The Spicy Secret

180 43 10
                                    

Julian kembali ke pesta dengan ubun-ubun mendidih. Kemejanya lenyap. Beruntung pesta berlangsung di musim dingin—ia masih punya lapisan jas dan rompi, dan iris ungu yang tumbuh melingkupi dada. Saat Julian tiba di lantai dua aula dengan napas tersengal-sengal, Emmett menyambut dengan mata membulat.

"Wow, Bung. Berkeringat di musim dingin?" Ia menyesap sisa anggur di gelas. Ia mengedip."Seharusnya kau bisa sabar sedikit hingga pesta selesai."

"Apa maksudmu?" Julian berang. "Dia tahu aku adalah Monster Gurita."

"Siapa?"

Julian menyebut nama Tara tanpa suara. Ia tidak akan menciptakan lebih banyak gosip—tidak, jika putri Tuan Holton bersandar di bahu Emmett dengan wajah merah padam. Mabuknya sang putri adalah keberuntungan bagi Julian, tapi petaka bagi sang ayah jika mengetahuinya kelak.

Ditambah lagi, ekspresi campur aduk Emmett saat mendengarnya sudah cukup menegaskan kepanikan Julian.

"Dan seseorang diculik," tambah pria itu. Napasnya masih kacau, semata-mata karena berusaha menahan amarah yang meluber di tenggorokan. "Preman Fortier menyerang."

Gelas di tangan Emmett hampir merosot, andai asap hitam tidak menjulur dari ujung jarinya dan menahan. Sinar geli di mata Emmett berubah menjadi amarah yang sefrekuensi. Ia mendorong si putri untuk bersandar pada punggung sofa dan beranjak. "Aku akan mengumpulkan pasukan."

Julian menggeleng. "Mereka sudah pergi."

"Mereka pasti belum jauh." Emmett geram. "Ini tanah Nordale—tanah kita. Mereka boleh saja masuk melalui lubang tikus, tetapi mereka telah menjebak diri di sarang monster yang salah."

Julian mengacungkan telunjuk tepat di depan mata Emmett, menghentikan apa pun yang bakal ditambahkan sang sepupu. "Kau tidak akan berbuat tanpa keputusanku." Pelototan Julian menyempurnakan upaya menenangkan Emmett. Ketika Emmett menggumamkan persetujuan, terdengar keletak sepatu khas si tuan rumah.

Julian berbalik untuk menyambutnya.

"Kau di sini rupanya, Yang Mulia," kata Wali Kota Holton. Ia mengernyit melihat juntaian iris ungu di dada Julian yang menggantikan kemeja putih. "Apakah engkau menemukan Nona Wistham? Rasa bersalahku semakin menguat, dan aku tidak tahan lagi untuk meminta maaf kepadanya!"

"Sayang sekali," kata Julian dengan penuh penyesalan. Ia menggiring Wali Kota Holton agar menjauh dari para tamu. "Aku mendapati Nona Wistham sedang ... ahhh, jatuh sakit! Engkau tahu ini adalah pesta pertamanya setelah sekian lama, dan ia begitu kacau sampai-sampai kukira ia terserang demam begitu saja. Aku meminta maaf karena mendahuluimu untuk mempersilakannya pulang."

"Oh, gadis yang malang! Sudah sebatang kara, kepayahan pula. Tampaknya aku akan mengunjunginya esok."

Julian menelan ludah. "Sebaiknya engkau menjenguk setelah Nona Wistham mengirim kabar. Aku yakin ia akan menulis surat kepadamu." Ia kemudian mengisyaratkan pada labirin semak di luar gedung. Suaranya memelan. "Selain itu, sekelompok preman menyusup ke tamanmu, Tuan, dan meski aku sudah mengusir mereka, aku khawatir engkau mesti berhati-hati."

Reaksi Wali Kota Holton sudah cukup memuaskan Julian. Pria tua itu tergopoh-gopoh mencari asistennya, tidak sempat memedulikan putrinya yang kacau-balau di sofa sendirian, dan meninggalkan sang tamu terhormat.

Julian bertukar tatap dengan Emmett. Mereka mengangguk penuh isyarat.

Pesta harus berakhir lebih awal.

Sebagai tamu terhormat, mereka memiliki kemudahan untuk pergi dari pintu mana saja. Pengawal-pengawal Emmett, para pria berjubah hitam yang setia menanti di setiap pintu, mengiringi kedua tuannya meninggalkan pesta.

Embers in the Night ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang