Guru muda tersebut langsung menganggukkan kepalanya begitu mendengar pertanyaan Nayla, dan secepat kilat pula air mata gadis itu turun membasahi pipinya."Andika dan Jinandra mana Bu?! Dia tadi ada sama saya." Tanya Nayla, lagi dan lagi. Bahwa membuat teman-teman yang sudah sadar mendatanginya.
"Mereka, mereka yang dipilih." Ujar Haksa pelan dan semakin membuat Nayla sesak nafas.
"Jinandra? Andika? Mereka siapa, nak?"
Sepulang dari sekolah akhirnya mereka semua memutuskan untuk berkumpul dirumah Mezza terlebih dahulu, Zikra dan Haksa mendadak menjadi pendiam. Bahkan mereka tidak mengeluarkan lelucon seperti biasanya.
"Mereka yang dipilih akan dilupakan dan dianggap tidak pernah hadir didunia ini." Cetus Cindy pelan, semuanya sudah mengira seperti itu ketika guru tadi berkata seolah tak mengenal Jinandra dan Andika.
Pertemanan 10 tahun Nayla dan Andika lenyap bagaikan ditiup angin, bahkan tidak ada salam perpisahan maupun salam pamit.
Nara tidak menyangka bahwa ternyata.. ini berakhir dengan dirinya yang meminta maaf, bukan dimaafkan.
Ditengah keheningan itu, Mama Mezza nampak keluar dan memberikan senampan minuman dan sebuah amplop.
"Ini, kemarin tak temuin dilantai. Ga mama buka kok," Ucapnya seraya memberikan amplop tersebut pada putri bungsunya. Mezza tanpa ragu membuka amplop tersebut dan menarik sebuah kertas dari dalamnya.
Ternyata itu adalah sebuah foto polaroid yang baru diberikan oleh Haksa kemarin, memperlihatkan kebersamaan mereka ketika sedang memasak dirumah ini.
Bahkan disitu Jinandra dan Andika masih beradu mulut dengan Zikra, adu teriak dengan Haksa dan saling mengusili satu sama lain.
Percaya lah, jika bisa memutar waktu.. mereka sangat ingin melakukan hal tersebut. Pertemanan singkat yang memberikan seribu pesan.
Sepulang dari sana, Haksa menyempatkan mampir ke rumah yang sebenarnya rumah ketua kelasnya itu, Andika. Ternyata rumah itu saat ini menjadi rumah kosong yang masih terjual.
Zikra pun turut melihat ponselnya dan tidak menemukan pesan singkat yang ia kirimkan pada Jinandra beberapa hari lalu.
Satu-satunya kenangan yang tersisa hanyalah foto polaroid tersebut. Nampaknya mereka berdua memang benar-benar sudah tahu jika takdir mengatakan mereka harus tinggal disana.
"Kita sebisa mungkin ngjaga kehidupan kita yang bikin lu berdua tinggal disana, Ndik, Ji."
Keegoisan bukanlah sebuah opsi untuk menjalani hidup. Antara keinginan dan peduli, mereka memilih untuk peduli.
Tentang dia yang terlalu peduli akan orang lain tanpa tahu jika dirinya lebih penting, dan tentang mereka yang mengorbankan dirinya demi kehidupan orang lain.
Terimakasih tak bisa lagi diucapkan oleh temannya karena terlalu besar pengorbanan mereka, ia yang selalu mengatakan untuk bisa keluar dari sana walaupun ia juga yang harus tinggal.
Bahkan tentang Jinandra yang belum bisa mengungkapkan rasa sayangnya akan adik tirinya itu, Amira. Begitu juga Amira yang tak tahu akan fakta tersebut hingga sang kakak menghilang dari pandangannya.
"Terimakasih, dan semoga kita kembali dipertemukan dikehidupan selanjutnya sebagai teman yang menjalani semuanya bersama-sama. Dengan akhir yang bahagia pula, Ndik, Ji."
-𝐄 𝐍 𝐃-
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐆𝐞𝐧𝐠 ✓
RandomKisah pertemanan tak biasa yang diisi oleh orang-orang aneh. Pendiam, cerewet, emosian, lemot, pintar. Semuanya menjadi satu. Berusaha membangun suasana harmonis ditengah-tengah bahaya. Tanpa mereka tahu, mereka mengundang sesuatu. Bagaimana cara...