38. "Let me taste you, Daddy."

1.6K 46 6
                                    

POV Logan

Lidahku mencari titik yang tepat untuk menaklukkan Amanda dan aku segera menemukannya. Kedua paha Amanda menegang selama beberapa waktu sebelum tubuhnya mengejang penuh penerimaan. Punggung Amanda sontak membusur kala gelombang itu datang menyapunya.

Aku mendengar Amanda mengudarakan erangan parau yang panjang dan memacu semangatku untuk membuatnya meneriakkan namaku di sela-sela pelepasan. Menyaksikan Amanda menggelinjang hebat mendadak membuat dadaku sesak oleh rasa bangga yang tidak terbantahkan. Bersumpah akan melimpahinya kenikmatan sebanyak mungkin.

“Lo-Logan... Logan...” geram Amanda terbata-bata, jemarinya mencengkeram erat rambutku, memegang sisa kendali dirinya yang begitu rapuh.

“Panggil aku dengan benar,” desisku sambil menonton Amanda menggeliat melalui kakinya.

Kepala Amanda kembali mendongak dan bibirnya yang gemetar meracau tentang sesuatu yang kotor. Dia mengerang lebih panjang, lebih parau, lebih erotis. Membuatku mengecap lebih banyak rasa dirinya di mulutku. 

Basah.

Manis.

Nikmat.

Tiga kata itu berderak seperti suara ranting yang terinjak dalam kepalaku. Mendeskripsikan pesona Amanda yang masih gemetar di sisa klimaksnya. Ibu jariku kemudian menyentuh salah satu bagian paling feminin dari miliknya dan membuat desisan tipis itu terdengar seperti melodi tidur yang terlantun di penghujung malam.

Amanda tidak kunjung berhenti gemetar. Tubuhnya justru menghadiahiku lebih banyak rasa yang khas, rasa yang menakjubkan, rasa yang kusukai. Terus gemetar sampai akhirnya dia berteriak dengan napas yang terengah-engah dan pinggulnya terangkat menjauhi wajahku.

“Kau tahu apa, Sayang? Jika kau berteriak sekali lagi seperti tadi, maka para tetangga akan mengira aku telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap seseorang.” Aku terkekeh menyeka bibirku dengan punggung tangan, menatap Amanda yang terbaring dibasahi oleh keringat, dengan mata tertutup dan kedua tangan terikat tidak berdaya.

“Wikmat swekali,” gumamnya tidak jelas sambil berguling ke samping.

“Maksudmu, Daddy membuatmu nikmat?”

“Hm. Hm. Sangat,” gumamnya lagi.

“Membuatmu puas adalah pekerjaan paling menyenangkan yang pernah kulakukan. Aku bahkan bisa melakukannya sepanjang hari.”

Aku menghampiri tubuh Amanda dari sisi yang lain. Merendahkan kepalaku dan berbisik di dekat penutup matanya, “Aku menyukai rasa dirimu di dalam mulutku, Amanda. Kau luar biasa.”

Aku lalu melihat bagaimana kalimatku menciptakan reaksi pada Amanda. Dia menggeliat sedikit dan mendongakkan kepalanya ke arah suaraku datang. “Benarkah? Kalau begitu, biarkan aku mencicipinya juga. Cium aku, kumohon. Sekarang.”

Aku menciumnya seperti momen ciuman pertamaku di sekolah menengah dahulu terjadi. Membagi rasa dirinya yang masih tertinggal di bibirku dan menimbulkan bunyi kecipak yang memenuhi seantero ruangan. Kami tenggelam dalam suasana erotis yang membuat bukti gairahku berdenyut untuk memberontak.

“Aku harus membebaskan ini,” ucapku serak, seolah-olah aku baru saja sembuh dari demam dan radang tenggorokan.

Amanda yang memahami perkataanku bangkit dengan hati-hati dan duduk tegak di tengah-tengah ranjang yang berantakan. Kedua tangannya terkulai di depan perutnya yang selalu rata. Menunggu dengan patuh dan mendengarkan setiap bunyi gesekan yang dihasilkan oleh celana pendekku yang sudah kulepaskan.

Ada kelegaan yang seketika menyambar punggungku kala aku membebaskan semua pakaian yang semula melekat dan membiarkan tubuhku terekspos di hadapan Amanda yang masih memakai kain penutup matanya. Satu lututku menumpu untuk menaiki ranjang, menghirup ujung rambut Amanda sebelum wajahku beralih lebih tinggi menciumi rahangnya, membimbing jemarinya merasakan diriku yang begitu siap dan keras di bawah sana.

“Bisakah kau merasakannya?” tanyaku terkejut dengan suaraku sendiri yang bergetar karena entakan hasrat.

“Kau tangguh.” Amanda memberi lebih banyak sentuhan lembut yang membuat testosteronku meledak dalam ketegangan.

“Dan keras sekali,” tambahnya setengah berbisik.

“Jadi, kau mengerti sekarang? Tubuhku merespons begitu baik bahkan hanya lewat sentuhan jari-jari kecilmu.”

“Let me taste you, Daddy. Let me suck it.”

Tergoda, aku langsung mengiyakan. Mengizinkan Amanda menyentuhku dengan mulutnya yang kecil. Merasakan tonjolan lidahnya yang kasar membuat pergerakan memutar amatir pada setiap bagian diriku.

Amanda tidak terlatih, tetapi dia tahu yang harus dia lakukan pada tubuh lelaki yang membengkak oleh gairah. Rasanya seperti seluruh sarafku sudah bekerja keras, lantas membayangi otakku dengan sesuatu yang menggelitik dan mendorongku ke sensasi yang menggembirakan. Dia akan segera membuatku—

“Tidak, tidak. Tidak sekarang. Belum,” geramku menahan kepala Amanda agar tidak meneruskannya lagi.

Kebingungan, Amanda mengecap bibirnya sebelum menegakkan punggung. Kepalanya terteleng dan setengah putus asa. “Apa aku sangat buruk?”

“Apa kau bercanda? Kau hebat dan segalanya, tetapi akan terlalu cepat bila aku melepaskannya dengan terburu-buru. Berbaringlah dan kita akan melakukan sesuatu yang seharusnya kudapatkan sejak lama,” pintaku pada Amanda yang mengangguk mengikuti instruksi, berbaring nyaman pada seprei yang lembap, dan melebarkan kedua kakinya untukku.

“Tahukah bahwa kau luar biasa basah di sini, Amanda?” Aku meraba kulit paha Amanda yang halus dan melihat tubuhnya menggelinjang sebagai jawaban.

Aku kemudian bergerak perlahan untuk menyatukan kami. Menyelipkan tubuhku di dalam tubuh Amanda. Merasakan inci demi inci dirinya yang licin dan mencengkeramku dengan ketat hingga membuat semua ototku kejang oleh euforia.

Keluar.

Masuk.

Keluar lagi dengan geraman rendah yang menggantung dari mulutku.

“Kau tahu bagaimana kau terlihat di bawah tubuhku, Amanda?” pancingku sebagai pengalih perhatian dari sensasi yang mengepung pusat diriku.

Amanda kembali meracau, lalu membalas geramanku setiap kali pinggulku mengayun lebih keras dan membentur tubuhnya. Kontrol dirimu, perintah suara tajam dalam kepalaku. Aku bergerak sedikit lebih pelan untuk mengendalikan ritme dan membuatnya teratur.

“Sial, Amanda. Kita harus berhenti. Aku melupakan sesuatu,” desisku kasar, tidak rela kehilangan rasa nikmat yang baru saja membombardir diriku.

“A-apa? Me-mengapa?” Amanda spontan mengaitkan salah satu kakinya di pinggulku.

“Aku tidak mengenakan pengaman.” Aku menggertakkan gigi.

“Jadi?”

“Itu akan memperbesar peluangmu untuk hamil. Aku tahu kau belum siap dan aku benci melihatmu sedih.” Aku beranjak mengangkat tubuhku, tetapi Amanda lagi-lagi mencegahku berpindah.

“Tidak, Logan. Tidak apa-apa. Kau tidak harus mengambil benda sialan itu,” katanya dengan kedua pipi yang memerah.

“Kita harus lebih berhati-hati, Amanda. Terakhir kali...” aku menciptakan jeda sejenak untuk menatap wajah Amanda lekat-lekat dan melonggarkan kain penutup matanya agar kami bisa saling memandang, lalu melanjutkan, “Keadaan berubah kacau dalam sekejap. Kau tidak tahu bagaimana perasaanku waktu melihatmu roboh dengan bersimbah darah—”

Amanda mendadak membungkam bibirku dengan bibirnya. Kedua lengannya menarik punggungku lebih dekat ke tubuhnya, membuat dada kami menempel satu sama lain, melesakkan pinggulku masuk lebih jauh untuk merasakan dirinya tanpa penghalang yang biasa kugunakan. Benteng pertahananku runtuh hanya dalam satu detik yang terasa membara. 

“Itu berbeda. Itu insiden yang tidak pernah terencana dan kali ini kita akan lebih siap untuk menghadapi apa pun,” bisik Amanda dengan nada pasti.

“Bagaimana caranya aku sanggup untuk menolak penawaran panas ini sekarang?” 

“Mungkin kau tidak harus menolaknya, Daddy. Kau hanya harus...” Amanda berhenti sebentar untuk mengecup ringan daguku dan menambahkan dengan mantap, “Menikmatinya saja dan penuhi aku dengan dirimu.”

***

Hot Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang