dongeng.

Tidak nyata. Tidak pernah benar-benar ada. Tidak untukku. Tidak untuk Amanda Fletcher yang bahkan tidak punya apa-apa. Berbeda dengan Logan yang memiliki segalanya. Pria yang lagi-lagi mengingatkanku pada sosok pangeran; masa depan yang cerah, tanpa cela, sempurna.

“Ada seratus alasan yang bisa dikarang, tetapi aku lebih suka untuk mengakuinya secara terbuka. Aku memang mencintaimu.”

Poros semestaku mendadak berhenti berputar sesaat selepas Logan mengatakannya padaku dengan suara mantap. Rasanya terdengar seperti puisi di musim semi yang penuh dengan janji dan mimpi. Menenangkan, tetapi semuanya juga akan segera berakhir kala musim berganti.

“Kau harus melihat wajahmu sendiri di dalam cermin sekarang,” celetuk Logan yang senyumnya kembali mengembang dan menyentuh keningku hati-hati dengan jari telunjuknya.

“A-apa ada sesuatu di wajahku?”

“Kau tersipu seperti seorang bocah empat tahun yang ketahuan mencuri sekotak permen oleh ayahnya.”

Aku sontak mendenguskan tawa dan memprovokasi Logan lewat kerlingan mata. Menurunkan tatapan ke arah kemejanya yang kusut, lantas memperhatikan salah satu kancing yang tidak lagi ada di bagian dada. Menangkap lekuk torsonya yang menawan dari balik pakaian dengan motif garis-garis itu.

“Mencuri sekotak permen? Apa aku akan dihukum, Daddy?”

“Pelajaran nomor satu, jangan memprovokasi monster apa pun.” Sorot mata Logan spontan menggelap mengisyaratkan peringatan seiring dengan seringai samar yang muncul di sudut bibirnya.

“Aku tidak takut.”

“Kali ini, anggap saja kau beruntung.”

“Beruntung dan aku sama sekali bukan kombinasi yang cocok.”

“Pasti melelahkan jadi orang yang selalu sial,” komentarnya sambil mengusap rahang dengan nada yang dipenuhi rasa humor persis seperti sebelumnya.

“Sangat. Dan bagaimana denganmu? Apa menyenangkan jadi orang yang selalu beruntung?”

“Dalam hal?”

“Kau punya segalanya. Kau punya uang, kekuasaan, banyak hal.”

“Kau benar, tetapi punya segalanya juga bukan berarti akan selalu bernilai sepadan. Ada yang harus kukorbankan untuk mencapainya. Kadang-kadang aku kehilangan waktu tidur untuk menyempurnakan karya-karya yang kubuat.”

“Hm. Tetanggamu mungkin akan mengira kau vampir.”

Logan kembali memamerkan seringainya dan membalas, “Aku tidak berinteraksi dengan para tetangga. Sejak Brielle tiada, aku hanya menyibukkan diriku pada rutinitas pekerjaan.”

“Dan wanita,” tambahku mengangkat satu alis.

“Sesekali.”

“Sesekali?” tekanku tidak yakin.

“Aku bukan maniak.” Logan memutar bola mata.

“Aku mengerti. Ada harga yang harus kita bayar untuk sesuatu.”

“Dan apa yang akan kau bayar padaku sebagai gantinya?”

“A-apa maksudmu?” Rasa gugup tiba-tiba menerjang perutku dengan gelenyar aneh yang merayap cepat ke sepanjang bahuku.

Logan beralih menarik sebuah kursi patio model lipat dari dekat lemari dan duduk nyaman di sampingku. Kedua tangannya terlipat ke dada. “Aku selalu datang di waktu yang tepat. Tidakkah kebetulan itu juga berarti sesuatu bagimu?”

“Well, um, yeah, aku berterima kasih untuk itu.”

“Begitukah caranya berterima kasih pada suamimu?”

“A-ada cara lain?”

“Tentu saja.”

Kedua alisku saling bertaut. Logan kemudian menundukkan kepalanya dan berdesis di depan wajahku. “Cium aku. Itu akan membuat hariku jauh lebih baik.”

Lama kami saling memandang satu sama lain. Aku merasakan embusan napas Logan yang panas menerpa ujung hidungku dan melelehkan setiap saraf dalam tubuhku secara keseluruhan. Mengubahnya sesensitif perangkat sensor.

Jemariku seketika terulur merengkuh dagu Logan tanpa ragu. Menariknya mendekat, mempertemukan bibirnya dengan bibirku, menghadiahi sebuah pagutan yang akrab. Waktu mendadak berhenti di titik yang belum pernah kubayangkan sebelumnya.

Logan terasa manis, menggiurkan, dan panas. Jenis kenikmatan yang mengundang bahaya. Sensasinya merebak seperti kobaran api yang memantik tumpahan alkohol ke sekujur punggungku.

Aku terbakar, gemetar, membiarkan sisa kontrolku terkoyak untuk dihabisi. Logan sontak menarik diri sesaat sebelum semuanya berada di luar kendali dan mengacaukan proses pemulihanku. Napas kami terengah-engah setelah Logan menggumamkan sesuatu dalam aksen Skotlandia-nya.

“Kita harus fokus pada si calon bayi,” kilahnya sambil berdeham-deham membersihkan tenggorokan.

“A-aku setuju,” kataku mengangguk membetulkan letak kepalaku yang miring ke bantal.

“Kau harus istirahat, Amanda.” Suara Logan selembut ninabobo di penghujung malam.

Aku kembali mengangguk dan menatap Logan yang beranjak mengecek laju cairan infus. Memastikan segala sesuatunya berjalan sempurna untukku, lantas memanggil perawat melalui tombol nurse call di sisi ranjang. Mengajukan sejumlah pertanyaan terkait kondisiku pada staf medis itu.

Kepedulian Logan menciptakan geliat asing di hatiku. Rasanya seperti menemukan seseorang yang akan kau lihat duduk bersamamu di tepi danau dengan pemandangan dua ekor angsa dan daun maple yang gugur dalam masa depan. Mengenakan jaket rajut dari bahan wol yang kupintal sendiri, memegang tongkat, menonton kepak sayap para angsa membius seluruh indra kami dengan pertunjukan kecilnya yang menawan.

Bayang-bayang indah itu kemudian hancur ditelan gelombang kecemasan saat pintu kamar inapku terbuka dan menampakkan wajah Andrew di sana. Dia berdiri mematung, memperhatikan Logan yang juga menoleh ke arahnya, mengalirkan ketegangan baru di perutku. Dari mana kakakku tahu aku di rumah sakit?

“Mengapa kau menyembunyikan kabar kehamilan dan pernikahanmu dariku, Amanda?”


***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang