The Darkest Day

1.4K 144 51
                                    

A prologue.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ingat, Tara," kata Ibu. "Jika Ayah dan Ibu sudah meninggal, kau harus mampu memimpin kota. Dengan atau tanpa pasangan, sebab kaulah pewaris terakhir marga Wistham."

Sendok bubur berhenti tepat di depan mulutnya yang menganga. Tara mengatupkan bibir, mengangguk, dan menyuap bubur kembali.

Ini sudah keseratus kali Ibu mengungkit hal yang sama. Entahlah, tidak benar-benar seratus, yang jelas sangat banyak hingga Tara menganggap kematian adalah fase setara kehilangan Ayah selama seharian di kantor wali kota. Kita akan bertemu lagi di Surga, pesan Ibu biasanya mengikuti, yang terpenting kau tetap menjadi makhluk yang taat.

Namun, kali itu Ayah dan Ibu melanjutkan sarapan tanpa melibatkan Tara lebih jauh. Kenapa Ibu tidak menambahkan kedua kalimat itu? Nasihat pamungkasnya sudah menggaung di benak Tara, tetapi pemilik suara asli tetap bersantap dalam diam. Kedua mata Ibu terpaku pada lilin-lilin yang hampir redup, tetapi Tara yakin pikirannya berada di suatu tempat, mengenang jejak Deana yang tertinggal.

Gerakan tiba-tiba Ibu saat menegakkan punggung ikut mengejutkan Tara. Ia buru-buru menyuap bubur yang dingin, sementara Ibu mengayunkan jari kepada seorang pelayan di pojok ruangan. "Lilinnya, Farrel."

Tara mengawasi api lilin yang mulai meronta-ronta.

Ayah bergeser dengan gelisah di kursinya. "Cepatlah, Farrel," desak beliau, seolah-olah akan menggantikan sang kepala pelayan mencari lilin dari lemari mahogani di seberang ruangan. "Apakah kita tidak punya persediaan lilin?"

"Saya yakin masih ada stok di sini, Tuan." Farrel menarik laci bawah sedikit terlalu keras. Suara sentakannya membuat bahu Ayah tegang. Beliau menghela napas.

Ibu meletakkan sendok. Dengan satu gerakan lembut untuk meraih jemari Ayah, Ibu menyunggingkan senyum tipis. "Tenanglah, Sayangku, sebab ini masih pagi. Masih ada satu kurir yang belum melapor." Ibu berhenti sejenak untuk mengecek ekspresi Tara. "Dan kita juga punya Tara. Malam ini akan menjadi malam penentunya."

Tara refleks menatap Ayah, tetapi pria tua itu tetap bergeming. Sendoknya berputar-putar tanpa tujuan di piring. Ketiadaan respons cukup membuat dada Tara sedikit sesak, dan gadis itu menurunkan pandangan lagi, sembari menelan bulat-bulat segala gagasan bersama suapan terakhir bubur.

Farrel akhirnya datang dengan satu kotak berisi lilin-lilin baru. Debu berhamburan dari jarinya yang mengusap permukaan kotak.

"Kau perlu membeli lebih banyak lilin setelah ini, Farrel," kata Ayah. "Malam ini kita  menjamu keluarga Wali Kota Hudson."

"Baik, Tuan."

Pandangan Ibu tertuju sekali lagi pada Tara. Kehangatan yang terpancar dari kedua matanya bercampur pekat dengan kegamangan. "Kau sudah mencoba gaunmu, benar? Minta pelayanmu untuk mengambilnya lebih awal. Ibu ingin melihatnya sebelum kita menemui Wali Kota Hudson."

Tara mendadak mual. Melihat rupa bubur di piring Ibu dan Ayah juga memperburuknya, apalagi bubur Ayah yang bercampur aduk tanpa warna dengan potongan stroberi yang lembek. "Sudah kubilang gaunnya bagus."

"Kau selalu memilih warna gelap. Andai Ibu tidak menghadiri belasan konferensi bulan lalu, Ibu sudah pasti memilihkan warna kainmu." Ibu memutar bola mata. "Kalau begitu, jangan nampak tertekan saat bertemu putra Hudson nanti. Dia sudah menawarkan bantuan untuk ikut mencari kakakmu. Setidaknya tunjukkan ketertarikanmu pada setiap obrolan."

Tara menarik napas dengan cepat. "Bukankah seharusnya aku menemui ia apa adanya? Aku tak mau berpura-pura jika bukan itu yang akan ia dapat sepanjang hidupnya kelak."

"Itu namanya berusaha yang terbaik." Ibu mengernyit. Kedua matanya masih tertuju pada tengah meja, mengawasi lilin-lilin lama diganti lilin-lilin baru yang kokoh dan mulus tanpa retakan.

"Aku janji itu adalah gaun terbaik seumur hidupku," kata Tara, sembari memandang ke arah yang sama. "Lagi pula akan ada ribuan lilin di meja. Gaun segelap apa pun yang kukenakan akan bersinar di mata putra Hudson."

Sayang, itu tak pernah terjadi.

Segalanya berubah gulita dua belas jam kemudian. Canda tawa dan sapaan sopan santun berubah menjadi jeritan. Senyum malu-malu berbalik menjadi tangis pemadam seri. Kediaman Wistham yang semula berisi tujuh bangsawan dan sepuluh pengawal serta pelayan, mendadak dijejali oleh belasan pria bertangan api dan hasrat busuk.

Satu-satunya yang Tara ingat hanyalah sensasi belasan tangan panas di sekujur badan, tawa tanpa moral para bajingan, dan terjangan seorang Setengah Monster yang memadamkan harapan.

Embers in the Night ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang