POV Logan
“Apa kau membutuhkan bantuanku? Aku tidak keberatan untuk melakukannya,” sambungku lagi, menunggu Amanda memberi komentar.
Amanda membeku selama sesaat, tetapi sepasang mata abu-abunya membelalak menatapku. Apa yang dia pikirkan sekarang? Mengutukku? Aku yakin dia sudah melakukannya berulang kali dalam hati.
“Well, kita—”
“Aku tahu,” selanya cepat dengan ekspresi yang tidak terbaca, datar, menyembunyikan emosinya.
Amanda mengangguk sebelum mengembuskan napas pelan yang menyerupai desau angin tipis di sisa musim semi. Menggigit bibirnya, lantas melucuti satu per satu pakaian yang melekat di tubuhnya. Menampilkan seluruh aset berharganya yang langsung terpampang bebas di hadapanku.
Amanda tidak mengenakan bra. Bajunya tergeletak di atas lantai dan celana pendeknya dibiarkan lolos dari pinggulnya. Tinggal satu kain pelindung yang terakhir, benda itu dihiasi pita kecil pada bagian depan, dilapisi ekstra renda yang justru membuatnya terlihat lebih manis bagi sang pemakai.
“Apa aku boleh memakai celana dalam?” tanya Amanda yang gemetar sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, menutupi puncak payudaranya yang tegang karena aku tahu miliknya sangat sensitif.
Tersihir pada sensualitas yang mendadak mengubah tekanan udara di sekeliling kami, aku hanya sanggup menggeleng kaku. Membasahi bibir untuk menjaring kewarasan yang mulai terkikis dari akal sehatku. Menyadari bahwa mengalihkan pandangan dari tubuh Amanda merupakan godaan paling berat yang pernah kutemui dari seorang wanita.
“Kau setuju dengan kesepakatan kita,” kataku mengingatkan.
Suaraku separau derit pintu yang mengatup lambat di tengah malam. Itu membuat Amanda mengerjap-ngerjap gelisah sebelum mengenyakkan pantatnya ke sofa dan menanggalkan perlindungan finalnya. Benda berwarna hitam tersebut meluncur melewati sepasang lututnya yang ditekuk sebagai tameng, terinjak di bawah telapak kakinya, diabaikan seperti tidak pernah ada di sana.
“Kau boleh menentukan pose yang kau anggap nyaman. Berbaring, bersandar, atau yang mana saja yang kau suka.”
Nadaku sudah jauh lebih terkendali dari jerit engsel yang meneriakkan kesenjangan, berubah seperti senar biola yang digesek bow dengan hati-hati. Membisikkan bujuk rayu, seolah-olah aku pasir pengisap yang akan menariknya ke dalam gelap. Berinisiatif untuk memupuk rasa percaya dirinya tahap demi tahap.
Amanda kemudian bergerak melesakkan punggungnya ke pinggir sofa, mencengkeram salah satu bantal, sementara tangannya yang lain masih menutupi area dadanya dengan posisi melintang. Kedua kakinya dinaikkan, menyilang dengan anggun, membuat penampilannya tampak seperti seekor mermaid cantik dari kisah mitologi yang diizinkan untuk menghabiskan satu malam di darat.
Lekuk pinggul Amanda sangat luar biasa dari samping. Kepalanya ditopang tangan kirinya yang bersandar di atas bantal-bantal, sedangkan tangan kanannya terulur melewati sofa. Memantapkan bobot tubuhnya yang bertumpu miring di satu sisi, membiarkan payudaranya terekspos untuk diabadikan, dan membuatku lagi-lagi terpesona pada gayanya yang terlihat jauh lebih rileks sekarang.
“Aku siap,” ucapnya sambil mengangguk padaku.
Aku balas mengangguk, memandangi dua puncak yang rentan itu disapu oleh ketegangan, begitu peka sekaligus begitu mengundang untuk disentuh. Haruskah aku melakukannya? Menuruti naluri primitifku yang bangun dari sarangnya dan mengacaukan sesi ini untuk memuaskan hasrat yang terlanjur meledak di pembuluh darahku?
Tersentak dengan godaan panas itu, aku seketika menggertakkan gigi. Mengalihkan tatapan ke kanvas kosong yang baru saja kusiapkan untuk membingkai potret indah Amanda di dalamnya. Jika aku menyerah sekarang, maka aku tidak akan memperoleh kesempatan yang sama lagi nantinya.
Aku berdeham-deham membersihkan tenggorokan, menuangkan cat minyak ke dalam palet, dan memikirkan sesuatu yang mampu mengosongkan isi kepalaku dari bayangan tubuh Amanda. Fokus adalah prioritas paling utama dalam daftar. Aku mencentangnya dalam imaji, mengumpulkan konsentrasi yang sempat pecah gara-gara gairah yang membuncah, menekan libidoku yang tadinya meluap ke bawah permukaan.
“Prosesnya tidak akan memakan waktu lama.”
Amanda kembali mengangguk. Dia tampak lebih santai dan menikmati peran barunya sebagai model eksklusif untukku di sana. Aku bisa melihat jari-jari kakinya mengendur dari sisa kepanikan dan memamerkan cat kukunya yang berwarna pastel.
Kami terperangkap dalam keheningan selama beberapa waktu. Aku hanya mencurahkan segenap perhatianku pada mahakarya yang sebentar lagi akan selesai dan menyempurnakannya dengan sejumlah garis tipis sebagai pelengkap detail. Tinggal sedikit sentuhan pada rambut merah tembaganya yang melambangkan kesan liar itu, alih-alih menggambarkan kepribadiannya yang canggung dan cenderung spontan.
“Lelah?”
Amanda menatapku dengan senyum yang hanya bertahan sekejap, lantas menggeleng sebagai bantahan. “Tidak. Aku merasa sangat fit.”
“Hati-hati dengan bicaramu, Young Lady.”
“Apa ada yang salah dengan itu?”
“Tentu saja. Itu membuatku tergoda memikirkan seratus cara untuk menghabiskan energimu.”
Amanda mengulum senyumnya dan mengibaskan rambutnya dari leher selepas aku mengizinkan dia boleh duduk lagi seperti biasa. Punggungnya diregangkan bersama kedua tangannya yang terangkat dijenjangkan ke atas kepala, melemaskan otot-ototnya yang ditumpukan pada satu sisi dalam menit-menit penuh keselarasan. Dia tidak lagi menutup diri dan membiarkan aku puas memandanginya di sana.
“Apa aku boleh melihat hasilnya?”
“Dua menit lagi. Semuanya akan beres,” janjiku pada Amanda yang kini beranjak dari tempat duduknya, berjalan mendekatiku dengan langkah yang terayun mantap.
Aku melirik Amanda yang datang dari arah belakang spanram, menangkap getaran samar di sepanjang bahunya, mempertanyakan seberapa keras usahanya untuk bersikap tenang. Namun, pesonanya sekali lagi berhasil melumpuhkan kinerja otakku. Bukan hanya sebagian, tetapi secara menyeluruh.
“Kemarilah, Amanda. Kau harus melihat luar biasanya dirimu dalam potret ini,” sambungku lagi, terkejut dengan betapa seraknya suaraku terdengar bahkan di telingaku sendiri.
Amanda sedang berdiri di belakang punggungku sekarang. Posturnya setengah membungkuk, merendahkan kepala untuk menyesuaikan jarak pandang antara kanvas dan indra penglihatannya, memangkas jarak yang sempat membentang oleh profesionalitas. Ujung rambutnya yang halus terasa menggelitik bahu kananku dari balik kemeja linen yang belum kuganti.
Membangkitkan gelenyar baru yang memancing hormon priaku bereaksi. Untuk sesaat yang memusingkan, aku refleks menjeda pekerjaan dan menurunkan kuasku sebelum kembali memulai. Menormalkan ritme jantung yang kelewat antusias mengirimkan respons pada satu titik yang sontak memperketat diameter celana jeans-ku di bawah sana.
“Ini—oh, astaga, kau jenius! Sungguh, Logan. Ini bukan hanya luar biasa, tetapi spektakuler. Maksudku, karyanya. Karyamu. Apa kau selalu melukis orang-orang dengan sebegitu hebatnya seperti yang kau buat sekarang? Kau jelas punya bakat yang mengagumkan.”
“Itu agak berlebihan, tetapi terima kasih. Dan ya, aku memang selalu melukis seperti ini. Aku terbiasa menyelesaikannya dengan cepat.”
“Apa yang ini juga termasuk dalam kategori rekor cepatmu?”
Aku berbalik menyoroti wajah Amanda yang tampak memerah diterpa sinar matahari yang tembus melalui jendela langit. Mengekang keinginanku untuk menarik rahang itu dan mencicipi rasa bibirnya. “Tidak, Amanda. Terus terang, aku merasa agak kacau dan sedikit sesak.”
Kening Amanda mengernyit bingung. “Kau kesulitan bernapas?”
“Aku kesulitan menahan diri untuk tidak mengajakmu bercinta detik ini juga.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Sugar Daddy
Romance[21+] (SUDAH TERBIT DI GOOGLE PLAY STORE) Logan Caldwell punya semua sifat yang Amanda Fletcher benci. Pria itu dingin, dominan, dan perfeksionis dalam setiap hal. Namun, antipati yang semula mengisi dada Amanda mendadak berubah menjadi rasa asing y...