13. "Yes please, Daddy!"

7.3K 77 0
                                    

POV Amanda

Kami melakukannya dengan spontan karena semuanya terjadi begitu saja, begitu cepat, dan begitu tiba-tiba. Logan adalah magnetnya, sedangkan aku feromagnetiknya. Tubuh kami pas, seolah-olah memang dirancang untuk satu sama lain.

Aku tidak lagi peduli pada seberapa tuanya Logan dan seberapa mudanya aku atau apa perbuatan yang sedang kami nikmati benar dan salah. Perbedaan usia bukan hal yang kuprioritaskan sebab ada sesuatu yang menyita seluruh perhatianku pada rasa panas yang begitu mendesak untuk dilenyapkan. Di antara kedua pahaku, di sekujur tubuhku, sekarang.

Aku merasa lembap sekaligus putus asa. Mendesahkan nama Logan berulang kali seperti yang sudah-sudah, mendambakan bibirnya turun menelusuri leherku, dan mengharapkan penuntasan yang menjanjikan kelegaan. Merasakan ketegangan seksual kami memuncak, merindu, membutuhkan satu sama lain.

Punggungku menggeliat sewaktu gigi Logan menyentuh salah satu puncak payudaraku dan ibu jarinya menggosok pelan dengan komposisi yang tepat. Lembut, tidak terburu-buru, mengizinkanku mengenal titik sensitif di sejumlah tempat yang sudah kuketahui sebelumnya. Menjilat, menyebarkan gelombang hasrat di bawah perutku, menuntut penyerahan menyeluruh.

“Kau cantik, Amanda. Kau indah,” desis Logan yang mengangkat kepalanya naik, menciumi daun telinga kiriku.

Dengan napas terengah-engah, aku berusaha menyangkal. “Kita berdua tahu itu tidak benar, Logan.”

“Itu memang benar. Kau menakjubkan dan aku menghargai sesuatu yang istimewa seperti dirimu.”

Kami kembali saling memandang tanpa bicara. Meresapi keintiman yang begitu akrab turun di sepanjang bahuku. Aku menyurukkan jemari ke sela-sela rambut cokelat gelapnya yang halus, meremas pelan, merasakan setiap helainya menggelitik jari-jariku. 

“Mengapa kau bersikap seperti aku orang pertama yang mengatakan itu padamu?” tanyanya sambil mengecup ringan daguku.

“Sudah bertahun-tahun aku punya rasa rendah diri yang buruk,” akuku kemudian, membelai bakal janggutnya yang terasa kasar di ujung jari telunjukku, dan menurunkan usapan itu ke garis rahangnya. 

“Ada sesuatu yang menyebabkan kau merasa begitu?”

“Perundungan masa remaja? Aku juga tidak yakin, tetapi kita boleh membahasnya nanti. Setelah—”

“Setelah kita melampiaskan kebutuhan ini?” potong Logan yang langsung mengumbar tawanya dan menggigit daun telinga yang sama yang dia cium sebelumnya.

“Setelah kita merasa cukup,” sahutku setengah mengerang, merapatkan kepalanya dalam dekapanku.

“Kau tahu aku tidak akan pernah merasa puas,” bisik pria itu, suaranya separau gemeresik dedaunan kering yang terinjak oleh kawanan rusa, menciptakan kesan putus asa pada pengendalian dirinya yang serta-merta runtuh di depanku.

Kepalaku mendadak berdengung oleh gairah selepas Logan melanjutkan ciuman kami yang sempat tertunda. Lidahnya menerobos langit-langit mulutku, meminta akses untuk menguasai, membelit lidahku dengan gerakan erotis. Dia memegang kendali dan aku tunduk di bawah kontrolnya.

“Aku harus belajar banyak,” ucapku sama seraknya seperti nada Logan yang kini beralih menciumi payudaraku.

“Aku senang mengajarimu,” balasnya lagi, menangkap getar kebahagiaan yang merambat lewat kilat di sepasang matanya.

Aku memperhatikan kepala Logan yang kian lama kian rendah, mengirimkan stimulan familier itu di kulit perutku, dan meninggalkan jejak basah melalui lidahnya di sana. Terkejut dengan betapa pekanya tubuhku bereaksi, aku kembali mengerang tanpa sadar. Takjub pada sangat responsifnya setiap indraku menanggapi.

Tanpa cahaya matahari yang cukup sebab senja mulai mengaburkan suasana di loteng dan jendela langit, rambut Logan terlihat lebih kelam dari warna yang biasa kulihat ada pada dirinya. Nyaris menyerupai hitam yang terlalu pekat, tetapi entah bagaimana itu justru tampak lebih cocok untuknya. Sempurna, pikirku.

Kesiapku sontak mengudara saat jemari Logan mencengkeram erat sisi-sisi pinggulku dan melebarkan kedua pahaku untuknya. Pria itu tidak lagi mengintimidasi atau mendominasi. Dia melakukannya dengan hati-hati, penuh perlindungan, mengangkat rasa percaya diriku yang lama hilang untuk kembali ditemukan dan diinginkan.

Logan mendongakkan kepalanya dari posisi itu, menatap dengan penuh pertimbangan, meminta izinku. Tidak tahukah dia bahwa setiap sel dalam tubuhku akan meledak? Aku merasa seperti petasan yang rentan terhadap api, menunggu untuk diletupkan, diluncurkan ke langit pada awal pergantian tahun.

“Yes, please.” Aku merengek, mengubur jauh rasa maluku, meminta Logan untuk melakukannya sekarang juga.

“I want to be your Princess and you can be my Daddy,” desahku lagi, memohon tanpa ragu padanya.

“Kau tahu peraturannya, bukan?”

Aku mengangguk mantap. “Aku hanya boleh mengatakan ya, kumohon, dan... dan...”

“Dan apa, Amanda?” desak Logan yang mengerling tidak sabar ke arahku.

“Dan hanya boleh ‘keluar’ atas persetujuanmu atau aku akan dihukum,” sambungku dengan perut yang terpilin oleh sensasi gugup.

“Benar. Kau belajar dengan cepat,” 

“Terima kasih, Daddy.”

“Simpanlah apresiasimu untuk nanti. Kau harus menerima hadiah karena sudah bertingkah baik sekarang.”

Logan tidak lagi menahan diri. Dia melepaskan pakaian miliknya yang masih lengkap, melucutinya cepat, memamerkan otot-otot tangguh itu di hadapanku. Membenamkan kepalanya di antara kedua pahaku yang tengah menunggu dengan penuh harap untuk segera disentuh.

Bibirku terbuka, membulat, membentengi pengaruh Logan pada diriku. Namun, makin lama aku mencoba makin sulit untuk dicegah. Eranganku meluncur begitu saja, mengosongkan ruang dalam kepalaku, dan dalam hitungan kelima punggungku mulai meregang menanti ombak itu datang menghancurkanku.

“Yes please, Daddy!” racauku di antara rasa ganjil yang sebentar lagi akan—tunggu, apa yang terjadi?

Aku mengerjap-ngerjap menerima kehampaan yang seketika muncul menguasai perasaanku. Logan menarik diri, kepalanya bergerak menjauhiku, dan sepasang matanya berkilau penuh ancaman. Tidak, tidak, kumohon.

“Kau mengerang?”

Aku mengangguk dan Logan lagi-lagi menghujaniku dengan pertanyaan. “Kau menikmatinya?”

Aku kembali mengangguk. Menatap wajahnya yang tanpa ekspresi, menyesali kecerobohanku, mengkhawatirkan seberapa banyak hukuman yang akan kuterima. “Jika kau melanggar peraturan, maka kau akan dihukum. Begitulah cara dunia bekerja, bukan?”

Logan membalikkan tubuhku, lantas membuatku tiarap memeluk bantal-bantal di sofa. Aku tahu dia akan melakukannya, tetapi mengapa itu masih saja membuatku merasa cemas? Aku gemetar, menunggu, menggigit bibirku.

Sebuah tamparan kemudian mendarat keras di bokongku seiring dengan bunyi tepukan yang juga turut menyertainya. Aku menggeram, meredam pekik kagetku sebelum Logan menambahkan setrap baru ke dalam daftar. Salah satu lengannya kini beralih melingkari pinggangku, merapatkan dekapan, mengukuhkan sifat posesifnya.

“Hitung dengan benar setiap kali aku memukul pantatmu, Amanda.”

Sebuah tamparan baru menyusul.

“Kubilang, hitung, Nona Fletcher.” Nadanya parau, tetapi tetap setegas batu karang yang tidak goyah dihantam ombak.

“S-satu.”

Dan tamparan lain.

“D-dua.”

Dan lagi.

“Tiga.”

Aku tidak tahan lagi.

“Cukup, kumohon.” Suaraku mencicit dan putus asa.

***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang